Ulama Kritis Abdul Qadir Djaelani (1938-2021); Fasih Bicara, Cakap Menulis, Berkali-kali Dipenjara

Oleh : M. Anwar Djaelani

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Telah meninggal dunia KH Abdul Qadir Djaelani pada 23 Februari 2021, pukul 10.00 WIB. Beliau seorang mujahid, pejuang Islam yang menghabiskan seluruh usianya untuk kemuliaan Islam. Mohon doa agar Allah mengampuni segala dosanya dan menerima amal ibadahnya.

inpasonline.com – Kabar duka di atas saya peroleh di sebuah grup WhatsApp pada pukul 10.09 di hari yang sama. Artinya, hanya sembilan menit setelah KH Abdul Qadir Djaelani berpulang ke Rahmatullah. Lalu, segera, berita yang sama saya dapatkan pula di banyak grup WhatsApp lainnya.

Spontan, doa-doa bagi Almarhum tak henti mengalir. Bersamaan dengan doa-doa itu, bertebaran pula kesaksian-kesaksian atas keistiqomahan Almarhum dalam berjuang menegakkan ajaran Islam.

Semua kesaksian, pada intinya seragam, bahwa Almarhum teguh dalam meniti jalan dakwah meski tak sedikit ujian yang menghadangnya. Di antara ujian itu, berkali-kali KH Abdul Qadir Djaelani ditahan dan dipenjara. Di dalam penahanan itu, ada pula pengalaman disiksa.

Siapa KH Abdul Qadir Djaelani? Banyak predikat Almarhum, seperti aktivis, pendidik, muballigh, penulis, politisi, dan pejuang penegakan syariat Islam. Semua predikat itu mengacu kepada kegiatannya di jalan dakwah, hal yang ditekuninya hingga akhir hayat di usia 83 tahun.

Matang dan Agamis

Abdul Qadir Djaelani pribadi yang teruji. Beliau ditempa suasana prihatin (untuk tak menyebut penderitaan) sejak kecil karena lahir di zaman penjajahan. Almarhum lahir pada 20 Oktober 1938 di Jakarta. Saat dewasa dan lalu berkiprah di dunia dakwah, dia rasakan berbagai pengalaman yaitu suka dan duka.

Abdul Qadir Djaelani tumbuh-kembang di keluarga yang tergolong sebagai rakyat jelata. Dia anak yatim dan bungsu dari delapan bersaudara. Hidup di zaman penjajahan Jepang, terlebih di masa kanak-kanak, tentu sangatlah sulit. Misal, untuk mendapatkan sesuap nasi maka ibunya, kakak-kakaknya, serta Abdul Qadir Djaelani kecil, harus pergi ke Rengasdengklok – Karawang – Jawa Barat untuk menjadi kuli menuai padi.

Meski begitu, Abdul Qadir Djaelani terhitung beruntung sebab keluarganya taat beragama. Hal ini, sebagian tercermin lewat riwayat pendidikan dan pekerjaan Abdul Qadir Djaelani yang “serba islami”.

Lihatlah, fondasi keagamaannya-lewat pendidikan yang dijalaninya-kuat. Pendidikan tingkat dasarnya rangkap, yaitu Sekolah Rakyat 6 tahun dan Madrasah Diniyah 6 tahun. Keduanya dijalani bersamaan pada 1947-1953. Pagi di Sekolah Rakyat, sore di Madrasah Diniyah. Bahkan, di malam hari, mengaji di rumah guru Madrasah Diniyah-nya. Kemudian, tidur di mushalla.

Selanjutnya, pendidikan tingkat lanjutan pertama ditempuhnya di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) 4 tahun, 1953-1957. Kemudian, dia melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) selama dua tahun, selesai pada 1959.

Setamat dari PGAAN, dua bulan kemudian dia mulai mengajar di Sekolah Rakyat Pejaten II, Pasar Minggu – Jakarta. Sambil mengajar serta berdakwah di masjid dan majelis taklim, dia kuliah di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat – Universitas Islam Djakarta.

