Abbas Hassan; Da’i dan Penulis Produktif yang Lahirkan Lebih dari 100 Karya

Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc

abbas hassan

inpasonline.com – Abbas Hassan lahir pada 17 Maret 1924 di desa Padang Japang, Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia tumbuh dalam suasana masyarakat Minangkabau yang religius dan kuat dalam adat. Sejak kecil, Abbas sudah menunjukkan semangat belajar yang tinggi, meskipun harus menghadapi berbagai keterbatasan ekonomi dan tantangan sosial.

Abbas Hassan pernah berguru kepada sejumlah tokoh ulama besar yang berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam di Minangkabau. Di antaranya adalah Syekh Abbas Abdullah, pendiri Madrasah Darulfunun El Abbasiyah, tempat Abbas sempat menuntut ilmu sebelum pernikahannya. Keputusan besarnya untuk menikah di usia 17 tahun sempat menuai kritik, namun justru menjadi titik tolak perjuangan hidupnya yang penuh tekad dan keberanian.

Selain itu, setelah mengalami masa-masa sulit, ia juga pernah dititipkan kepada ulama karismatik K.H. Rasul Hamidy di Payakumbuh, yang menjadi pembimbingnya dalam masa kritis kehidupan. Dari tangan para ulama inilah Abbas Hassan menyerap ilmu agama dan semangat perjuangan intelektual, meski akhirnya lebih dikenal sebagai penulis dan mubaligh dibanding sebagai alumni resmi lembaga pendidikan formal.

 

Multitalenta

Dalam perjalanan hidupnya, Abbas Hassan dikenal sebagai sosok multitalenta. Ia berkiprah sebagai guru, dai, pengarang, dan wartawan. Sebagai pendidik, ia aktif mengajar di berbagai madrasah dan sekolah formal, meskipun tidak memiliki ijazah guru resmi. Namun karena ketekunan dan kepandaiannya, ia dipercaya mengajar berbagai mata pelajaran, terutama yang terkait dengan agama dan bahasa Arab. Gaya mengajarnya tegas tapi bersahabat, membuatnya dicintai murid-murid.

Pengalaman Abbas Hassan sebagai guru berawal dari masa mudanya, meski tanpa ijazah formal keguruan. Ia pertama kali menjadi guru Tsanawiyah Muhammadiyah di Matur, Sumatera Barat (1942–1943), lalu di Perguruan Islam di Piladang, Payakumbuh (1943–1944). Pada tahun 1951, karena kepiawaiannya dalam ceramah agama yang memikat, Abbas Hassan diangkat menjadi guru agama di SGA Negeri dan SMEA Negeri Medan oleh Mochtar Yahya, Kepala Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Sumatera saat itu. Hal itu terjadi meskipun ia hanya menyelesaikan pendidikan dasar dan belajar agama secara nonformal selama empat tahun di Sumatera Thawalib. Selain itu, selama tinggal di Medan, ia juga mengajar pengajian Aisyiyah secara rutin tiap pekan sebagai syarat tinggal di rumah yang disediakan organisasi tersebut.

 

Kreatif dan Aktif

Sebagai da’i, Abbas dikenal karena pendekatan dakwahnya yang membumi dan menyentuh persoalan hidup sehari-hari. Ia berceramah di berbagai forum pengajian, baik di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Sulawesi Selatan maupun daerah pedalaman. Ia mengangkat tema-tema keluarga, pendidikan anak, hingga moral sosial dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami. Kemampuannya berdakwah lisan seiring dengan pengaruh dakwah tulisan yang juga ia geluti sepanjang hidupnya.

Di luar dunia dakwah dan pendidikan, Abbas juga aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Abbas Hassan pada tahun 1946-1949 berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai posisi strategis yang ia emban. Sebagai Mayor Tituler Lasykar GPII Padang Luar Kota, ia turut aktif dalam perjuangan rakyat. Kiprahnya terus berlanjut saat ia menjabat sebagai Kepala Penerangan Mobil Kewedanan Militer Payakumbuh Utara, sebuah posisi yang menuntutnya menyebarluaskan informasi penting bagi pergerakan militer dan rakyat.

 

Berangkat dari Integritas

Selain itu, Abbas Hassan juga memiliki kontribusi besar dalam bidang keagamaan. Ia pernah menjadi Pejabat Kepala Penerangan Agama Sumatera Barat, peran yang memperkuat pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual di tengah perjuangan nasional. Tidak hanya itu, ia juga dipercaya sebagai Komandan Legiun Syahid Payakumbuh Utara, sebuah posisi yang mempertegas komitmennya dalam membela tanah air hingga titik darah penghabisan.

