Jejak Panjang
Ahmad Hassan, nama lengkapnya. Tapi, terutama bagi para pecinta buku, nama A.Hassan lebih dikenal karena nama itulah yang tertera di puluhan sampul buku karya ulama yang lahir pada 1887 di Singapura itu.
Kecuali itu, dia akrab pula disapa Hassan Bandung, karena lama tinggal di Bandung. Tetapi, banyak pula yang memanggilnya Hassan Bangil, karena dia mendirikan pesantren di kota itu.
Ayah A.Hassan pedagang, pengarang, dan wartawan terkenal di Singapura. Ibunya, mempunyai asal-usul dari Mesir, tetapi lahir di Surabaya. Terbawa profesi sang ayah, ‘aroma’ perniagaan dan kepenulisan dominan mewarnai tumbuh-kembang A.Hassan. Bahkan, si ayah berharap kelak A.Hassan juga menjadi penulis.
Setelah belajar hingga 1910, A.Hassan mulai menjadi guru. Dia mengajar di Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat di Singapura. A.Hassan juga mulai menunjukkan kemahirannya menulis. Pada 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura. Dia menulis masalah-masalah agama, dalam konteks amar makruf nahi munkar. Dia kritis mengamati berbagai persoalan kemasyarakatan dari pespektif Islam. Tema-tema itu terus dipertahankannya sehingga sangat mewarnai berbagai karya dia di kemudian hari.
Pada 1921, A.Hassan pindah ke Surabaya. Dia bersahabat dengan tokoh Syarikat Islam, seperti HOS Cokroaminoto, H.Agus Salim, dan lain-lain. A.Hassan disambut hangat karena kedalaman ilmu agamanya dan jiwa kepejuangannya.
Pada 1925, dia pindah ke Bandung. Di kota ini dia berinteraksi dengan kalangan PERSIS (Persatuan Islam). A.Hassan-pun sering diundang berceramah di pengajian-pengajian PERSIS. Atas kepribadiannya yang baik, pengetahuannya yang luas, metode dakwahnya yang bagus, kalangan PERSIS lalu mengukuhkan A.Hassan sebagai guru dan tokoh PERSIS.
Pada 1941 A.Hassan hijrah ke Bangil. Seperti di Bandung, di Bangil A.Hassan terus berdakwah, baik melalui tulisan, pengajian, dialog, dan bahkan debat. Dia terus menulis buku, mencetak dan menerbitkannya sendiri.
Dalam hal usaha memurnikan ajaran Islam (dalam artian menyeru kaum Muslimin untuk berislam sesuai Al-Qur’an dan Hadits), peran A.Hassan besar. Peran dia bisa dilacak lewat, pertama, berbagai tulisan yang dibuatnya dan, kedua, berbagai debat yang dilakukannya. Di kedua aktivitas itu dia dikenal tajam, fasih, dan tegas.
A.Hassan dikenal sebagai ulama yang kritis dan penulis yang produktif. Di antara puluhan buku yang ditulisnya, berikut sekadar menyebut beberapa saja, yaitu: Tafsir Al-Furqan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (4 jilid), Pengajaran Shalat, dan Terjemah Bulughul Maram (yang disertai catatan dari A.Hassan).
Kecuali itu, inilah judul-judul yang lain: Adakah Tuhan? Bibel lawan Bibel, Debat Kebangsaan, Debat Riba, Debat Taklid, Halalkah Bermazhab? Isa dan Agamanya, Isa Disalib? Pemerintahan Islam, Risalah Hajji, Wajibkah Zakat? Risalah Jum’at, dan lain-lain.
Setelah mendiskripsikan profil A.Hassan, di www.voa-islam.com 16/3/2010 A.Ahmad Hizbullah mengungkap keahlian sang ulama dalam berdebat. Disampaikan, bahwa pada 1930-an, A.Hassan berdebat dengan tokoh Ahmadiyah, Abubakar Ayyub.
Ketika itu A.Hassan mengemukakan ‘hadits’: Di hari Rasulullah SAW meninggal, bumi berteriak, katanya: “Yaa Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan dari diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka, Allah berfirman kepada bumi: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”
Abubakar Ayyub lalu menanyakan riwayat hadits itu. Maka, A.Hassan menjawab tidak tahu, sambil menambahkan: “Apakah Tuan suka hadits ini? Bila Tuan suka, silakan pakai. Bila tidak, silakan tolak.”
Abubakar Ayyub-pun menolak ‘hadits’ yang disampaikan A.Hassan itu karena tidak jelas siapa perawinya dan di kitab apa tertulisnya. Kala itu, pengikut Ahmadiyah yang hadir bersorak, karena merasa bangga bahwa tokohnya akan memenangkan debat dalam waktu singkat. Pikir mereka, A.Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadits yang dibacanya. Dan, Ayyub-pun merasa dirinya menang.
Sejurus kemudian, A.Hassan membuat kejutan. Dia mengatakan bahwa ‘hadits’ itu terdapat di kitab Mirza –Tuhfah Baghdad– di halaman 11. Maka, seketika itu, para pengikut Ahmadiyah diam seribu bahasa.
A.Hassan-pun meminta Abubakar Ayyub untuk bertanya kepada nabinya –Mirza- tentang riwayat ‘hadits’ itu dan dari mana diambilnya. Silakan tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadits itu bukan hadits nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah SAW wafat. Jadi, tegas A.Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi dan jawaban Allah. Siapakah dia? Tanyakan kepada ‘nabi’ Mirza, desak A.Hassan.
Abubakar Ayub ketika itu kalah total, karena tak bisa membantah argumen A.Hassan. Tetapi, Abubakar Ayub masih berkelit dengan mengatakan bahwa hadits itu bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi” yang masih kitabnya Ahmadiyah. Namun, dia bahkan melemahkan dirinya sendiri dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut sehingga tidak bisa dilihat. Maka, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi.
Lawan polemik A.Hassan juga menyentuh level presiden. Cermatilah tulisan Artawijaya di www.voa-islam.com 1/12/2011, bahwa: “Meski sahabat karib, A.Hassan tak segan-segan mengritik Soekarno yang begitu mengidolakan sekularisasi yang diusung oleh tokoh sekular Turki, Mustafa Kamal Attaturk. Bagi A.Hassan, Islam tak bisa dipisahkan dari urusan negara. Kritik A.Hassan terhadap paham sekular Soekarno bisa dilihat dalam buku ‘Islam dan Kebangsaan’, sebuah karya fenomenal A.Hassan yang mengritisi kelompok nasionalis-sekular pada masa itu”.
Masih ‘Hidup’
A.Hassan telah berpulang ke Rahmatullah pada 10/11/1958. Dia memang telah wafat. Tapi, dia serasa masih bersama kita karena pemikiran-pemikirannya yang tertuang di dalam berbagai bukunya masih ‘hidup’ dan setia menemani kita. []