Sayang, kuliah itu tak tuntas dijalaninya karena terpaksa harus terhenti. Hal itu, lantaran dirinya ditahan oleh penguasa Orde Lama pada 1960-1961. Masalah apa? Ada di bagian lain tulisan ini.

Sang Aktivis

Abdul Qadir Djaelani tergolong orang pergerakan sejati. Perhatikanlah, menjelang pemilu 1955, suhu politik semakin meningkat, terutama di Jakarta. Abdul Qadir Djaelani yang baru kelas dua PGAPN kemudian masuk ke Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Abdul Qadir Djaelani tak hanya aktif di satu organisasi. Dia, Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta 1960-1961, Sekretaris Jenderal Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) 1967-1972, Ketua I Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) 1972-1975, Ketua Umum PP GPI dua periode yaitu 1976-1978 dan 1982-1984.

Almarhum khas orang pergerakan yang tak pernah lelah. Pada Aksi Bela Islam 411 di tahun 2016, beliau berpartisipasi meski tak leluasa bergerak. Mengingat faktor usia dan kesehatan, saat itu sudah 78 tahun, Almarhum hanya bisa mengikuti aksi dengan duduk di kursi roda.

Jiwa Pendidik

Abdul Qadir Djaelani, seorang pendidik. Sejak 1959 dia telah mengajar di berbagai jenjang: SD, SLTP, dan SLTA. Pada 1969-1970 beliau juga aktif mengajar di pondok pesantren. Pun, berpengalaman sebagai dosen. Dia dosen Luar Biasa pada bidang studi Agama Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam waktu relatif lama, 1970-1978. Juga, dosen di Perguruan Tinggi Da’wah Islamiyah (PTDI) Jakarta dan Perguruan Tinggi Islam As-Salafiyah Jakarta.

Pendakwah Berani

Abdul Qadir Djaelani seorang da’i, muballigh. Aktivitasnya itu, telah disebut di depan, dimulai sejak 1959. Bagi yang mengenalnya, dia adalah singa podium.

Lisan Abdul Qadir Djaelani fasih jika berceramah. Sorot matanya tajam. Performanya, berapi-api penuh semangat. Terlebih lagi, jika di forum-forum Pelatihan Kepemimpinan. “Tahun 1996, saya dan beberapa teman, di-training langsung oleh beliau. Tempatnya, di Masjid Al-Hilal Surabaya. Momentum itu lalu berbuah, yaitu terbentuk GPI Jatim dengan ketua Ustadz Sudarno Hadi (almarhum). Semangat beliau berapi-api di saat memberikan training,” kata Fathur Rohman – yang sekarang memimpin Pesantren eLKISI Mojokerto.

Masih tentang performa Abdul Qadir Djaelani. Tom Mas’udi, yang aktif di PII Kediri 1983-1987, mengenang. Bahwa, pada 1999 dia berkesempatan mengikuti tabligh Abdul Qadir Djaelani di Surabaya. Ketika itu Bang Djel, sapaan akrabnya, tampil menggebu-gebu. Beliau berkisah lika-liku perjuangan dakwah di masa Orde Baru, di sebuah masa kala kelompok LB Murdani kuat mempengaruhi kebijakan Presiden Soeharto.

Abdul Qadir Djaelani memaparkan, lanjut Tom Mas’udi, bagaimana dia selalu dibuntuti aparat di setiap kali berceramah. Tapi, hal itu tak mempengaruhi semangat beliau untuk tetap menyampaikan “sesuatu yang bisa beresiko”, yaitu mengritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak tepat dan merugikan umat Islam. Hadirin-pun merespon sejumlah pernyataannya dengan seruan takbir yang lantang: Allahu Akbar!

