Sjafruddin Prawiranegara Pahlawan Nasional

“Siapa saja yang pernah memberikan kontribusi bagi bangsa, apakah itu sudah dikategorikan sebagai tokoh nasional, dan sudah dibuktikan juga dengan pemberian kehormatan berupa tokoh sejarah, maka wajar, bahkan tanpa diminta pun sebenarnya pemberian harus lebih aktif untuk menggali nilai-nilai dari para tokoh itu sebagai bagian dari pembelajaran sejarah,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu, 9 November 2011.

Menurut M. Nuh, pengakuan negara atas Sjafruddin sebagai pahlawan nasional otomatis memasukkannya sebagai bagian sejarah. Hal ini pun diakuinya perlu diketahui oleh masyarakat luas, melalui lembaga pendidikan. “Sekarang kan juga sudah ada. Kalau dia tak ada dalam sejarah masa orang tahu beliau pernah menjadi Presiden tahun 1948-1949,” ujarnya.

“Kalau sejarah itu merekam apa yang sudah terjadi, maka biarkan apa yang sudah terjadi itu, jangan pakai istilahnya kacamata konvergen, diperbesar atau diperkecil. Biarkan menggunakan kacamata datar. Apa adanya,” katanya.

M. Nuh mengatakan meski selama ini masyarakat mengetahui Soeharto adalah Presiden RI yang kedua, namun dia yakin adanya pemberian tanda kehormatan kepada Sjafruddin, maka masyarakat luas dapat menerimanya. 

“Itu sudah ada dalam sejarah, semua orang tahu itu masa transisi. Maka biarkan sejarah itu berbunyi apa adanya dan itulah yang kita sampaikan ke masyarakat, jangan dikurangi jangan ditambahi. Jadi apa adanya. Jangan sampai nilainya berbeda,” ujarnya.

Seperti diketahui, kemarin, Selasa, 8 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan tanda kehormatan kepada Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional di Istana Negara. Sjafruddin dianggap pantas menerima anugerah ini karena pernah menjabat sebagai Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Sjafruddin Prawiranegara, lahir 28 Pebruari 1911. Seorang pejuang masa kemerdekaan. Ketua atau Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) saat Pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada agresi militer Belanda 1119 hari Desember 1948. Dalam keputusan sidang kabinet Soekarno – Hatta mengirimkan telegram :

“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Djogdjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra “.

Pada hari yang sama pula di Bukittinggi Sjafrudin mengadakan rapat mengantisipasi tindakan Belanda. Rapat menyepakati pembetukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan tujuan untuk menyelamatkan NKRI dari kekosongan kepada pemerintahan. Sjafruddin ditetapkan sebagai ketua, kedudukannnya sama dengan presiden. Sjafruddin “menyerahkan kembali” mandat kepada Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Riwayat PDRI tamat setelah kurang lebih delapan bulan menyelamatkan eksistensi NKRI mempertahankan kedaulatan sebagai negara merdeka dari agresi. Setelah menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno Sjafruddin menjabat sebagai menteri keuangan.

Banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini pada saat itu dan munculnya ke khawatiran pengaruh komunis (PKI) karena perannya semakin menguat dalam pemerintahan Soekarno mendorong Sjafrudin dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI pada awal tahun 1958. Sjafruddin ditunjuk sebagai presidennya. Hal ini dilakukannya setelah beberapa kali Sjafruddin dan koleganya mengingatkan Presiden Soekarno akan bahaya komunis bagi pemerintahannya. Sebagai Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin mengundurkan diri. Menurut penuturan salah seorang puterinya, saat itu Sjafruddin mengatakan kepada keluarganya bahwa yang memberi makan dan rizki untuk hidup di dunia ini bukan pemerintah atau Soekarno, tapi Allah. Keselamatan bangsa ini dari bahaya komunis jauh lebih penting dan diatas segalanya. Disinilah kontroversi opini terhariap Sjafruddin terjadi; antara makar dan penyelamatan republik. Sjafrudin meninggal dunia 15 Februari 1989 dimakamkan di Jakarta.

Karir Sjafrudin Prawiranegara

Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),Masa Jabatan 19 Desember 1948-13 Juli 1949. Pendahulu: Soekarno, Pengganti: Soekarno. Lahir; 28 Pebruari 1911, meninggal 15 Pebruari 1989. Istri: T Halimah Syehabuddin P. Agama: Islam, Pendidikan: ELS (1925), MULO, Madiun (1928), AMS Bandung (1931), Rechtshogeschool, Jakarta (1939). Pegawai atau Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), Pegawai Departemen Keuangan Jepang, Anggota Badan Pekerja KNIP (1945), Wakil Menteri Keuangan (1946), Menteri Keuangan (1946), Menteri Kemakmuran (1947), Perdana Menteri RI (1948), Presiden Pemerintah Darurat RI (1948), Wakil Perdana Menteri RI (1949), Menteri Keuangan (1949­1950), Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951).

