Oleh: Achmad Reza Hutama al-Faruqi
Inpasonline.com-Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang langsung diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk disebarkan kepada ummatnya. Tidak sembarang metode yang digunakan untuk memahami al-Qur’an kecuali dengan metode tafsir. Akan tetapi sudah banyak liberal yang menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan hermeneutika. Padahal metode ini hanya dahulu digunakan untuk menerjemahkan Bible. Hal ini tentu akan medekonstruksi hukum-hukum dalam Islam walaupun itu sifatnya qoth’iyu as-subuth.
Banyak sekali tokoh-tokoh yang menggunakan hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur’an, diantaranya adalah Fazlur Rahman dengan teori gerak ganda (double movement) dan Muhammad Syahrur dengan teori batasnya. Fazlur Rahman misalnya ia mengaku adanya poligami dalam al-Qur’an, tetapi saat ini hukum tersebut tidak berlaku lagi. Sedangkan Arkoun misalnya dengan teori batasnya (nazariyyah al-hudud) melahirkan dekonstruksi hukum di dalam al-Qur’an yang dipraktekkan oleh nabi Muhammad, dengan menganggap bahwa syari’at nabi Muhammad bersifat hududi (limitatif). Seperti menafsirkan surat tentang jilbab, ia menafsirkan ada batasan maksimal dan batasan minimal. Batasan maksimalnya adalah dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyub yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat, serta menyesuaikan pada kondisi masyakarat. (Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermenutika.., hal 57).
Sama halnya dengan Nasr Hamid Abu Zayd bahwa pembacaan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) belum menghasilkan interpretasi yang ilmiah dan objektif, makanya Nasr berpendapat bahwa teks tidak pernah berpenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan. (Lihat Lalu Nurul Buyanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd, hal. 66).
Hermenutika secara etimologi diambil dari kata Yunani, “Hermenuin”, yang berarti tafsir dan penjelasan serta penerjemahan. Dalam hal ini jika masuk dalam ranah teologi maka bahasa wahyu ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang kehendak Tuhan agar dapat mentransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer. Dan kata hermeneutic berasal dari kata Hermes, yaitu utusan dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Secara epistemologi adalah ilmu yang digunakan dalam rangka mencari pemahaman teks secara umum atau sebagai sebuah metode cara untuk menafsirkan sikbol berupa teks yaitu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan beragam dan saling berkaitan seputar teks dari segi karakteristiknya dan hubungannya dengan kondisi yang melingkupinya dari satu sisi serta hubungannya dengan pengarang teks serta pembacanya dari sisi lain. (Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an kaum Liberal, p.51-52). (Lihat juga bukunya Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermenutika.., hal. 13-14).
Bisakah Hermeneutika diterapkan untuk al-Qur’an?
Ada dua hal yang penting dan ini sering sekali dilupakan oleh kebanyakan peneliti dan pemikir, yaitu kajian mengenai terminology teks (nash) dalam al-Qur’an dan konsep teks dalam Bibel (perjanjian Lama dan perjanjian Baru) serta kajian perbandingan antara karakter peradaban Islam dan peradaban Barat secara serius.
Prof. Dr. Wan Mohd Daud, menyatakan, “Sesungguhnya penafsiran al-Qur’an sama sekali tidak boleh disamakan dengan hermeneutika Yunani dengan cara apapun atau hermeneutika Bibel menurut umat Kristiani. Juga tidak sama dengan semua teori takwil kitab suci yang menyatu pada peradaban dan agama-agama lain. Pasalnya, ilmu tafsir al-Qur’an dianggap sebagai sebuah ilmu dasar yang membangun seluruh ilmu dalam belantara peradaban keislaman. (Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an kaum Liberal, hal.79).
Konsekuensi logis dari perbandingan antara hermeneutika serta penerapannya terhadap teks-teks keagamaan Islam dan terhadap al-Qur’an secara khusus memiliki bahaya dan kerugian yang besar bagi umat. Dimana bukan saja mengenai permasalahan agama dan moral, bahkan semua bidang pengetahuan. Kondisi seperti ini pasti akan membuat kerancuan dan ketidakpastian nilai-nilai, moral, dan pengetahuan. Ia juga dapat memisahkan hubungan antara generasi dengan agama dan komunitas masyarakat. (Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an kaum Liberal, hal.79-80).
Maka, tidak mungkin sekali menerapkan kaidah-kaidah hermeneutika pada kitab al-Qur’an, karena semua kaidah hermeneutika yang diterapkan pada teks-teks tertulis dan terungkapkan sama-sama tidak dapat diterapkan pada teks-teks yang memiliki kedua keistimewaan seperti al-Qur’an.
Beberapa alasan menolaknya hermeneutika karena sebagai metode penafsiran yang tidak pas dengan Qur’an maka akan merusak integritas Kitab Suci umat Islam, antara hermeneutika dan tafsir atau ta’wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur’an sama sekali tak ada kemungkinan titik temu.
Kemunculan hermeneutika di dunia Kristen Barat tidak sunyi dari sebab dan problem akut yang dihadapi oleh pengertian teks menurut orang-orang Barat. Pertama, Tidak adanya keyakinan dan kebenaran teks-teks Bibel menurut pakar Barat sebab tidak ada bukti-bukti materil yang meyakinkan dari teks-teks Bibel yang awal. Kedua, tidak ada ketetapan-ketetapan dari penafsiran-penafsiran yang dapat diterima menurut umum, termasuk didalamnya tidak adanya tradisi seperti ijma, dan mutawatir sebagaimana kondisi umat Islam. Ketiga, Tidak ada sekumpulan manusia yang hafal teks-teks yang hilang dan dilupakan selama perjalanan sejarah.
Dari tiga permasalahan diatas yang ada, sama sekali tidak ditemukan dalam tradisi peradaban Islam dan di dalam masalah autentisitas teks al-Qur’an secara khusus. Apabila kita ingin menerapkan kaidah ilmiah apa saja yang datang dari luar dunia intelektual kita dan dari luar peradaban kita, maka yang harus dilakukan adalah melihat akar-akar historis yang melatarbelakangi kemunculan suatu kaidah atau istilah tertentu. Jika tidak, maka kita akan mengalami kerugian yang besar. Pasalnya, kita akan meninggalkan metode-metode keislaman kita yang sudah kuat dan dibangun oleh para ulama dan pakar yang telah membantu kita dengan sukses dalam menyimpulkan sumber-sumber agama kita dan sebagai tradisi yang menancapkan kaidah-kaidah agung dalam menciptakan peradaban Islam universal hanya untuk menggantinya dengan teori-teori yang disusupkan dari peradaban Barat. (Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an kaum Liberal, hal. 80).
Jikalau metode atau teori hermeneutika tersebut bisa diterapkan dalam al-Qur’an. Pertanyaannya, apakah sudah ada hasil metode hermeneutika yang menafsirkan seluruh ayat dalam al-Qur’an. Seperti yang terbukti sekarang bahwa penggunaan hermeneutika ini malah justru merusak al-Qur’an bukan menjadikan solusi. Hal ini berbeda sekali dengan metode tafsir, yang sudah banyak ulama-ulama mempunyai tafsir seluruh ayat, seperti tafsir Ibn Katsir, at-Thabari, az-Zamaksyari, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang sakral, tidak bisa sembarang menafsirkan ayat-ayatnya. Kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur’an dari ayat pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara lafzan maupun maknanya, sehingga ajaran-ajaran, perintah serta larangan yang terdapat didalamnya, menjadi suatu hal yang harus di pegang teguh dan dilaksanakan oleh umat manusia secara universal.
Sedangkan hermeneutika sendiri ilmu yang dahulu guna untuk menafsirkan teks-teks yang ada di Bibel, bukan al-Qur’an. Karena jika al-Qur’an ditafsirkan dengan metode ini maka kesakralannya akan punah, dan akan mendekonstruksi hukum-hukum yang Qath’i. Jadi, hermeneutika ini tidak cocok untuk diterapkan atau ditafsirkan dalam al-Qur’an. Dan Islam sudah mempunyai metode sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu dengan Tafsir.
Penulis adalah peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) UNIDA Gontor