Pemikir dan Penulis Produktif

Secara umum Abdul Qadir Djaelani adalah da’i yang komplit, ideal. Lisan dan tulisannya sama-sama kuat. Sebuah sumber menyebut, bahwa tak kurang ada 39 judul buku yang telah ditulis dan terbit.

Mari rasakan, betapa dia telah berusaha keras memajukan Islam lewat judul-judul bukunya, antara lain berikut ini: “Anak Rakyat Jelata Mencoba Berjuang Menegakkan Islam”, “Peran Pelajar Islam Indonesia dalam Kebangkitan Orde Baru”, dan “Pemuda Islam Menggugat”.

Mari rasakan, betapa luasnya perhatian Abdul Qadir Djaelani terhadap berbagai aspek ajaran Islam lewat judul-judul bukunya, seperti berikut ini: Mulai dari “Keluarga Sakinah” hingga ke “Sistem Pendidikan Pondok Pesantren”. Mulai dari “Pandangan Islam tentang Lingkungan Hidup” sampai ke “Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam”. Mulai dari “Azas dan Tujuan Hidup Manusia Menurut Ajaran Islam” sampai ke “Jihad fi Sabilillah dan Tantangan-Tantangannya”. Mulai dari “Cendekiawan Muslim dan Perjuangan Kebenaran” hingga ke “Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”. Mulai dari “Pertarungan Islam dengan Nasionalisme di Indonesia” hingga ke “Perang Sabil versus Perang Salib”. Selain itu, ada juga “Filsafat Islam”.

Sebagai pemikir, terasakan bahwa porsi terbesar fokus Abdul Qadir Djaelani untuk dituangkan dalam tulisan adalah bagaimana cara membawa ajaran Islam ke tingkat negara. Mari rasakan gelegak ghirah Almarhum lewat sebagian judul-judul bukunya, berikut ini: “Analisa Politik Dekade Delapan Puluhan”, “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia Menjelang Tahun 2000”, serta “Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dan Damai”.

Mari teruskan, kita rasakan gelegak ghirah Almarhum lewat judul buku ini: “Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”. Diterbitkannya buku ini merupakan cara Abdul Qadir Djaelani dalam merespon kontroversi yang ditimbulkan oleh pemikiran Nurcholish Madjid.

Kecuali puluhan judul buku karya pribadi, ada juga karya tulisnya yang tergabung dalam sebuah antologi. Bahwa, sebagai dosen di IPB, Almarhum turut menyumbang tulisan di buku karya bersama dosen-dosen agama di IPB. Judulnya, Studi Islamica.

Kembali ke tema Islam dan Negara. Buku Abdul Qadir Djaelani yang berjudul “Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” tergolong istimewa. Pada buku setebal 1050 halaman dan terbit pada 2016 itu, dua tokoh turut memberikan testimoni, yaitu KH A. Cholil Ridwan dan Fadli Zon.

“Buku yang ditulis KH Abdul Qadir Djaelani merupakan karya yang cukup komprehensif untuk menggambarkan perjuangan politik umat di Indonesia. Dalam pengamatan saya, buku yang kita pegang saat ini adalah salah satu buku yang paling detail dalam menggambarkan perjuangan politik umat Islam di Indonesia,” tutur Fadli Zon – Wakil Ketua DPR periode 2014-2019.

Alasan Menulis

Ghirah Abdul Qadir Djaelani selalu tersulut ketika bicara sejarah umat Islam, terutama di Indonesia. Bacalah, misalnya, karyanya yang berjudul “Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia” yang terbit pada 1994. Di halaman awal, dia menulis dengan gaya puisi, karena di tiap akhir kalimat punya rima.

Bahwa, kata Abdul Qadir Djaelani, buku ini “Dipersembahkan bagi para ulama dan santri/ untuk dibaca, dipelajari, dan diteliti/ peran ulama dan santri di negeri ini/ dari masa dahulu hingga masa kini/ untuk dijadikan i’tibar dan mawas diri/ menatap masa depan yang penuh onak dan duri/ memimpin umat untuk mencapai kemenangan di dunia ini/ membimbing umat untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti/”.

