Imam Zarkasyi, Pendidik Sukses yang Meyakini Kekuatan Tulisan

Modern dan Konsisten

Imam Zarkasyi adalah satu di antara tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor – Ponorogo. Pada 1926, Pondok Gontor didirikan Ahmad Sahal, kakaknya. Sepuluh tahun kemudian, bersama Zainuddin Fanani –kakaknya yang lain- Imam Zarkasyi membuka program KMI, sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun. KMI singkatan dari Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah, bermakna “Persemaian Guru-guru Islam”.

Antara lain lewat www.gontor.ac.id, profil Imam Zarkasyi kita ketahui. Dia yang lahir di Desa Gontor 21/3/1910, pernah belajar di Pesantren Jamsaren Solo dan di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum Solo. Lalu, meneruskan ke Sekolah Arabiyah  Adabiyah sampai 1930, juga di Solo. Terutama di Sekolah Arabiyah Adabiyah, dia mendalami bahasa Arab.  

Selepas itu, dia ke Sumatera Barat, berguru kepada para lulusan Darul Ulum Mesir di Normal Islam dan Sumatera Thawalib di Padang. Dr. Mahmud Yunus adalah salah satu gurunya.  

Pada 1936, dia kembali ke Gontor dan membuka program KMI, sebuah ‘format’ pendidikan di pesantren yang telah lama mereka –tiga pendiri Pondok Gontor- idam-idamkan.

Memang, dalam diri ketiganya mengalir darah ‘Pondok Tegalsari’, sebuah istilah yang dinisbahkan kepada sebuah pesantren ternama di abad ke-18. Ada obsesi dari ketiganya untuk membangkitkan kembali kejayaan pendahulu mereka.

Kecuali itu, ada pemicu lain. Pertama, pada 1926, untuk menemukan utusan ke Kongres Umat Islam di Timur Tengah yang mahir bahasa Arab dan Inggris dirasakan sulit. Maka, para pendiri Pondok Gontor itu terobsesi mencetak ulama yang pandai bahasa Arab dan Inggris. Kedua, saat itu, dunia pesantren selalu dilecehkan orientalis dengan menggambarkan pesantren sebagai kumuh, berfikiran picik, eksklusif dan mundur di bidang pengetahuan. 

Merekapun bertekad, bahwa harus ada pesantren yang tidak kumuh, berpengetahuan luas, terbuka, dan berfikiran progressif. Para santrinya tidak hanya dibekali pengetahuan dasar tentang Islam (ulum al-syariyyah), tapi juga diajari ilmu pengetahuan ‘umum’ (ulum naqliyyah atau ulum kauniyyah). Ketika pesantren dengan kriteria seperti itu benar-benar mewujud pada 1936 dengan berdirinya KMI, masyarakat lalu menyebutnya sebagai Pondok Modern, nama yang lalu melekat dengan nama aslinya yaitu Darussalam. Boleh jadi, sebutan itu timbul karena ‘wajah’ Pondok Gontor yang mengintegasikan model pendidikan ala pesantren dan ala madrasah.

Waktu bergerak. Maka, sepadan dengan potensi yang dimilikinya, amanah yang digenggam Imam Zarkasyi semakin banyak. Pada 1943 dia diminta menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Pada 1946 diangkat menjadi Seksi Pendidikan pada Kementrian Agama. Pada 1948-1955 menjadi ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia dan selanjutnya tetap menjadi penasihatnya hingga akhir. Di Kementrian Agama, dia menjadi Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar (1951-1953) dan Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama pada 1953.

Di Kementrian Pendidikan menjadi anggota Badan Perencanaan Peraturan  Pokok Pendidikan Swasta pada 1957. Pada 1959 dia diangkat Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas). Pernah pula menjadi anggota Komite Penelitian Pendidikan.

Meskipun telah keluar dari Kementrian Agama, namun dia masih dipercaya menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) hingga wafatnya, pada 1985.

Dia-pun pernah menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Juga, menjadi Anggota Delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Sovyet 1962 dan menjadi wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Muktamar Akademi Islam se-Dunia) VII di Kairo, 1972.

 

Tetap Menulis

Pondok Gontor berkembang pesat. Alumninya banyak yang ‘menjelma’ menjadi tokoh. Mereka –untuk sekadar menyebut contoh- Idham Cholid (mantan Ketua Umum PB NU dan mantan Ketua MPR), Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PB NU), Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah), Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua MPR), Hamam Ja’far (pendiri Pesantren Pabelan), Abu Bakar Ba’asyir (salah seorang pendiri Pesantren Al-Mukmin Ngruki), dan Emha Ainun Nadjib (budayawan).   

Jumlah santri Pondok Gontor terus meningkat. Artinya, Imam Zarkasyi tak pernah mengalami sebuah keadaan sedemikian rupa dia tak punya murid seorangpun. Tapi, sekalipun demikian, dia tetap berkeyakinan bahwa menulis buku adalah sebentuk aktivitas yang tak kalah hebat pengaruh positifnya dalam mendidik.

Maka, diapun menulis. Di titik ini, Imam Zarkasyi dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Hingga kini, banyak karyanya yang masih dapat dinikmati. Ini sesuai niatan beliau pada awal dibukanya KMI, 1936: “Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.”

Inilah judul-judul karya tulisnya: 1). Ushuluddin (Pelajaran ‘Aqaid/Keimanan). 2). Pelajaran Fiqh I dan II. 3). Pelajaran Tajwid. 4).  Bimbingan Keimanan. 5). Qowa’idul Imla’. 6). Pelajaran Huruf Al-Qur’an I dan II. Selain itu, dia juga menulis beberapa buku petunjuk bagi santri dan guru di Pondok Gontor, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran.      

Ada juga buku yang ditulis bersama kakaknya, Zainuddin Fanani. Buku-buku itu: 1). Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam. 2). Pedoman Pendidikan Modern. 3). Kursus Agama Islam.

Tak hanya itu, ada pula buku-bukunya yang dibantu Ustadz Imam Subani, yaitu: 1). Pelajaran Bahasa Arab I dan II (beserta Kamusnya). 2). At-Tamrinat jilid I, II, III (beserta kamusnya). 3). Irabu Amtsilati-Al Jumal,  jilid I dan  II.

Buku-buku itu hingga kini dipakai di KMI Pondok Gontor dan Pondok-pondok Pesantren Alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.

Terakhir, mari iringi bacaan ringkas di atas dengan merenungkan ini: “Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan (QS Al-Hasyr [59]: 2). []

     

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *