Oleh M. Anwar Djaelani, aktivis InPAS
Salah satu tema diskusi menarik di Juni 2013 adalah yang terkait kabar bahwa “Polri Larang Polwan Mengenakan Jilbab”. Dengan alasannya masing-masing, publik banyak yang berdebat tentang boleh atau tak bolehnya Polisi Wanita (Polwan) berjilbab di saat berdinas. Sebaiknya, ‘kacamata’ apa yang perlu kita pakai dalam menelaah masalah ini?
Sangat Berdasar
Soal Polwan mengenakan jilbab (pakaian untuk menutup aurat wanita Muslim), Wakapolri Komjen Nanan Sukarna pada 07/06/2013 menyatakan: “Aturan di kepolisian tidak boleh”. Dia menambahkan, “Jangan sampai pelayanan kepolisian terkendala, sehingga tidak imparsial.” Dia lalu memberi pilihan tegas: “Kalau keberatan, kita serahkan kepada yang bersangkutan, pensiun atau memilih tidak menjadi Polwan.”
Banyak yang tak sependapat dengan sikap Polri melarang jilbab bagi Polwan itu. Sejumlah pihak seperti ulama, tokoh masyarakat, Ketua Ormas Keagamaan, ahli hukum, politisi, dan fungsionaris Indonesia Police Watch menyesalkan larangan itu. Maka, tak berlebihan jika Komisi III DPR-pun memanggil Kapolri guna membahas persoalan ini pada 18/06/2013.
Sejatinya, debat soal penggunaan jilbab itu tak baru. Pertama, secara khusus di internal Polri. Pada 2009, jilbab pernah menimbulkan polemik. Brigjen Pol Anton Bahrul Alam -Kapolda Jatim saat itu- mengimbau Polwan di wilayah tanggung-jawabnya untuk mengenakan jilbab. “Ini kan mengajak ke jalan yang benar. Dengan memakai jilbab, berarti menutup aurat seorang wanita. Tapi ini bukan paksaan, terserah dengan keputusan mereka,” kata Anton pada 04/03/2009.
Menanggapi hal di atas, “Apa yang disampaikan Brigjen Pol Anton Bahrul Alam bahwa Polwan yang ada di jajaran Polda Jatim diimbau menggunakan jilbab sah-sah saja,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira, pada 05/03/2009.
Kedua, secara umum. Dulu, di zaman otoritarian Soeharto pada 1980-an, wanita-wanita Muslimah (seperti siswi, mahasiswi, karyawati) harus rela berpayah-payah untuk bisa berjilbab. Saat itu, kesadaran berjilbab memang baru dimulai dan dimotori oleh sejumlah aktivis-aktivis Islam di “kampus-kampus non-agama” seperti ITB, UGM, UI, Unair, dan lain-lain. Lewat Masjid Kampus atau Lembaga Dakwah Kampus, mereka gulirkan ghirah keagamaan termasuk dengan berjilbab. Situasi seperti itu, juga “menular” ke sejumlah SMA.
Fenomena itu dibaca rezim Soeharto sebagai indikator kebangkitan (politik) umat Islam. Jurus intimidasi lalu mereka mainkan. Tapi, makin keras tekanan makin hebat pula semangat “para pejuang jilbab” dalam memertahankan haknya. Padahal, untuk itu, mereka harus berhadapan dengan larangan, pengusiran dan sejumlah teror yang dilakukan oleh birokrasi-birokrasi sekolah, kampus, pabrik, dan perusahaan.
Sekarang, seiring dengan bertambahnya pemahaman umat Islam atas syariat agamanya plus tuntutan-tuntutan mereka kepada pihak yang berwenang, maka leluasa-lah wanita Muslim manapun yang akan berjilbab. Kini, cukup mudah menjumpai wanita-wanita Muslim pemegang jabatan strategis seperti walikota, hakim, jaksa, dosen, dan lain-lain yang saat berdinas memakai jilbab.
Sejatinya, persoalan ini akan mudah terurai jika kita melihatnya dari sisi, pertama, Pancasila sebagai pandangan hidup kita. Lewat sila pertama, bangsa ini menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing. Oleh karena wujud ketaqwaan itu bersifat sangat pribadi antara seseorang dengan Tuhannya, maka kita harus bisa mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan seseorang dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing (lebih jauh, silakan buka Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978).
Kedua, di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bab XI tentang agama, pasal 29 (2) jelas menyebutkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dari kedua landasan –idiil dan konstitusional- di atas, pertama, siapa yang berani membuat peraturan perundang-undangan yang isinya berlawanan dengannya? Kedua, jika belum ada aturan –misalnya tentang jilbab bagi Polwan- maka seharusnyalah aturan yang akan dibuat itu memerhatikan secara serius bagaimana Islam –sebagai salah satu agama resmi di negeri ini- mengatur busana bagi para pemeluknya.
Bagi seorang Muslim, saat berbusana haruslah sesuai dengan apa yang telah diatur oleh agamanya. Misal, busana bagi wanita Muslim harus menutup auratnya yaitu sekujur tubuh kecuali muka dan telapak tangan. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu” (QS Al-Ahzab [33]: 59). Selain itu, ada pula pijakan hukum lainnya yaitu QS An-Nuur [24]: 31 dan HR Abu Dawud tentang busana Muslimah.
Publik Menunggu
Polri harus segera mengambil keputusan di soal ini. Sebab, “Sudah lebih dari tiga tahun hati nurani saya menjerit karena sepulang dari menunaikan ibadah haji, saya berkeinginan besar mengenakan seragam Polri dengan berhijab,” kata seorang perwira Polwan yang pernah bertugas di jajaran Polda Jawa Tengah (www.hidayatullah.com 04/06/2013).
Sungguh, esensi dari Tribrata Polisi Indonesia akan memudahkan Polri dalam mengambil keputusan soal hijab/jilbab bagi Polwan. Bukankah Polri itu dalam pengabdiannya, pertama, berdasarkan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa? Kedua, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945? Ketiga, senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani (termasuk anggotanya sendiri)?
Jadi, mari bersikap ! []