Oleh: Dr. Kholili Hasib
inpasonline.com – Di antara kisah para nabi dan rasul, Nabi Ibrahim alaihissalam dapat dikatakan menjadi pembicaraan sentral. Juga menjadi titik perdebatan agama-agama. Ali Syariati misalnya mengatakan agama Yahudi, Kristen dan Islam sebagai “Abrahamic Faiths”. Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menyebut Nabi Ibrahim sebagai “bapak monoteisme”. Penganut agama Yahudi dan Kristen menghormati Nabi Ibrahim secara khusus.
Betapapun klaim yang beragam tentang Nabi Ibrahim tersebut, salah satu warisan besar Nabi Ibrahim, Ka’bah, kini dipelihara dan dilestarikan oleh Islam. Begitu juga ritualitas Haji dan ibadah qurban. Menjaga warisan pendahulu merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu ajaran. Siapapun yang melupakan dan meninggalkan legasi pendahulu adalah pemutus suatu ajaran. Dalam hal ini, klaim Islam sebagai penerus Nabi Ibrahim tidak bisa dibantah hujjahnya. Seperti kisah perdebatan Nabi Muhammad Saw dengan pendeta dan rahib.
Nabi Ibrahim alaihissalam dijuluki abul anbiya’ (ayah para nabi). Bahkan Adapun al-Qur’an telah memberi hujjah kuat bahwa penerus ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw.
Diriwayatkan oleh Imam At-Thabari, bahwa pernah terjadi perdebatan antara pendeta Nasrani Najran dan Rahib Yahudi. Dalam perdebatan itu hadir Rasulullah Saw. Para Rahib menyatakan bahwa tiada lain agama nabi Ibrahim adalah Yahudi. Pendeta Nasrani membantah dengan menyabut bahwa nabi Ibrahim beragama Nasrani. Turunlah ayat kepada Nabi Muhammad Saw: “Wahai ahli kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan mengenai Ibrahim, padahal tidaklah Taurat dan Injil diturunkan kecuali setelah dia, apakah kalian tidak berpikir?” (QS. Ali Imran: 65).
Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan duduk persoalan yang melatar belakangi perdebatan para pemuka agama tersebut. Bahwasanya Al-Qur’an mengabarkan Nabi Ibrahim sebagai seorang hanif, seorang Muslim. Sementara di dalam Taurat dan Injil tidak dinyatakan bahwa Ibrahim adalah Yahudi atau Nasrani. Dari sini perbedaan mulai terlihat. Itulah maksud dari ayat di atas : “Apakah kalian tidak berfikir?”. Mengajak umat Islam untuk menalar secara sehat kekuatan hujjah ajaran Nabi Muhammad Saw.
Maka, pada ayat berikutnya Allah Swt menjelaskan dengan lugas: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/lurus dan Muslim (seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya)” (QS. Ali Imran: 67).
Ketika Nabi Ibrahim menolak penyembahan kepada matahari, bulan, dan bintang (QS. Al-An’am: 76–79), hal ini bukan sekadar penolakan simbolik, tetapi merupakan argumentasi rasional terhadap penyembahan makhluk.
Pada ayat itu, Nabi Ibrahim alaihissalam jelas disebut oleh Al-Qur’an sebagai seorang Muslim. Para ahli tafsir menjelaskan lafadz Muslim. Yaitu orang yang imannya bersih dari penyekutuan kepada Allah Swt. Murni tidak tercampur oleh ajaran-ajaran lain.
Al-Qur’an sekaligus menetapkan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan penerus ajaran Nabi Ibrahim. Pantas saja beberapa aspek yang berkaitan dengan Nabi Ibrahim masih dipertahanakan dan diteruskan oleh agama Islam, yang tidak diafirmasi oleh agama lain. Ibadah haji warisan Nabi Ibrahim alaihissalam menjadi rukun agama Islam. Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim alaihissalam menjadi kiblat orang Muslim ketika shalat. Bahkan masjid di mana ka’bah di dalamnya menjadi “pusat” agama Islam. Sunnah khitan Nabi Ibrahim alaihissalam menjadi keharusan bagi tiap Muslim. Menyembelih hewan kurban yang menjadi ajaran Islam juga tidak lepas dari Nabi Ibrahim. Maka pantas, hari Raya Idhul Adha umat Islam menjadi hari raya paling akbar. Hari raya ini identik sekali dengan kisah Nabi Ibrahim. Bukti-bukti ini menjadi hujjah, Islam penerus nabi Ibrahim.
Memang dari aspek keimanan, Nabi Ibrahim alaihissalam adalah teladan yang hebat. Nabi Ibrahim alaihissalam pantas menjadi uswah dalam keimanan karena keteguhannya memegang amanah Allah, dan kerelaannya mengorbankan segala miliknya demi Allah Swt. Nabi Ibrahim adalah pelajaran bagi kita, bagi pemimpin, bagi rumah tangga. Dimulai dari keteladanan perjuangan hidup sampai dengan keteguhan iman dan takwa dalam menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Pendidikan akidah dalam keluarga juga menjadi warisan penting Nabi Ibrahim. Ia bukan hanya mendidik dirinya dan kaumnya, tetapi juga mendidik anak keturunannya agar tetap berada dalam jalan tauhid. Hal ini tampak dalam doanya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat” (QS. Ibrahim: 40). Bahkan, ketika hendak melaksanakan perintah menyembelih putranya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu berdialog: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS. Ash-Shaffat: 102). Ini menunjukkan metode al-ḥiwār (dialog edukatif) dalam pendidikan akidah yang menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar ketaatan buta. Inilah metode pendidikan akidah yang seharusnya menjadi teladan bagi para orang tua Muslim masa kini.
