Resensi buku oleh Anwar Djaelani, dosen Akademi Da’wah Indonesia (ADI) – Jatim
Judul buku : Kisah-Kisah Pahlawan Nusantara
Penulis : Salim A. Fillah
Penerbit : Pro-U Media Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, 2022
Tebal : 398 halaman
Buku ini “Dituliskan dari penuturan Salim A. Fillah dalam Series Ramadhan 1443 H” (h.3). Di dalamnya ada 30 judul tapi berkisah tentang 39 tokoh. Hal ini, karena ada judul yang memuat dua tokoh seperti “Pati Unus dan Fatahillah”. Juga, ada yang tiga tokoh seperti “Rohana Kuddus, Rasuna Said, dan Rahma El-Yunusiyyah”.
Di Balik Peribahasa
Cermati Imam Bonjol! Dia berasal dari Minangkabau. Dia tak bisa dipisahkan dari Perang Padri, perang para pemuka agama melawan penjajah (h.55). Tak kurang enam tahun Imam Bonjol melawan sekaligus merepotkan Belanda.
Nama aslinya Muhammad Syahab. Dia lahir di Bonjol pada 1772. Dia dihormati karena berwibawa, termasuk bisa menyatukan kaum Padri dan kaum adat untuk menyadari bahwa Belanda adalah musuh bersama.
Kesadaran itu diwujudkan lewat sebuah perjanjian bersama. Isinya, persetujuan antara kaum padri dan kaum adat yang kemudian melahirkan peribahasa yang menjadi pedoman orang-orang Minangkabau sampai sekarang: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Makna dari peribahasa tersebut, adat itu sendinya dari syariat yang tak boleh dilanggar. Sementara, syariat itu sendi-sendinya ada di dalam Kitabullah. Jadi, dari Kitabullah menjadi syariat, lalu syariat itu yang menjadi adat di Minangkabau. Ini merupakan salah satu hasil dakwah Imam Bonjol (h.60).
Guru yang Baik
Seksamai Tjokroaminoto! Dia yang lahir pada 1882, adalah “Guru Para Bapak Bangsa”. Disebut demikian, karena sebagian dari Bapak Bangsa (di antaranya, Soekarno) pernah indekos-yaitu menumpang tinggal lantaran sedang sekolah atau aktivitas lainnya-di rumah beliau di Surabaya. Mereka menjadi murid-murid Tjokroaminoto (h.241).
Pada 1914, Kongres Sarekat Islam memilih Tjokroaminoto sebagai Pemimpin Utama-nya. Dia bina organisasi itu dengan sebaik-baiknya. Misal, ada doktrin perjuangan dari beliau yang sangat menggugah yaitu “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepandai-pandai siasat” (h.246).
Tjokroaminoto kharismatis. Saat berpidato, performanya memikat. “Kalau kalian mau jadi pemimpin besar, maka berpidatolah seperti orator dan menulislah seperti seorang wartawan,” kata dia kepada murid-muridnya. Dia sendiri, ketika berpidato berapi-api (h.244). Kelak, Soekarno-salah satu muridnya-, dikenal sebagai orator ulung.
Pendidik dan Penggerak
Perhatikan KH Ahmad Dahlan! Dia lahir di Yogyakarta pada 1868 dan mendirikan Muhammadiyah pada 1912.
Dia bisa menggerakkan. Dia galang semangat santrinya untuk mendirikan lembaga yang bisa menolong orang-orang yang kesusahan dan kesulitan. Berdirilah PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), yang sampai sekarang terus berkembang meski dengan nama yang sedikit disesuaikan (h.274).
Ahmad Dahlan pendidik yang tekun. Dia mendatangi sekolah-sekolah pemerintah Belanda, menjadi relawan guru agama Islam untuk murid yang muslim. Di agenda inilah beliau berkenalan dengan Raden Mas Suwardi Suryaningrat, yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, pendiri perguruan Taman Siswa.
Kerja sama keduanya berlanjut. Ahmad Dahlan membuat sekolah-sekolah di Muhammadiyah dan mengajak Ki Hajar Dewantara menjadi instruktur (guru pelatih) bagi guru-gurunya (h.275).
Banyak kelebihan Ahmad Dahlan. Dia cakap berdebat dan-jika dinilai perlu-mendatangi tokoh misionaris seperti Peter Van Lith (h.275). Hal lain, Ahmad Dahlan dikaruniai pasangan yang juga pejuang. Siti Walidah, sang istri, berjuang lewat organisasi Aisyiyah (h.280).
Diterima Luas
Kita perhatikan KH Hasyim Asy’ari. Dia lahir pada 1871. Sejak muda, giat mempelajari berbagai bidang keilmuan Islam. Dia memiliki kecerdasan dan daya hafal yang menonjol (h.255). Pada 1926 Hasyim Asy’ari mendirikan NU. Pergaulannya luas.
Pada 1930-an umat Islam mewacanakan pembentukan wadah perjuangan. Berdirilah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang beranggotakan berbagai unsur. Ada ulama, tokoh Islam, individu-individu yang hendak berjuang untuk Islam, dan ormas Islam. MIAI dipimpin Hasyim Asy’ari.
MIAI menjadi cikal-bakal partai perjuangan politik umat Islam yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ketika berdiri Masyumi, Hasyim Asy’ari Ketua Dewan Syuro-nya. Sementara, tokoh-tokoh dengan latar-belakang beragam ada di berbagai posisi kepengurusan lainnya (h.259-260).
Hal menarik, Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan bersahabat dekat. Saat di Mekkah, keduanya sama-sama murid dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Mahfudz At-Tarmasi (h.279).
Sejumlah “Keajaiban”
Kita rasakan perjuangan “Jendral Sudirman, Panglima Besar yang Bersahaja”. Di antaranya ada sejumlah kisah penuh hikmah dari lelaki yang lahir pada 1916 itu, saat bergerilya.
Di sebuah hutan di Pacitan yang berbatasan dengan Wonogiri, Sudirman terkepung. Dia berdoa, “Yaa Allah, kalau perjuangan ini Engkau ridhai, selamatkan kami”.
Tiba-tiba langit gelap, lalu turun hujan deras sekali. Pasukan Belanda pun mundur. Sudirman lolos sampai ke arah Kediri (h.331).
Ini kisah lain. Di suatu wilayah di Jawa Timur ada mata-mata Belanda yang mengetahui Sudirman mampir di sebuah rumah di sebuah desa. Si mata-mata menandai rumah itu.
Sudirman pun mendapat laporan bahwa posisinya bocor. Siasat segera disusun. Salah satu prajurit, Heru Kesser, didandani mirip Sudirman dan ditandu memasuki rumah yang dimaksud. Benar, sore harinya rumah itu dibom Belanda. Sudirman selamat dan bersama pasukannya lalu melanjutkan gerilya (h.331).
Dua Dokter Hebat
Simak “Dokter Wahidin Sudirohusodo dan Dokter Cipto Mangunkusumo; Dokter-Dokter dalam Pergerakan Nasional”. Perjuangan keduanya luar biasa.
“Insya Allah kita bisa merdeka melawan penjajahan kalau orang pribumi pintar,” kata Wahidin Sudirohusodo – lelaki kelahiran 1852. Rupanya, prinsip ini turut membuat Wahidin Sudirohusodo dekat dengan Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan pernah dibantu Wahidin Sudirohusodo. Itu terjadi saat pendiri Muhammadiyah itu menawarkan jasa untuk menjadi guru agama Islam di sekolah-sekolah termasuk jaringan sekolah Budi Utomo dan sekolah-sekolah Belanda.
Hal lain, Wahidin Sudirohusodo prihatin dengan performa sebagian bangsanya terutama yang tergolong sebagai intelektual. Dia pun mendatangi almamaternya, STOVIA.
Di sana dia bertemu dengan Sutomo dan kawan-kawannya, yang sedang kuliah kedokteran. Kepada mereka, Wahidin mengingatkan: “Kalau cuma memikirkan diri sendiri kalian cuma jadi dokter, jadi priyayi. Sudah, selesai. Kapan kalian memikirkan bangsa? Kalian adalah orang-orang paling terpelajar di tengah-tengah bangsa ini, berarti memikul tanggung jawab lebih besar untuk bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.”
Tersentil ungkapan Wahidin Sudirohusodo itu, Sutomo dan kawan-kawannya sadar. Mereka lalu membentuk Budi Utomo (h.339).
Bagaimana dengan Dokter Cipto Mangunkusumo? Dia yang lahir pada 1886, suka menulis termasuk yang bernada kritik-sosial kepada penjajah.
Saat Budi Utomo berdiri, Cipto Mangunkusumo bergabung. Sementara, kala itu Budi Utomo juga berisi banyak orangtua yang kolot dan tidak pro-pembaharuan.
Tak segan secara tidak langsung dia kritik Radjiman Wedjodiningrat, sesama anggota Budi Utomo. Ini karena Radjiman dikenal sangat dekat dengan Susuhunan Pakubuwono X, yang punya kebijakan tergolong memeras rakyatnya sendiri. Atas kritik Cipto Mangunkusumo, Radjiman marah sekali.
Cipto Mangunkusumo konsisten. Dia, kata penulis buku ini, “Radikal pidatonya, radikal pula tulisannya” (h.140). Perhatikan, sang penulis buku menulis kata radikal tanpa diapit dua tanda kutip.
Lewat tulisan, Cipto Mangunkusumo terus berjuang. Dia membuat “Guntur Bergerak” (majalah) dan “De Beweging” (majalah berbahasa Belanda). Juga, menerbitkan surat kabar “Madjapahit” dan “Pahlawan”. Semuanya, berisi propaganda perjuangan (h.343).
Pada 1923, di Bandung, Cipto Mangunkusumo bertemu dan berbincang hangat dengah anak-anak muda yang dipimpin Soekarno. Anak-anak muda tersebut mempunyai klub Algemeene Studie Club (ALS). Soekarno waktu itu kuliah di kampus yang di kemudian hari menjadi ITB.
Waktu bergerak. Pada 1927 ALS diubah menjadi partai, bernama Partai Nasional Indonesia (PNI). “Pengaruh gagasan untuk meradikalkan perjuangan kemerdekaan dari Dokter Cipto ini memang luar biasa, termasuk pada Bung Karno yang dari study club berubah menjadi partai politik yang dari namanya saja sudah dianggap menjadi ancaman besar bagi Belanda – Partai Nasional Indonesia” (h.344). Sekali lagi, perhatikan, penulis buku ini menulis kata meradikalkan tanpa diapit dua tanda kutip
Ada risiko perjuangan yang didapat Cipto Mangunkusumo. Dia dibuang ke Banda pada 1927. Di sana, asmanya kumat. Dia dipulangkan ke Jawa, dengan syarat ada perjanjian tertulis, akan melepaskan hak-hak politiknya dan tidak akan melakukan gerakan-gerakan yang membahayakan pemerintah kolonial.
Cipto Mangunkusumo menjawab: “Lebih baik saya mati daripada saya melepaskan hak politik sebagai manusia yang bebas untuk memperjuangkan aspirasi politik saya” (h.345).
Cipto Mangunkusumo lalu dibuang ke Bali, ke Makassar, kemudian ke Sukabumi sampai 1943. Mengingat sakitnya makin parah, Cipto Mangunkusumo dirawat di Jakarta dan meninggal pada 1943.
Cipto Mangunkusumo hidup di pembuangan dari 1927 sampai 1943, total 16 tahun. Meski begitu, dia justru bersyukur: “Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat dari kata-kata keras yang kukeluarkan dari jiwa yang pedih, aku akan bersyukur kepada Allah untuk keadilan-Nya yang memberikan kenikmatan padaku dalam hukuman: Kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntutlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar” (h.345).
Pada 1959 ada pernyataan Soekarno yang menarik, saat menjawab pertanyaan siapa yang paling mempengaruhi dirinya selain Tjokroaminoto? “Dokter Cipto,” tegas Soekarno (h.346).
Lelaki Luar Biasa
Kita lihat “Buya Mohammad Natsir; The Last Founding Father”. Sejarah hidup lelaki kelahiran 1908 ini penuh nilai perjuangan.
Pada 3 April 1950, di tengah ancaman perpecahan republik yang usianya belum genap lima tahun, di parlemen Natsir mengajukan mosi. Bahwa, “Hendaknya semua negara-negara bagian ini kita bubarkan kemudian kita menyatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Langkah politik Natsir berhasil. Belakangan, hal yang dilakukan pemimpin Masyumi itu dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”.
Atas hal di atas, Mohammad Hatta berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi dua kali. Proklamasi pertama 17 Agustus 1945 dan yang kedua 3 April 1950 oleh Mosi Integral Natsir (h.391). Sementara, ungkapan pujian Soekarno bagi Natsir lain lagi. Natsir, bagi Soekarno, “He is the Man!” Natsir hebat (h.395).
Natsir selalu kritis atas semua perubahan dan perkembangan negeri ini. Ketika dia rasakan prosentase penduduk yang beragama Islam terus menurun, Natsir bersikap. Dia lalu mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia – DDII (h.397).
Banyak dan Menginspirasi
Pahlawan-pahlawan lain di buku ini tak kalah menarik. Mereka, antara lain Sultan Hasanuddin dan Syaikh Yusuf Al-Makassari. Juga Sultan Baabullah Datu Syaikh dari Ternate, Sultan Nuku dari Tidore, Pangeran Antasari dari Banjar, dan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dari Lombok. Pun, ada pasangan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien.
Khusus pahlawan perempuan, bacalah, misalnya “Tiga Pahlawan Perempuan dari Ranah Minang”. Mereka tak kalah gigih memperjuangkan Indonesia.
Lihat, Rohana Kuddus. Kiprah perempuan kelahiran 1884 ini luar biasa di berbagai peran dan zaman. Antara lain, dia guru yang luar biasa dan jurnalis yang andal (h.72).
Lihat, Rasuna Said. Jika berpidato dia fasih, menyerang penjajah di forum-forum umum. Lewat itu dia membakar semangat semua pendengarnya.
Beberapa kali perempuan kelahiran 1910 ini ditangkap karena pidatonya. Dari tempat tahanan, dia menulis surat dan artikel untuk surat kabar. Tulisan-tulisan itu diselundupkan.
“Perjuangan kita adalah perjuangan suci di sisi Allah. Kalau kita mau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, maka kita akan memperoleh dua kemuliaan sekaligus,” demikian di antara petikan tulisan Rasuna Said (h.75).
Lihat, Rahmah El-Yunusiyyah. Pada 1923, dia yang lahir pada 1900, mendirikan Diniyyah Puteri. Di sekolah itu dia mengajar ilmu-ilmu dasar agama, tafsir Al-Qur’an, hadits, ushul fiqh, dan fiqh (h.79).
Rahmah El-Yunusiyyah pejuang di semua zaman. Di alam merdeka, dia sampai ikut bergerilya selama 3 tahun memprotes kebijakan pemerintahan Presiden Soekarno yang dekat dengan komunis (h.84).
Picu Cinta
Sayang, buku ini tak dibuka dengan Kata Pengantar, yang dengannya penulis bisa mengomunikasikan hal-hal yang terkait dengan isi bukunya. Buku ini juga tak dilengkapi dengan Daftar Bacaan. Padahal, sebagai buku bertema sejarah, adanya referensi sangat penting.
Editing, di beberapa bagian, kurang rapi. Ada istilah asing yaitu effort di h.62, mestinya bisa diganti dengan padanannya. Juga, ada kalimat yang sangat panjang. Bahkan, kalimat itu sekaligus menjadi satu paragraf. Lihat h.261, di situ ada dua contoh. Pertama, mulai baris ketujuh dari atas sampai baris kedua belas. Kedua, mulai baris ketiga belas dari atas sampai baris kesembilan belas.
Bahasa ceramah seperti “Hari ini kita akan memulai” (h.9), “kemarin kita membahas” (h.25), atau “pada kesempatan kali ini” (h.102) tetap dipertahankan. Padahal bagus jika dibuang, langsung ke pembahasan.
Apapun, buku ini menarik, bisa dibaca semua lapisan usia. Buku ini berharga, bisa memantik rasa suka kepada sejarah dan terutama dapat menambah rasa cinta kepada Indonesia. []