Abbas Hassan adalah potret tokoh yang meniti jalan hidup dengan keyakinan, kerja keras, dan ketulusan. Ia tidak mencari popularitas, namun pengaruhnya terasa dalam berbagai bidang yang ia geluti. Dengan latar belakang pendidikan non-formal dan perjuangan hidup yang keras, ia mampu membuktikan bahwa integritas, ilmu, dan pengabdian kepada masyarakat adalah modal utama dalam membangun nama baik dan kebermanfaatan yang abadi.

 

Kaya Pengalaman

Abbas tumbuh sebagai seorang yang sangat tekun membaca. Saat usia remaja (sekitar 15-17 tahun sebelum menikah), menurut cerita yang ditulis langsung dirinya dalam majalah Harmonis (No. 134/VII/1977) berjudul “Pengalaman Sangat Berkesan dalam Menengakkan Rumah Tanggaku”, ia menulis : “Dan aku memang sangat rajin membaca. Selama 2 tahun, telah kubaca sampai tammat tidak kurang dari 1.500 buku roman, 800 nomor majalah Islam dan sekitar 80 buah buku pengetahuan agama. Di samping itu aku terus-menerus menulis dengan nama A. Hasny yang kupakai waktu itu mulai ‘dikenal’.

Luar Biasa! Dalam dua tahun saja, pada zaman ketika sumber literasi tidak terlalu mudah didapatkan, ia melahap buku sebanyak itu di usianya yang masih muda. Kecintaannya pada buku mengubah jalan hidupnya; dari remaja yang dicap “gila karena cinta”, menjadi sosok yang diperhitungkan di dunia literasi.

Ketika belum tamat sekolah formal, Abbas mulai dikenal sebagai penulis. Waktu itu dia sudah menulis tentang cerpen dan berita pendek. Dari menulis cerpen dan berita pendek, Abbas kemudian dipercaya menjadi guru. Ia mengajarkan balaghah (kesusastraan Arab) dan melatih murid-muridnya menulis karangan. Bahkan karangan muridnya pun ia bantu kirim ke media agar bisa dimuat. Menulis tidak hanya menjadi panggilan hati, tapi juga profesi yang ia tekuni secara serius. Meski awalnya semua dijalani dengan tidak mudah, namun lambat laun kompetensinya semakin terasah.

Istrinya menjadi saksi paling dekat dalam perkembangan Abbas sebagai penulis. Meski tidak terlalu gemar membaca, sang istri selalu membaca roman-roman karangan suaminya sampai tuntas. Bahkan, jika merasa ada bagian yang “terlalu nyata” (mengenai dirinya), ia bisa bersikap seolah menjadi jaksa terhadap Abbas dengan bertanya secara kritis dan memberi masukan. Namun dukungan emosional dan kepercayaan dari istrinya menjadi kekuatan batin yang besar bagi Abbas untuk terus berkarya dalam dunia tulis-menulis.

Tidak mengherankan jika Abbas Hassan di kemudian hari menjadi salah satu penulis produktif di masanya. Ia mulai menulis sejak usia muda, dan hingga tahun 1955 saja, telah berhasil menyusun lebih dari 100 buku. Apalagi pada tahun-tahun berikutnya yang terus bertambah. Keterangan ini bisa dibaca dalam tulisan Drs. Mochtar Kamal berjudul “Seorang Sahabat Kita: Guru, Pengarang, Wartawan, Da’i yang Sewajarnya Jadi Hartawan” yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah (No. 19, Thn. XIX/1986).

Karya-karyanya meliputi berbagai genre, mulai dari buku pelajaran Sekolah Dasar dan menengah, buku agama, hingga novel populer. Beberapa di antaranya mengalami cetak ulang hingga puluhan kali, menunjukkan besarnya minat pembaca terhadap tulisannya. Salah satu novel terkenalnya berjudul Kasih Tak Putus, Gadis Modern, Sumarni Gadis Simpatik, Cinta dan Kecurangan yang mengalami cetak ulang karena banyak peminat.