Kecuali isinya, tempat tulisan di atas itu dibuat juga menarik, sebab ternyata Abdul Qadir Djaelani menulisnya di Penjara Cipinang Jakarta pada 1 Maret 1990. Artinya, meski fisiknya waktu itu dikurung di dalam penjara, tapi jiwa dan fikirannya bebas merdeka. Semangatnya dalam membela kepentingan umat Islam tetap berkobar.

Bacalah halaman 1-2 buku itu. Di situ, Abdul Qadir Djaelani mengungkapkan: “Di dalam perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, ulama dan santrinya merupakan potensi utama yang turut menentukan. Tanpa kehadiran ulama dan santrinya, sulit kiranya Indonesia bisa bebas dari penjajahan”.

Sayang, lanjut Abdul Qadir Djaelani, “Suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan bahwa saham yang begitu besar yang diberikan oleh ulama dan santrinya, baik di dunia perjuangan Islam maupun perjuangan bangsa Indonesia, tulisan-tulisan yang mengungkapkan tentang peran mereka sangat tidak berarti. Apabila ada tulisan yang mengetengahkan kebangkitan bangsa Indonesia, peran ulama dan santrinya hanya merupakan pelengkap belaka. Bak kata peribahasa: Datang tak menggenapkan dan pergi pun tak mengganjilkan”.

Atas kenyataan itu, maka Abdul Qadir Djaelani menilai, “Perlu untuk menampilkan suatu tulisan mengenai ‘Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia’ secara jujur dan objektif. Kemudian memberikan kritik-kritik dan saran-saran, baik untuk kalangan ulama dan para santrinya maupun untuk umat Islam dan bangsa Indonesia”.

Buku “Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia” dilengkapi dengan “Langkah-Langkah yang Perlu Ditempuh”, di bab V. Di dalamnya, Abdul Qadir Djaelani antara lain menulis: “Para ulama dan santrinya harus menjadi pelopor dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang kezaliman dan tirani, membela para dhu’afa, fuqara, serta masakin yang tertindas dan teraniaya. Jadikan pondok pesantren pusat dinamika perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan”.

Sekarang, kita cermati buku “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” yang terbit pada 1996. Abdul Qadir Djaelani punya sejumlah alasan mengapa menulis buku itu.  Dua di antaranya, pertama, selama ini buku-buku sejarah nasional telah menulis bermacam gelar seperti Majapahit sebagai model yang benar tentang Indonesia Raya atau Majapahit sebagai pola idola nasional. Kedua, atas terjadinya pergumulan antara kaum nasionalis sekuler dengan kaum nasionalis Muslim di arena perjuangan politik di Indonesia, seolah-olah kaum nasionalis Muslim berada di pihak yang salah dan sebaliknya kaum nasionalis sekuler berada di pihak yang benar. Padahal, fakta sejarah tidak demikian.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Abdul Qadir Djaelani menulis “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia”, sebuah buku yang beliau maksudkan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam penulisan sejarah nasional dengan menampilkan fakta yang objektif, sehingga diperoleh suatu sejarah nasional yang benar. Hanya sejarah nasional yang benar, kata Abdul Qadir Djaelani, yang boleh kita wariskan kepada generasi mendatang, dengan harapan mereka dapat menjadi pewaris perjuangan kebenaran (1996: 1-2).

Berikutnya, kita perhatikan buku “Filsafat Islam”. Cermatilah, Abdul Qadir Djaelani selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama di setiap aktivitasnya. Simaklah bagian pendahuluan buku “Filsafat Islam” (1993: 1). Di sana, Abdul Qadir Djaelani menulis, bahwa yang dituju dengan karyanya ini adalah sebagai perwujudan dari “Usaha dan sikap falsafiah Muslim yang setia kepada Islam (dalam hal ini adalah Al-Qur’an) untuk menjawab tiga masalah asasi filsafat, yakni: Hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, dan hakikat manusia. Dengan demikian, tulisan ini ingin menjawab ketiga masalah asasi filsafat tersebut dengan bertumpu kepada Kitab Suci Al-Qur’an”.