Kehidupannya mendidik kita bahwa Allah Swt adalah segala-galanya. Anak, harta dan keluarga hanya sesuatu yang dimiliki Allah Swt yang dititipkan kepada kita. Ketika Nabi Ibrahim diminta Allah Swt atas titipannya, ia tidak berfikir nasib titipannya. Tapi langsung diserahkan kepada-Nya. Demikianlah contoh iman yang tinggi.
Dalam menjalankan ibadah haji dan kurban, kita membutuhkan keteguhan dan keyakinan yang kuat karena harus rela mengeluarkan harta yang kita miliki. Jika tidak memiliki niat yang kuat dan hati yang ikhlas, maka haji dan kurban pun akan sulit untuk dilakukan. Untuk berhaji, kita harus berkorban menyiapkan puluhan juta rupiah guna membayar biaya perjalanan ke Tanah Suci. Ditambah juga kesabaran tinggi karena harus rela antre bertahun-tahun karena banyaknya umat Islam yang ingin menjalankan rukun Islam kelima ini. Untuk berkurban, kita juga harus menyediakan anggaran jutaan rupiah untuk membeli hewan kurban dan kemudian dibagi-bagikan kepada orang lain.
Syariat Allah yang telah dilaksanakan sejak zaman nabi Ibrahim alaihi salam memiliki manfaat yang sedemikian luas hingga ke seluruh penjuru jagad. Baik manfaat secara ekonomi, sosial maupun budaya. Karena itu kurban ikhlas hanya untuk Allah SWT, karena yang Allah dapatkan bukan daging dan darahnya akan tetapi ketaqwaan kita semua, Allah SWT berfirman : “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).
Metode pendidikan akidah Nabi Ibrahim dapat dikaji dan diterapkan dalam konteks pendidikan Islam saat ini. Setidaknya terdapat empat metode utama: pertama, metode al-ḥiwār (dialog) yang digunakan saat Nabi Ibrahim berdiskusi dengan ayahnya maupun anaknya; kedua, metode qudwah (keteladanan), seperti dalam kesediaannya menjalankan perintah Allah secara total tanpa ragu; ketiga, metode tadrīb (latihan langsung dalam bentuk pengorbanan), seperti dalam praktik kurban dan hijrah; dan keempat, metode doa dan munajat yang mencerminkan kepasrahan mendalam kepada Allah dalam urusan akidah keturunan.
Kisah Nabi Ibrahim mengandung banyak hikmah yang inspiratif. Jadikanlah keluarga kita seperti keluarga Nabi Ibrahim dengan mencontoh apa yang menjadi ajaran Nabi Kita, Muhammad Saw, sebab Nabi kita itu penerus dari Nabi Ibrahim. Jika kita punya anak, putra dan putri maka didiklah anak-kiat menjadi pejuang seperti putra Nabi Ibrahim. Jangan segan-segan mengeluarkan biaya untuk pendidikan terbaik anak kita. Pendidikan adalah masa depan kita di dunia dan di akhirat. Hasil itu kita petik di akhirat.
Kisah itu memberi pelajaran, pendidikan akidah dimulai dari keluarga. Seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim dalam dialog tauhid dengan anaknya, serta dalam doa-doanya yang sarat permohonan agar keturunannya tetap dalam tauhid yang murni (QS. Ibrahim: 35–40).
Dalam konteks pendidikan akidah masa kini, metode Nabi Ibrahim relevan sebagai pendekatan berbasis hujjah rasional dan keteladanan moral dalam menghadapi krisis spiritual dan hegemoni pemikiran sekuler. Pentingnya kembali kepada metode Ibrahim: hujjah rasional (berfikir), keteladanan, dan keberanian mengoreksi pemikiran sekular.
Nabi Ibrahim merupakan Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) guna menyampaikan risalah kebajikan kepada seluruh alam semesta. Petunjuk itu kini dikandung dan terkemas secara final dalam ajaran Nabi Muhammad Saw.
Dalam menghadapi tantangan zaman modern seperti relativisme agama, sekularisme, dan pluralisme yang menafikan kebenaran tunggal, pendidikan akidah mesti kembali meneladani manhaj Nabi Ibrahim. Beliau tidak hanya mengajarkan tauhid, tetapi juga mempertahankannya dengan hujjah rasional dan keberanian moral. Maka dari itu, pendidikan akidah hari ini perlu dirancang dengan pendekatan integratif: menggabungkan dalil naqli, argumentasi aqli, dan keteladanan amali, sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim.
Bangil, 05 Dzulhijjah 1446