Oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah pendidikan dan penulis 13 buku sosial-keagamaan
inpasonline.com – Setidaknya ada dua buku yang menempatkan KH Imam Zarkasyi sebagai Tokoh Pendidikan. Pertama, buku berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam yang terbit pada 2021. Buku ini karya Prof. Dr. Abuddin Nata. Di situ, ada 13 tokoh dan Imam Zarkasyi salah satunya.
Kedua, buku berjudul Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam: Dari Klasik hingga Modern yang terbit pada 2018. Buku ini karya Yanuar Arifin. Di situ ada 26 tokoh dan Imam Zarkasyi salah satunya.
Spirit yang Empat
Kita baca buku pertama. Bagi Abuddin Nata, Imam Zarkasyi dapat dikategorikan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad dan Ahmad Sanusi. Memang, kedua tokoh yang disebut terakhir itu termasuk yang disebut Abuddin Nata di dalam bukunya sebagai tokoh pendidikan. Dengan demikian, untuk yang berasal dari Indonesia, di buku itu hanya tiga tokoh itulah yang masuk sebagai tokoh pendidikan.
Secara garis besar, pembaruan pemikiran pendidikan Islam dari Imam Zarkasyi dapat dibagi dalam empat bidang. Bidang-bidang itu adalah, pertama, pembaruan metode dan sistim pendidikan. Kedua, pembaruan kurikulum. Ketiga, pembaruan struktur dan manajemen pesantren. Keempat, pembaruan dalam pola pikir santri dan kebebasan pesantren (Nata, 2021: 208 215).
Ada yang menarik dari performa Pesantren Gontor. Bahwa, sebelum mendirikan Pesantren Gontor dengan corak yang modern, Imam Zarkasyi bersama pendiri Pesantren Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistim pondok pesantren. Ada empat yang perlu mendapat perhatian khusus.
Pertama, Universitas Al-Azhar, Mesir. Universitas ini terkenal karena wakafnya dan kelanggengannya. Al-Azhar bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberikan beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia.
Kedua, Pondok Sanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dan keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas. Pengasuhnya, di samping mendidik murid-muridnya juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Ketiga, Universitas Muslim Aligarh di India. Universitas ini membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas. Mereka lalu menjadi pelopor kebangkitan Islam di India.
Keempat, perguruan Shantineketan di India. Lembaga ini didirikan oleh seorang filsuf, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya dan meskipun terletak jauh dari keramaian tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik. Bahkan, dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami nama Darussalam (Kampung Damai) untuk Pesantren Gontor.
Keempat lembaga pendidikan yang dikunjungi itu selanjutnya menjadi inspirasi bagi Imam Zarkasi. Perpaduan atau sintesis dari keempat unsur di atas, lalu dibingkai dalam pandangan Islam berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia (Nata, 2021: 202-203).
Perkuat Mental
Sekarang, kita baca buku kedua. Yanuar Arifin menemukan setidaknya empat pemikiran Imam Zarkasyi di bidang pendidikan. Keempatnya adalah Tujuan Pendidikan Islam, Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat, Etika Belajar atau Menuntut Ilmu, dan Urgensi Pendidikan Mental.
Pertama, tentang Tujuan Pendidikan Islam. Kata Imam Zarkasyi, kepintaran itu tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Oleh karena itu, belajarlah bukan untuk kekayaan melainkan lillahi ta’ala (hanya untuk Allah) dan li i’laai kalimatillah atau untuk menegakkan kalimat Allah (Arifin, 2018: 433).
Kedua, tentang Pendidikan Sepanjang Hayat. Kata Imam Zarkasyi, di Pesantren Gontor ada pendidikan dan pengajaran. Pendidikannya, di semua kesempatan. Di mana ada kesempatan, baik di dalam pertemuan ataupun di dalam kegiatan keseharian, ada pendidikannya. Juga, di dalam mahfuzhat (kata-kata hikmah). Mahfuzhat itulah yang mengisi mental (Arifin, 2018: 434-435).
Ketiga, Etika Belajar atau Menuntut Ilmu. Dalam pandangan Imam Zarkasyi, jangan pernah takut salah sebab sikap yang seperti ini justru membuat langkah kita menjadi mundur. Adapun kunci memperoleh kemajuan adalah keberanian untuk terus belajar dan berlatih sekalipun melakukan banyak kesalahan (Arifin, 2018: 436).