Kader-Kader Tersebar

Sebagai aktivis yang sering memberikan kajian dan pelatihan (kepemimpinan), bisa dibayangkan jika Abdul Qadir Djaelani punya banyak murid atau kader. Kecuali Fathur Rohman yang telah disebut di atas, Ainur Rofiq Sophiaan adalah sekadar contoh yang lain.

Sebagai aktivis PII, Ainur Rofiq Sophiaan yang sekarang berprofesi sebagai dosen, pernah mengikiti Leadership Advanced Training PII pada 1983. Salah satu instrukturnya adalah Abdul Qadir Djaelani. “Beliau sangat menguasai sejarah pergerakan Islam di Indonesia. Dalam menanamkan ideologi Islam, bukan hanya lewat kajian ayat Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga dengan menyampaikan sepak terjang tokoh-tokoh Masyumi dalam kancah politik,” kata Ainur.

Dia, “Sangat idealis. Tidak terkesan mendikte anak-anak muda, tapi justru mengajak diskusi tentang masa depan Islam,” kenang Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Jawa Timur periode 1985-1987 itu.

“Kawan-kawan PII sangat mengidolakan beliau sebagai sosok yang istiqomah dalam memegang prinsip.  Saya bangga dan beruntung bisa belajar langsung dari beliau. Walau cuma diskusi sekitar tiga jam, tapi itu sangat berarti dalam hidup saya, sampai hari ini,” simpul Ainur Rofiq Sophiaan yang berlatar belakang jurnalis itu.

Dapat dipastikan, orang yang seperti Ainur Rofiq Sophiaan sangat banyak. Dengan rentang “masa dakwah” Abdul Qadir Djaelani yang sangat panjang (baik beliau sebagai aktivis, guru, dosen, muballligh, politisi), sungguh sangat banyak orang yang berstatus sebagai “anak”, “adik”, “yunior”, “pengikut”, murid, mahasiswa, dan kader dari Abdul Qadir Djaelani.

Sikap Kritis dan Penjara

Abdul Qadir Djaelani ulama kritis. Beliau dekat dengan para pemimpin Islam senior, antara lain dengan Mohammad Natsir (1908-1993) dan Ketua Umum Masyumi terakhir yaitu Prawoto Mangkusasmito (1910-1970).

Sebagaimana para seniornya, Abdul Qadir Djaelani tak ragu dalam bernahi munkar. Dia kritisi hal-hal yang menyimpang di sekitarnya.

Atas kekritisannya itu, dia beberapa kali harus keluar-masuk penjara. Pada tahun 1960-1961, dia dipenjara rezim Orde Lama karena menyebarkan pamflet tuntutan pembubaran PKI. Tahun 1963-1965 dia kembali masuk penjara atas tuduhan anti-komunis dan ingin menggagalkan Pesta Olahraga GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang digagas Presiden Soekarno.

Tahun 1979-1981, dia ditangkap rezim Orde Baru karena menggalang demonstrasi menolak masuknya Aliran Kepercayaan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menolak Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Terakhir, karena sikapnya menolak Asas Tunggal Pancasila, pada tahun 1984-1993, dia kembali masuk penjara.

Penjara tak bisa membelokkan jalan dakwah Abdul Qadir Djaelani. Berbagai siksaan dan tekanan selama dalam tahanan, juga tak mampu membuatnya gentar untuk selalu berada di medan dakwah.

“Saya pernah disiksa dengan cara disetrum bagian vital saya dan dipukuli,” kata Abdul Qadir Djaelani. Kisah pilu itu, kata Artawijaya, beliau ungkap di depan para santri dan guru Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil. Saat itu, dalam bentuk ceramah di acara Wisuda Santri di pertengahan tahun 1990-an.

(https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2021/02/23/202261/selamat-jalan-kiai-abdul-qadir-djaelani.html).

Total, berapa tahun usia Abdul Qadir Djaelani habis di dalam penjara? Dalam catatan Hanibal W Y Wijayanta, wartawan senior dan saat mahasiswa adalah aktivis dakwah di IPB, secara keseluruhan Alamarhum telah dipenjara selama 18 tahun. Itu terjadi, di masa Orde Lama dan Orde Baru.

 

Performa Mengagumkan

Dalam perjalanan hidupnya, Abdul Qadir Djaelani pernah menjadi anggota DPR. Sebagai politisi yang berkantor di Gedung DPR – Senayan, Abdul Qadir Djaelani punya performa yang “tak biasa”. Hal ini dikisahkan oleh Dr. Malki Ahmad Nasir, dosen Universitas Islam Bandung.

Ceritanya, pada 2000 dia berencana akan meneruskan studi, yaitu ke Program Pascasarjana IIUM – Kuala Lumpur. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhinya adalah adanya surat rekomendasi dari tokoh.

Merasa sebagai keluarga besar Partai Bulan Bintang (PBB), dia ke Gedung DPR Senayan. Tujuan awalnya, akan menemui Yusril Ihza Mahendra. Ternyata, karena satu dan lain hal, langkahnya malah didekatkan untuk menemui Abdul Qadir Djaelani yang juga dari PBB.

Pertemuan tak sengaja itu, lebih karena ada sebuah daya tarik. Bahwa, di saat melintas, pintu ruang kerja Abdul Qadir Djaelani tampak terbuka. Dia-pun lalu menemui sang tokoh yang ternyata sahabat dari gurunya di Garut.

Belakangan, Malki Ahmad Nasir tahu, bahwa pintu kerja itu memang selalu terbuka dan baru tertutup hanya jika Abdul Qadir Djaelani benar-benar tidak ada di tempat. “Itulah hakikat dia sebagai anggota DPR yang siap melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat,” kata Malki Ahmad Nasir.

Singkat kisah, rekomendasi Abdul Qadir Djaelani turut mengantar sukses Malki Ahmad Nasir. Dia diterima di program S2 (dan kemudian melanjutkan ke program S3) di IIUM-Kuala Lumpur.

Kecuali hal di atas, ada satu hal lagi yang berkesan bagi Malki Ahmad Nasir. Pada saat dia akan pulang dari Gedung DPR, di kala meminta rekomendasi itu, Abdul Qadir Djaelani mengajak untuk ikut bersamanya naik mobil. Di perjalanan, beliau memberikan hadiah berupa monograf karyanya. Isinya, kritik Abdul Qadir Djaelani ke salah satu tokoh Marxisme. Atas hal itu, Malki Ahmad Nasir berkesimpulan bahwa wawasan Abdul Qadir Djaelani luar biasa luas.

 

Perindu Syahid, Selamat Jalan!

Artawijaya, aktivis dan penulis, punya catatan lain yang tak kalah mengesankan. Hal itu terkait dengan keinginan kuat Abdul Qadir Djaelani untuk syahid di Jalan Allah. Fragmen berikut ini, terjadi belasan tahun lalu.

“Usia saya sudah 70 tahun lebih, tetapi sampai saat ini saya masih merindukan mati syahid,” ungkap Abdul Qadir Djaelani saat berceramah di Masjid Al-Barkah, Kota Bekasi, Jawa Barat. Allahu-Akbar!

Kini, KH Abdul Qadir Djaelani telah menghadap Allah. Semoga Bang Djel termasuk yang Allah panggil dengan mesra di QS Al-Fajr 27-30 ini: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah ke dalam surga-Ku. [].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *