Oleh M. Anwar Djaelani
Polemik polwan berjilbab kembali tersulut. Pasalnya, di satu sisi secara lisan Kapolri Jenderal Sutarman telah memberikan izin bagi “Polwan Berjilbab” mulai 20/11/2013. Tapi, tak sampai dua pekan -yaitu pada 02/12/2013- Wakapolri Komjen Oegroseno menerbitkan Surat Edaran tentang penundaan berlakunya ‘Polwan Berjilbab’ hingga ada peraturan yang lebih tegas. Ada apa?
Argumentasi Itu
Apa argumentasi Kapolri membolehkan polwan berjilbab? Sederhana, yaitu bahwa mengenakan jilbab merupakan hak asasi setiap perempuan Muslim apapun profesinya. Lalu, alasan menunda pelaksanaannya? “Harus ada aturan yang mengatur, yaitu Peraturan Kapolri,” kata Wakapolri. Dan, seperti ingin lebih menegaskan, Wakapolri juga mengatakan, “Polri itu organisasi resmi negara, bukan organisasi arisan ibu-ibu RT/RW” (www.detik.com 01/12/2013).
Jika keputusan Kapolri yang membolehkan polwan berjilbab disambut sepenuh syukur oleh banyak pihak, maka sebaliknya dengan Surat Edaran Wakapolri yang menunda pelaksanaannya. Banyak yang mengritik keputusan Wakapolri yang tak popular itu. “Begitu repotnya mengubah Polri menjadi ramah jilbab. Rasanya lebih merdeka memakai rok mini di kepolisian ketimbang mengenakan jilbab,” protes Jawa Pos lewat Tajuk Rencana-nya di edisi 03/12/2013.
Terkait masalah ini, rasanya, di internal kepolisian akan banyak polwan yang kecewa dengan penundaan ini. Ini patut dimaklumi karena sebagian di antara mereka ada yang sudah bertahun-tahun menunggu aturan yang membolehkan polwan berjilbab. Mengapa harus menungggu peraturan resmi? Bukankah sangat benar alasan Kapolri bahwa mengenakan jilbab bagi polwan adalah bagian dari hak asasi?
Bagi polwan yang Muslim, mereka ingin mengamalkan kewajiban yang telah diatur agamanya dalam hal berbusana, termasuk di saat bekerja. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Ayat di atas adalah salah satu dasar hukum bagi wanita Muslim untuk mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Sementara, di sisi keindonesiaan, sejatinya polwan yang akan mengamalkan ketentuan agamanya itu punya sandaran kuat yaitu di Pancasila, UUD 1945, dan Tribrata Polisi. Dari Tribrata Polisi, misalnya, diatur bahwa dalam pengabdiannya Polisi berdasarkan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Baiklah, atas situasi yang tak kita harapkan ini (yaitu penundaan polwan berjilbab), kita merenung. Pertama, pada satu sisi memang perlu disegerakan aturan tertulisnya karena kebolehan polwan berjilbab sejak 20/11/2013 itu baru sebatas ‘keputusan lisan’ Kapolri. Aturan tertulis diperlukan untuk lebih menjamin kepastian hukum.
Kedua, sangat mendesak kiranya untuk segera ditetapkan model jilbab polwan. Ini perkara yang sangat penting. Besar harapan, bahwa jilbab yang dikenakan polwan itu benar-benar sesuai dengan syariat Islam. Untuk hal ini, hendaknya dimengerti bahwa kerudung (apalagi dengan ukuran dan model sekenanya) bukanlah jilbab seperti yang diatur Islam.
Polwan yang berkerudung tapi pakaiannya ketat (ditandai dengan tetap terlihatnya lekuk tubuhnya), itu masih belum berjilbab. Lalu, apakah modelnya meniru seperti jilbab polwan di jajaran Polda Aceh? Sejauh yang saya amati, seragam yang di Aceh itu juga masih perlu kita koreksi.
Agar tak sia-sia, buatlah model yang benar-benar sesuai dengan syariat Islam. Untuk itu perlu kiranya polri mengajak ulama dan desainer baju/seragam untuk membantu menemukan model seragam ideal yang dimaksud. Ideal secara Islam dan ideal pula secara kedinasan karena tak sampai mengganggu mobilitas kseharian polwan di saat bertugas.
Dalam hal jilbab, Islam hanya memberi pedoman umum dan model bisa kita rancang sendiri. Sufyan bin Fuad Baswedan, mahasiswa S3 di Universitas Islam Madinah menulis buku “Samudera Hikmah di Balik Jilbab Muslimah”. Buku bertahun terbit 2013 itu lengkap mengupas jilbab. Menurut dia ada delapan kriteria jilbab yang sesuai dengan syariat Islam. Empat di antaranya, adalah: pertama, menutupi seluruh tubuh selain muka/wajah dan telapak tangan. Kedua, longggar dan tidak ketat. Ketiga, berbahan tebal (tidak tipis hingga tembus pandang). Keempat, tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Perlu Bergegas
Dengan penundaan pelaksanaannya, maka dukungan terhadap kebijaksanaan bolehnya polwan berjilbab harus terus kita pelihara. Untuk itu, terutama kepada yang selama ini telah mendukung, teruskanlah dukungan itu.
Dukunglah sepenuh hati, sebab jilbab adalah tanda wanita terhormat. Jilbab adalah isyarat bahwa pemakainya punya harga diri dan dengan demikian dia akan terhindar dari pelecehan. Jilbab juga akan menjauhkan pemakainya dari perbuatan nista karena rasa malu masih terjaga di dirinya.
Dukunglah polwan berjilbab, sebab jilbab adalah pakaian serbaguna. Misal, jika saatnya shalat tiba dan sedang tak bawa mukena maka mereka-pun tetap bisa shalat dengan jilbab (lengkap dengan kaos kaki) yang dikenakannya. Bahkan, tak hanya mudah dalam menegakkan shalat, dengan jilbab mereka juga akan terhindar dari debu dan sengatan matahari terutama di saat bertugas di lapangan.
Dukunglah polwan berjilbab, sebab pemakainya bisa memberi teladan bagi sesama. Misal, ketika polwan telah berjilbab maka cukup banyak pihak yang mendorong agar ‘wanita karir’ yang lain semisal wanita-wanita yang berdinas di Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut juga bisa mendapatkan peraturan yang sama yaitu boleh berjilbab di saat bertugas.
Dukunglah polwan berjilbab, sebab pemakainya dapat menjadi faktor penting dalam usaha menjaga masyarakat dari kerusakan moral. Dukunglah, sebab jika mereka memakai jilbab hanya karena Allah dan jilbabnya-pun benar secara syariat Islam maka hal itu bisa turut menjadi katalisator terjelmanya wanita yang berperadaban agung karena akhlaqnya yang mulia.
Jadi, bergegaslah dalam beramal-shalih. Jangan ditunda-tunda izin bolehnya polwan berjilbab. Bukankah dalam hal model jilbab bisa diatur kemudian? Ayo, hargai hak asasi polwan yang Muslimah dalam berbusana yang sesuai dengan syariat agamanya. []