Keempat, Urgensi Pendidikan Mental. Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Imam Zarkasyi di banyak kesempatan seringkali berpesan agar pendidikan nasional dimaksudkan untuk mencerdaskan anak bangsa. Kata dia, pendidikan kolonial bertujuan untuk menjadikan anak didik sebagai pegawai. Sementara, lanjut dia, pendidikan nasional mestinya ditujukan untuk mencerdaskan rakyat (Arifin, 2018: 438).
Kata Imam Zarkasyi, ilmu itu jasanya hanya 15% dalam menjadikan sesorang sukses. Kesuksesan, lanjut dia, amat ditentukan oleh mental. Oleh karena itu, mental atau jiwa mestinya ditempa secara maksimal. Ilmu atau kepintaran akademik memang penting, tetapi mental harus lebih dipentingkan agar kita menjadi pribadi yang berhasil (Arifin, 2018: 439).
Menurut Imam Zarkasyi, kita jangan memanjakan diri. Jangan takut payah. Jangan ingin enak. Jangan merasa tua dalam bekerja. Jangan meminta-minta pekerjaan. Jangan belajar menghabiskan sesuatu. Milikilah, lanjut dia, mental untuk tidak meminta-minta. Lawan kemalasan. Punyai mental untuk sudi hidup sederhana bahkan berani hidup susah. Harus bermental giat bekerja (Arifin, 2018: 439).
Siapa Bermanfaat
Pesantren Gontor, di negeri ini, adalah salah satu lembaga pendidikan yang terbaik. Berdiri pada pada 1926 dan “disegarkan” pada 1936, pesantren itu telah melahirkan sangat banyak lulusan yang bermanfaat.
Nilai kemanfaatan alumni Pesantren Gontor telah dirasakan oleh umat Islam sekaligus oleh warga negeri ini. Sekadar menyebut dua alumni, adalah Hasyim Muzadi (Ketua PB NU 2000-2010) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015).
Tentu akan sangat banyak pelajaran jika kita mengikuti, setidaknya sebagian, alam pikiran pendirinya yaitu tiga orang bersaudara. KH Imam Zarkasyi adalah salah satu dari tiga orang itu dan yang termuda.
Di samping yang telah diuraikan di atas, pelajaran berharga lainnya yang bisa kita ambil adalah konsep tentang karya seseorang. Apa makna karya yang bermanfaat menurut KH Imam Zarkasyi?
Karya, dalam pandangan Pak Zar (sapaan akrab dari KH Imam Zarkasyi), dihubungkan dengan prinsip amal jariyah yang membawa manfaat kepada orang lain. Lebih lanjut, mari ikuti pandangan Pak Zar di buku KH Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Cetakan II, 2016: 263-267).
Bahwa, semakin besar manfaat karya seseorang bagi sekitarnya maka semakin besar nilai amal jariyah dari karya itu. Pada saat yang sama, karya yang bermanfaat itu merupakan salah satu bentuk ibadah dan realisasi ketakwaan serta menjadi ukuran kebesaran seseorang.
Seperti yang menjadi tekad Pak Zar ketika mulai merintis sistim pesantren modern. Kala itu, dia mengatakan, “Apabila saya tidak berhasil mengajar melalui pesantren, maka saya akan mengajar dengan pena”. Ini, sangat menarik.
Ada sejumlah tafsir atas kalimat Pak Zar di atas. Pertama, bagi Pak Zar dakwah lewat lisan (dengan mengajar) perlu diiringi dengan lewat tulisan (bahasa Pak Zar, “dengan pena”). Kedua, bagi Pak Zar, dakwah lewat tulisan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan dakwah lewat lisan.
Kembali ke soal karya. Bahwa, karya dalam pandangan Pak Zar, merupakan amal yang bermanfaat bagi orang lain. Bentuknya, bisa berupa keberhasilan anak didiknya atau berupa karya tulis.
Kesaksian Elok
Demikianlah, sekilas tentang Tokoh Pendidikan bernama KH Imam Zarkasyi. Di lahir pada 21 Maret 1910 dan wafat pada 30 April 1985. Saat wafat, banyak pihak yang berduka. Sejumlah media besar menurunkan berita dan/atau obituari.
Kesan positif atas karya-karya Pak Zar, datang dari banyak tokoh. Salah satunya, dari Prof. Dr. Ahmad Syalabi. “KH Imam Zarkasyi adalah satu dari sekian tokoh pendidik yang berhasil menyebarkan bahasa Arab. ….. beliau termasuk pemikir agama di Indonesia yang pengetahuan agamanya kuat dan luas, di samping gigih dalam perjuangan,” demikian kesaksian dari Guru Besar di Universitas Kairo itu. []