Memahami tentang siapa Mr. Sjafruddin Prawiranegara, salah satu pendekatannya dapat dilakukan dengan membaca novel biografi berjudul “Presiden Prawiranegara”. Membuka buku tersebut kepada pembaca disuguhkan fragmen kehidupan Mr. Presiden.

“Ayahmu menteri keuangan Ical,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli kain gurita bagi adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau ibu tidak mengalami sendiri kejadian itu, ibu pasti bilang bahwa itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.”

Itulah sederet kalimat yang cukup membuat mata terbelalak penuh keheranan. Kalimat itu terdapat pada halaman pertama sebuah novel : Presiden Prawiranegara , Kisah 207 hari Syafrudin Prawiranegara meminpin Indonesia. Sebuah novel biografi seorang negarawan Republik Indonesia. Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh besar yang dengan pemikiran kritis, cerdas dan cemerlang menyelamatkan negara ini menjadi sebuah negera merdeka yang berdaulat sejak proklamasi sampai sekarang. “Kalau tidak ada Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Sjafrudin sebagai pimpinannya niscaya kemerdekaan negara ini pernah terputus”, kata AM Fatwa Ketua Panitia Peringatan 1 abad Mr. Sjafrudin Prawiranegara 1911 – 2011 di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta 28 Pebruad 2011.

Dalam kata sambutannya pada buku biografi “Syafrudin Prawiranegara (Lebih takut kepada Allah SWT”), karya Ajip Rasidi, AM Fatwa menulis bahwa paling tidak ada tiga hal utama yang menarik dari Mr. Sjafrudin untuk diteladani yaitu; berani mengambil keputusan pada saat kritis, keutuhan pribadi dan kejujurannya, menurut hemat penulis ada satu lagi yang “istimewa” dari Sjafrudin yaitu kemampuan antisipasi melalui pemikiran yang melampaui jamannya. Keberanian dan kekritisan Mr. Sjafrudin sudah ditunjukkan oleh beliau melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesai (PDRI), pada agresi II 19 Desember 1949 untuk menghindarkan kevakuman pemerintahan Republik Indonesia. Sikap kritis yang pada awalnya mendapat penolakan dari berbagai kalangan khususnya terkait dengan aspek legalitas namun akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Buku: “PDRI dalam Perang dan Damai”, Amrin Imran dkk, Citra Pendidikan, 2003) memberikan testimoni tentang eksistensi PDRI:

“Yogyakarta jatuh. Akan tetapi nadi Republik tetap berdenyut. Pusat nadi itu pindah ke pedalaman Sumatra Barat dalam wujud PDRI dipimpin Sjafrudi Prawiranegara. Dari satu denyut itu menjalar keseluruh wilayah RI bahkan keperwakilan RI di luar negeri. Denyut itu juga menggetarkan tubuh angkatan perang di bawah pimpinan Penglima Besar Jendral Soedirman yang melalui radiogram menyatakan mendukung dan berdiri di belakang PDRI pimpinan Sjafruddin Prawiranegara “.

Meskipun masa pemerintahan PDRI yang berlangsung 207 hari atau kurang lebih delapan bulan namun sangat besar maknanya bagi Republik ini. Tanpa sikap kritis Sjafrudin plus keberaniannya memimpin PDRI, republik ini hanya akan berumur dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 19 Desember 1948. Langkah berani Sjafrudin itu pada masa lalu nampaknya lebih dimaknai dan dipandang sebagai bagian dari keniscayaan peristiwa; sesuatu yang harus terjadi pada perjalanan bangsa ini daripada dilihat sebagai bagian sejarah perlawanan anak bangsa terhadap penjajahan.

Artinya kalau pemerintah Belanda yang sudah sekian lama merasakan “keenakan dan kenyamanan menjajah” wajar kalau ingin menjajah kembali bangsa yang mendatangkan kemakmuran. Kalau kemudian dilakukan penangkapan terhariap pihak-pihak yang dianggap menghalangi upaya itu, adalah sebuah kewajaran. Namun menjadi sebuah ironi ketika perlawanan terhariap penjajah tidak diperhitungkan sebagai episode sejarah perjuangan mengusir penjajah untuk menyelamatkan arwah bangsa. Apalagi alasannya hanya karena terjadi perbedaan pandangan, langkah dan persepsi. Ironi menjadi semakin sempuma lagi ketika perbedaan itu dimaknai sebagai “melawan” dan dikemudian hari dikatagorikan sebagai pemberotak. Poin positifpun hilang (atau dihilangkan), makar menjadi stempel baru.

Menarik untuk disimak penuturan DR. Salim Said tentang Mr. Sjafrudin Prawiranegera,

“Berbicara tentang Sjafrudin Prawiranegara tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan dua hal. PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) dan PRRI (Pemerintah Revolusioner RepubIik Indonesia). PDRI menyelamatkan NKRI dari agresi dan PRRI sebagai upaya mengingatkan pemerintah RI dari bahaya komunis. PRRI tidak sebagaimana gerakan-­gerakan dari daerah lain yang ingin melepaskan dari NKRI tetapi sebagai gerakan alternatif penyelamatan bangsa dari komunisme”.

Benar juga pepatah yang mengatakan bahwa sejarah berjalan searah dengan kekuasaan. Sebuah peristiwa sejarah akan menjadi tidak dikenal bahkan tersisihkan ketika terdapat anggapan ada konflik (walau sebenarnya hanya perbedaan sikap) dengan pemegang kekuasaan. Kalau hal ini benar maka sangat mudah dirunut mengapa nama Mr. Safrudin Prawiranegara sang penyelamat republik dan PDRI di atau terlupakan dari pengakuan sejarah dan kepahlawanan bangsa. Cukup menarik ungkapan Farid Prawiranegara putera Mr. Sjafrudin tentang ada atau tiadanya pengakuan untuk ayahnya sebagai pahlawan nasional maupun presiden RI ke dua.

“Bagi kami dan keluarga keduanya tidak terlalu penting. Kami dan keluarga akan menjadi bangga kalau ayah dan PDRI diakui keberadaan dan jasanya dalam penyelamatan bangsa. Sejak dulu kami dan keluarga sudah mengakui ayah sebagai pahlawan dengan ada atau tidak adanya pengakuan kepahlawanan ayah dari pemerintah”.

Diakui Gerakannya Tidak Presidennya

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Belanegara. Keberadaan SK tersebut berarti mengakui bahwa sesungguhnya tanggal 19 Desember (1948) merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai langkah konkrit belanegara untuk menyelematkan republik ini dari kekosongan kepemimpinan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keppres ini sesungguhnya bukan tidak membawa konsekuensi. Pengakuan 19 Desember 1948 sebagai hari belanegara acuannya adalah berdirinya PDRI, sebagai langkah dan wujud konkrit keterpanggilan belanegara, anak bangsa. Keputusan ini membawa konsekuensi pengakuan bahwa tanpa terbentuknya PDRI berarti terjadi kekosongan kepemimpinan pemerintahan RI. Pengakuan 19 Desember sebagai hari belanegara juga pengakuan akan eksistensi PDRI sebagai pemerintahan yang berdaulat dan (mestinya) pengakuan kepemimpinan Mr. Sjafrudin sebagai presiden PDRI yang sah (karena gerakannya juga sah). Logika sehat mengatakan bahwa eksistensi PDRI sebagai pengisi kevakuman pemerintahan tentu tidak mungkin terjadi tanpa ada yang memimpinnya. Namun untuk kasus yang satu ini ternyata logika itu terbantahkan dengan bukti diakuinya gerakan dan keberadaan PDRI namun tidak (diakui) pemimpin atau presidennya.

Pribadi Utuh dan Jujur

Membaca pengakuan istri Mr. Sjafrudin pada buku “Presiden Prawiranegara ” saja bisa jadi orang tidak percaya dan ragu terhariap kejujuran dan kepribadian Mr. Presiden ini. Ada bukti lain yang menjelaskan tentang kejujuran dan pribadi beliau. Setelah Presiden Soekarno memberikan amnesti dan abolisi kapada mereka yang terlibat dalam PRRI/Permesta, Mr Sjafrudin turun gunung dijemput utusan khusus KASAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jendral AH Nasution . Kepada penjemputnya Kolonel Abdurrahman (yang temyata adiknya sendiri) Mr. Sjafrudin menyampaikan :

“RPI (Republik Persatuan Indonesia) masih mempunyai sejumlah emas, berupa batangan dan uang emas yang ditinggalkan disekitar Kato Tinggi, dipendam baik-baik, selekas mungkin digali untuk diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Emas itu berasal dari Bank Indonesia Padang, sedianya dicadangkan untuk membeayai perjuangan PRRI/RPI…. jumlah semuanya ada 29 kilogram… “

 Emas itu kemudian secara resmi diserahkan oleh Sjafruddin kepada pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962. Inilah kisah nyata tentang Sjafrudin Prawiranegara Tokoh bangsa ini yang mempunyai kepribadian utuh dan kejujuran. Dua sifat utama yang terasa semakin sulit untuk ditemukan dalam kehidupan generasi anak bangsa jaman kini. Sjafrudin tidak tamak tidak serakah. Tidak mau menggunakan aji mumpung berkuasa dan mumpung ada kesempatan. Segalanya memungkinkan bagi Sjafrudin untuk memiliki emas itu kalau mau dan hanya berfikir untuk kepentingannya sendiri. Namun ternyata Mr. Sjafruddin tidak melakukannya. Benar juga yang ditulis oleh begawan sastra Indonesia Ajip Rosidi bahwa: “Sjafrudin lebih takut kepada Allah swt, menyadari bahwa emas itu bukan haknya maka tak mau memilikinya”. (vivanews/unissula/Kartika Pemilia)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *