Oleh : M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis belasan buku
inpasonline.com – Hamka itu pribadi yang fenomenal. Karya tulis dari Ulama Besar itu, yang pendidikan formalnya tak sampai lulus Sekolah Dasar (SD), lebih dari seratus judul. Tafsir Al-Azhar adalah puncak prestasi kepenulisannya.
Sementara, karyanya yang berjudul Tasawuf Modern termasuk yang tak akan mudah dilupakan oleh masyarakat. Buktinya, meski telah terbit sejak 1937, buku tersebut terus dicetak ulang hingga kini.
Bukan hanya masyarakat saja, pihak yang sulit melupakan buku Tasawuf Modern justru Hamka, sang penulis sendiri. Apa pasal?
Tak Terlupakan
Buku Tasawuf Modern, yang berisi kumpulan artikel yang pernah dimuat di majalah pimpinan Hamka, tergolong menarik. Ada beberapa indikasi atas hal itu. Salah satunya, ini: Bahwa, sejak masih berupa seri artikel di majalah Pedoman Masyarakat, tidak sedikit pembaca Tasawuf Modern yang terpikat.
Pembaca terpesona karena mereka merasa mendapat manfaat darinya. Mereka, yang terpikat itu, mulai dari kalangan awam sampai terpelajar. Misal, ada pemuda Aceh yang mengaku mendapatkan penguatan iman dan jiwa.
Cerita lain, ada seorang dokter di Manna – Bengkulu Selatan, yang lewat surat menyatakan bahwa hati dia semakin teguh. Dia lalu bilang bahwa jika seorang dokter bisa dikatakan sebagai tabib jasmani, maka Tasawuf Modern adalah tabib rohani.
Di kesempatan lain dan orang yang berbeda, tapi seorang dokter juga. Dia menasihatkan kepada pasien yang tengah dirawatnya agar membaca Tasawuf Modern guna menentramkan jiwanya dan melekaskan sembuhnya.
Kemudian, di lain-lain tempat. Beberapa pasang suami-istri yang berbahagia mengatakan, bahwa Tasawuf Modern telah menjadi semacam patri–yang lebih menguatkan-kehidupan mereka yang bahagia.
Apa gerangan isi buku Tasawuf Modern dengan tebal 397 halaman itu? Buku itu membahas masalah bahagia. Judul Tasawuf Modern dipilih karena itu nama rubrik tempat tulisan-tulisan Hamka dimuat. Nama rubrik tersebut tersohor di kalangan masyarakat, terutama pembaca setia majalah Pedoman Masyarakat.
Agar sedikit punya gambaran, berikut ini Daftar Isi Tasawuf Modern. Ada tiga belas bab: 1).Pendapat-pendapat tentang Bahagia. 2).Bahagia dan Agama. 3).Bahagia dan Utama. 4).Kesehatan Jiwa dan Badan. 5).Harta Benda dan Bahagia. 6).Qana’ah. 7).Tawakkal. 8).Bahagia yang Dirasakan Rasulullah Saw. 9).Hubungan Ridha dengan Keindahan Alam. 10).Tangga Bahagia. 11).Senangkanlah Hatimu. 12).Celaka. 13).Munajat.
Jasa Itu
Hamka merasa pernah diselamatkan oleh Tasawuf Modern, buku yang dia tulis sendiri. Memang, dulu saat Hamka di dalam tahanan rezim Orde Lama, nyaris terjerumus kepada tindakan bunuh diri yang bisa membawanya ke neraka.
Pada 27 Januari 1964, bertepatan dengan 12 Ramadhan 1385 H, siang hari Hamka dijemput aparat keamanan di rumahnya. Dia ditangkap dan ditahan. Bersama dia, sejumlah aktivis Partai Masyumi juga ditahan secara sepihak oleh penguasa. Tuduhannya, akan melakukan makar dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno.
Berhari-hari Hamka diinterogasi, tak kenal henti. Disebut berhenti hanya ketika makan dan shalat saja. Bahkan, di saat tidur pun diganggu. Rupanya, target aparat, harus ada pengakuan bersalah dari Hamka.
Mengingat Hamka memang tak melakukan hal yang dituduhkan, maka pemeriksa tentu tak bisa mendapatkan apa yang mereka harapkan. Akhirnya, keluar kalimat provokatif dari pemeriksa: “Saudara pengkhianat, menjual negara ke Malaysia”.
Kalimat itu pendek, tapi sangat melukai hati Hamka. Gelap pandangan Hamka saat mendengar tuduhan “Pengkhinat, menjual negara ke Malaysia”. Gemetar Hamka menahan marah.
Betapa tak akan marah Hamka! Sebelumnya, selama hidup, tak ada yang berkata-kata kasar kepadanya. Dia berasal dari keluarga yang terpandang. Dia putra seorang Ulama Besar–Dr. Abdul Karim Amrullah-yang oleh karena itu sedari kecil telah mendapat penghormatan masyarakat.
Sejak beranjak dewasa, Hamka sendiri adalah aktivis dakwah yang turut membangun masyarakat terutama dari aspek keagamaan. Tulisan-tulisannya sangat menginpirasi banyak pembaca. Di latar Indonesia, Hamka adalah salah satu tokoh nasional yang giat berusaha menguatkan negeri ini termasuk lewat sisi politik. Sebagai Ulama Besar, pada 1959, posisinya itu diakui oleh Universitas Al-Azhar Mesir yang berkenan menganugerahi Hamka gelar Doktor Honoris Causa.
Tuduhan “Pengkhianat dan penjual negara ke Malaysia” membuat Hamka sangat terpukul. Kala itu, andai menuruti marah, bisa saja Hamka “membuat perhitungan” dengan si pemeriksa yang ada di depannya. Tapi, jika itu dilakukannya, sebutir peluru tak sulit untuk mengakhiri hidupnya. Lalu, besoknya dapat disiarkan di berbagai media, bahwa Hamka lari dari tahanan. Dia dikejar, dan tertembak mati.
Hamka sadar dan lalu terduduk. Hamka menangis.
“Janganlah saya disiksa seperti ini, bikinkan saja satu pengakuan bagaimana baiknya. Akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian–pengkhianat dan penjual negara-janganlah kalian ulangi lagi,” pinta Hamka ke pemeriksa.
“Memang Saudara pengkhianat,” kata pemeriksa itu lagi sambil pergi.
Remuk hati Hamka! Lalu, datang tamu tak diundang, setan. Dia bisikkan ke Hamka, ada silet di sakunya. Dengan alat–benda tajam-itu, dia bisa bunuh diri agar masyarakat tahu bahwa Hamka mati karena tidak tahan menderita akibat penahanan yang sewenang-wenang.
Hampir satu jam terjadi perang hebat di diri Hamka, antara ikut rayuan setan atau bertahan dengan iman yang telah dibina berpuluh-puluh tahun. Di pertarungan batin yang sengit itu, Hamka sampai sempat membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anaknya di rumah.
Hamka lalu berpikir, jika dia bunuh diri maka mereka yang menganiaya itu akan menyusun “berita indah”, bahwa: Hamka kedapatan bunuh diri karena malu setelah polisi menunjukkan beberapa bukti atas pengkhianatannya. Tentu, ini akan menghancurkan nama baik Hamka yang telah diperolehnya lewat jalan panjang perjuangan puluhan tahun.
Hal lain, jika dia bunuh diri, nanti akan ada orang yang berkata bahwa dengan bukunya–Tasawuf Modern-Hamka meminta orang agar sabar, tabah, dan teguh hati bila mendapat ujian Allah. Orang-orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, tapi dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk surga karena bimbingannya, sementara Hamka di akhir hayatnya memilih neraka.
Setelah sempat terjadi pergulatan batin yang dahsyat, iman Hamka menang. Hamka terlepas dari kemungkinan terpedaya setan. Hamka terlepas dari godaan untuk bunuh diri.
Setelah pemeriksaan yang bernuansa horor karena sangat menekan batin Hamka itu, penahanan tetap berlanjut. Sampai suatu saat, karena sakit, Hamka dipindah ke salah sebuah Rumah Sakit di Jakarta. Di sana, kepada anaknya, Hamka minta dibawakan buku Tasawuf Modern.
Di Rumah Sakit, Hamka membaca karyanya sendiri, Tasawuf Modern. Kenyataan ini, menarik perhatian seorang teman Hamka saat datang menjenguknya.
“Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka,” seru si teman.
“Memang, Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri, sesudah selalu memberikan nasihat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini, sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku Tasawuf Modern ini,” respons Hamka.
Bahagia, Bahagia!
Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Siapakah Hamka? Oleh karena suka menambah ilmu secara otodidak–belajar sendiri-, Hamka menguasai banyak pengetahuan seperti agama, filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Di belakang hari, tak aneh, jika predikat yang disandangnya banyak seperti ulama, pemikir, sastrawan, wartawan, penulis, tokoh masyarakat, dan aktivis politik.
Adapun sebagai ulama dan penulis/sastrawan, Hamka tak hanya dikenal di Indonesia. Dia juga dikenal di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Mengagumkan prestasi yang didapat tokoh yang lebih banyak belajar kepada ayahnya sendiri yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah dan kepada iparnya sendiri yaitu Buya Sutan Mansyur. Juga, karena membaca atau belajar sendiri.
Memang, siapapun akan kagum terhadap Hamka, misal dalam hal kemampuannya membagi waktu di kesehariannya yang banyak agenda. Sekadar gambaran, di sebuah masa, aktivitas rutin Hamka antara lain adalah memimpin MUI, menulis artikel untuk majalah Panji Masyarakat, dan berdakwah di berbagai tempat.
Khusus saat Hamka menulis dan menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, Dr. KH EZ Muttaqien punya kalkulasi menarik. Tebal kitab tafsir itu sekitar 9000 halaman. Berarti kalau umur Hamka 74 tahun, setiap hari dia selesaikan dua halaman.
Hamka, kata EZ Muttaqien, memenuhi kriteria seperti yang dimaksud sabda Rasulullah Saw ini, bahwa “Seorang mukmin tidak pernah kenyang melakukan kebaikan, kecuali kalau dirinya telah memasuki surga”. EZ Muttaqien punya argumentasi untuk itu, yaitu terbukti “Hamka tiada hentinya berjuang dengan pikiran, kegiatan, tulisan, lisan, dan sikap-sikapnya sejak zaman mudanya. Sepekan menjelang wafatnya dia masih menunaikan tugasnya berdakwah (Perjalanan Terakhir Buya Hamka, 1981: 127).
Demikianlah, Hamka telah pergi. Hanya saja, kita sangat bersyukur, Almarhum meninggalkan banyak jejak kebaikan termasuk buku-buku inspiratif dalam jumlah yang banyak.
Semoga buku-buku itu, dalam takarannya masing-masing, menjadi amal jariyah sang penulis terutama karena mampu “menyelamatkan” perjalanan hidup kita lewat berbagai panduan keagamaan di dalamnya.
Menyelamatkan? Iya, bukankah telah ada contoh jelas setidaknya untuk buku Tasawuf Modern? Kita ingat, banyak pribadi yang menjadi lebih baik setelah membaca buku itu. Banyak yang lebih bisa merasakan makna bahagia sesudah meresapi isi buku itu. Bahkan, bukankah Hamka sendiri telah diselamatkan oleh sebuah buku berjudul Tasawuf Modern? []