Di antara buku beliau yang sudah diterbitkan: 1. Di Celah-celah Kehidupan Nabi (1966); 2. Kenapa Nabi Muhammad Sangat Sehat?; 3. Sukses dalam Pergaulan (1966); 4. Beginilah Cara Bersuami (1965); 5. Pedoman Penyelenggaraan Jenazah (1982); 6. Hukum Perkawinan dan Rumah Tangga (1953); 7 Ilmu Bumi Tanah Air Kita (Indonesia); 8. Ilmu Hayat (Tubuh Manusia dan Penjagaan Kesehatan) (1953); 9. Ilmu Tumbuh-Tumbuhan (1954); 10. Penuntun Achlak untuk Kelas IV S.R. (1953); 11. Sejarah Rasul-Rasul Pilihan (25 Nabi) (1952); 12. Sejarah Tanah Air Kita Indonesia untuk Sekolah Rakyat (1953) dan masih banyak lagi yang lainnya. Ini, sebagai gambaran betapa produktifnya beliau meski tak bersekolah tinggi.

Hal unik yang juga perlu disebutkan dalam tulisan ini adalah dalam kurun waktu antara tahun 1950 hingga 1955, Abbas Hassan berhasil menyusun sekitar 100 buku pelajaran, baik untuk tingkat SD maupun SGA/SMA, yang sebagian besar diterbitkan oleh Penerbit Maju. Ia menyebut bahwa buku-buku pelajaran itu mencakup berbagai mata pelajaran, dan beberapa di antaranya bahkan mengalami cetak ulang sampai 52 kali, menunjukkan tingginya animo dan manfaat karya-karya tersebut di kalangan pelajar. Kesuksesan ini ia capai bersamaan dengan kiprahnya sebagai muballigh dan guru di Medan.

 

Alat Perjuangan

 Selain buku, Abbas Hassan juga aktif menulis untuk berbagai media massa. Ia mempublikasikan tulisannya di majalah-majalah Islam seperti KIS (Kaum Ibu Sepakat), Persamaan di Padang, dan Cahaya Islam di Medan. Tulisannya sering berbentuk cerpen, artikel dakwah, dan ulasan kehidupan keluarga, yang ditulis dengan bahasa yang komunikatif dan bernilai edukatif. Karirnya sebagai penulis juga menjangkau dunia jurnalistik, tempat ia turut memberikan warna dalam diskursus keagamaan dan sosial di masyarakat.

Puncak keterlibatannya dalam dunia media terlihat saat ia dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) majalah keluarga dan keislaman Harmonis, yang terbit pada era 1970–1980-an. Dalam posisi ini, Abbas tidak hanya menjadi pengarah editorial, tetapi juga penentu arah isi majalah secara keseluruhan. Ia berkomitmen menjaga kualitas dan nilai-nilai moral dalam setiap edisi yang diterbitkan, menjadikan Harmonis sebagai majalah yang digemari masyarakat karena menyajikan bacaan keluarga yang ringan, bermutu, dan sarat nilai keislaman. Menurut catatan Kurniawan Junaedhie dalam buku “Rahasia Dapur Majalah di Indonesia” (1995: 312), Harmonis adalah majalah tengah bulanan yang terbit sejak tahun 1970. Mottonya: “Untuk Agama, Bangsa dan Tanah Air.”

Melalui kiprah panjangnya di dunia penerbitan, Abbas Hassan berhasil menjadikan pena sebagai alat perjuangan dan pengabdian. Ia bukan hanya menulis demi karir, tetapi juga demi mendidik umat, menyampaikan nasihat moral, dan mengabadikan pemikirannya secara tertulis. Komitmennya terhadap dunia tulis-menulis dan penerbitan memperkuat posisinya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah literasi Islam Indonesia abad ke-20.

Capaiannya yang begitu mengagumkan–setelah atas izin Allah–lahir dari perjuangan dan sikap yang tak pernah mengenal putus asa. Ini menjadi inspirasi bagi setiap orang yang ingin menjadi penulis produktif agar tetap tegar apa pun kondisinya. Persis seperti yang pernah dinasihatkan Abbas Hassan, “Kunasihatkan, jangan berputus asa meskipun bagaimana hebat kesulitan yang dihadapi!  Dan yakinlah, semua cita-cita akan tercapai bila Anda tetap berusaha dan tekun pula mengabdikan diri kepada-Nya!

Selain itu, nasihatnya kepada Masud HMN, agar banyak membaca penting untuk diperhatikan bagi siapa saja yang ingin mengikuti jejaknya: “Belajar itu ditandai membaca, yang banyak membaca berarti banyak belajar. Makin banyak buku bacaan semakin luas ilmu yang didapat.” []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *