Oleh Abdul Hakim. Peneliti InPAS
Menurut Imam Ghazali, perbedaan yang muncul tentang keadaan iman, apakah iman itu bisa naik dan turun ataukah hanya tetap, muncul akibat dari kata iman yang bisa mencakup beberapa makna (musytarak). Dan apabila makna-makna itu diperjelas, maka perbedaan itu akan sirna.
Kata iman, menurut Imam Ghazali, mencakup 3 makna, yaitu: pertama, pembenaran, keyakinan yang harus dibuktikan dengan dalil-dalil (at-tashdiq al-yaqiny al-burhany). Kedua, pembenaran, keyakinan yang tumbuh hanya dengan mengikuti sesuatu yang ia merasa mantap dengannya (at-tashdiq al-i’tiqady at-taqlidy idza kana jazman). Ketiga, pembenaran yang harus dibuktikan dalam bentuk tindakan (at-tashdiq ma’ahu al-’amal bimujibi at-tashdiq).
Bukti bahwa iman mencakup arti at-tashdqi al-burhany adalah ketika orang telah mengenal Allah ta’ala dengan disertai dalil-dalilnya kemudian meninggal, maka kami menganggapnya meninggal dalam keadaan beriman (mukmin).
Bukti bahwa iman mencakup arti yang kedua (at-tashdiq at-taqlidy) adalah bahwa sesungguhnya orang Arab pada umumnya beriman kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya karena melihat kebaikan dan kelembutan Rasulullah SAW kepada mereka, dan pengamatan mereka terhadap tanda-tanda di sekitar mereka. Mereka tidak memperhatikan dalil-dalil tentang ke-esa-an Allah (wahdaniyyatih) dan tanda-tanda mu’jizat. Namun demikian, Rasulullah SAW tetap menghukumi mereka sebagai orang yang beriman. Hal ini nampak pada cerita Dlomam bin Tsa’labah (Bukhari: 63) dan lain-lainnya.
Sedangkan bukti bahwa iman mencakup arti yang ketiga adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam: ”Tidak berzina seorang pezina ketika berzina dia dalam keadaan beriman”, dan sabda Rasulullah SAW,”Iman itu memiliki lebih dari dari tujuh puluh pintu, yang paling ringan adalah menyingkirkan bahaya (yang ringan) dari jalan.”
Menurut Imam Ghazali, ketika iman menggunakan arti yang pertama, yaitu iman itu harus dibuktikan dengan dalil-dalil, tentu iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Ketika seseorang telah meraih keyakinan yang sempurna, berarti dia sudah yakin (beriman). Sedang bila keyakinan tersebut belum sempurna, berarti belum dianggap yakin (masih ragu-ragu). Di sini hanya ada dua, yaitu yakin atau belum yakin. Jadi, iman di sini tidak bertambah atau berkurang. Menurut Imam Ghazali, yang ada hanyalah bertambahnya ketenangan jiwa (ziyadatu thuma’ninah an-nafsi).
Sedang apabila iman diartikan dengan makna yang kedua dan ketiga, maka tidak bisa dipungkiri bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa umat Yahudi, Nasrani dan Islam yang iman mereka bersifat taklid (mengikuti sesuatu yang ia merasa mantap tanpa harus mencari dalil-dalilnya), karakter mereka berbeda-beda. Ada di antara mereka yang tidak terpengaruh sama sekali meskipun mereka diberi kabar gembira, ancaman-ancaman, dan lain sebagainya. Tapi ada juga di antara mereka yang hanya dengan beberapa pendekatan sudah menjadi beriman. Menurut Imam Ghazali, iman itu seperti ikatan, ada yang kuat dan ada yang lemah.
Demikian juga iman yang harus dibuktikan dengan amal perbuatan. Semakin sering dan lama orang tersebut melakukan aktivitas-aktivutas ketaatan maka akan menjadi kuatlah keimanannya. Dan sebaliknya, bila ia justru sering melakukan kemaksiatan, berarti keimanannya semakin berkurang.[1]
Sedangkan Imam Abu Hanifah menjelaskan definisi iman sebagai berikut:
Pertama, ketika iman bermakna keyakinan, ma’rifat, pembenaran (at-tashdiq), dan pengakuan (al-iqrar), maka iman kita sama seperti iman para malaikat, karena tashdiq (pembenaran) kita terhadap ke-wahdaniyyahan Allah, kerububiyahan Allah, kequdrohan Allah dan segala sesuatu yang dari Allah itu seperti pengakuan para malaikat terhadap hal tersebut dan juga sama dengan tashdiqnya para Nabi dan Rosul terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini, kita beranggapan bahwa sesungguhnya iman kita sama dengan imannya para malaikat karena kita mengimani terhadap segala sesuatu yang diimani oleh para malaikat.[2] Hal tersebut karena yakin itu hanya satu tingkatan (derajat), tidak bertingkat-tingkat. Yakin itu berarti tidak ragu (syakk). Tidak ada irisan di antara keduanya. Sedangkan ragu adalah lawan dari yakin.[3]
Kedua, sesungguhnya iman itu bisa naik dan bisa berkurang bila dilihat dari sudut pandang amal dan pahalanya, tidak dari sudut pandang keyakinannya. Oleh karena itu para Nabi dan para malaikat lebih takut dan taat pada Allah dan tentu pahala mereka lebih utama.[4]
Ketiga, kemaksiyatan tidak bisa mengeluarkan seorang mukmin dari keimanannya menjadi kafir, sebagaimana pendapat Khawarij. Atau tidak bisa juga mengeluarkannya dari keimanan menjadi berada di posisi manzilah bainal manzilatain sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun, ia tetap sebagai seorang mukmin, tetapi mukmin yang berbuat maksiyat dan ia disebut sebagai mukmin yang fasik. Oleh karena itu, ia tidak kekal di neraka sebagaimana pendapat khawarij dan Mu’tazilah, akan tetapi Allah akan mengadzabnya di neraka kemudian mengeluarkannya. Abu Hanifah ra berkata: Orang yang membunuh tanpa alasan yang diperbolehkan syara’, atau mencuri atau merampok atau berbuat kefasikan, zina, minum khomr atau mabuk, maka statusnya adalah mukmin fasik. Ia tidak kafir. Ia disiksa di neraka, kemudian dikeluarkan dari neraka karena keimanannya.[5]
Ibnu Abi Al-’Izz berkata:
”Nampak jelas bahwa ahlus sunnah berbeda pendapat dalam hal istilah (khilafan lafdziyyan) yang tidak sampai menyebabkan kepada kerusakan (fasad), yaitu apakah kafir itu bertingkat-tingkat, sehingga ada istilah kafir di bawah kafir (kufr duna kufrin). Demikian juga perbedaan apakah iman itu bertingkat-tingkat, sehingga ada istilah iman di bawah iman (iman duna iman)? Perbedaan ini muncul karena perbedaan di antara mereka tentang definisi iman. Apakah iman itu ucapan dan perbuatan serta bertambah dan berkurang ataukah tidak?”[6]
Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat bahwa iman itu bisa naik dan bisa turun. Iman naik ketika melakukan berbagai amal kebaikan dan keta’atan. Dan sebaliknya akan turun ketika melakukan berbagai kemaksiatan.[7]Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tidak menganggap sesat pandangan-pandangan yang berbeda dengan beliau apabila perbedaannya pada tataran istilah saja, dan tidak sampai pada tataran hakekat, artinya sama-sama mengakui bahwa setiap manusia di akhirat akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.
Sedangkan yang perbedaannya tidak hanya pada tataran istilah, seperti pendapat Murji’ah dan Jahmiyah, al-Jilani menganggapnya sebagai pendapat sesat. Kelompok Murji’ah berpendapat bahwa iman itu cukup diucapkan dengan lisan saja (ada juga di antara mereka yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pembenaran di hati dan diucapkan dengan lisan). Sedangkan kelompok Jahmiyyah berpendapat bahwa iman itu cukup hanya dengan pembenaran oleh hati (tashdiqul qalbi faqoth). Menurut mereka, iman itu tidak akan naik dengan ibadah atau amalan baik dan juga tidak akan turun dengan melakukan berbagai kemaksiyatan. Seseorang ketika sudah berikrar dengan mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat), berarti dia telah beriman seperti imannya para malaikat dan Nabi, dan tidak akan masuk neraka walaupun melakukan berbagai tindakan kemaksiyatan.
Wallahu a’lamu bish-showab.
Daftar Pustaka
Al-‘Izz, Ibnu Abi, 2005, Syarh al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah, Kairo: Darul Hadits.
Al-A’jami, Abul Yazid Abu Zaid, 2007, Al-‘Aqidah al-Islamiyyah ‘Indal Fuqoha’ al-Arba’ah, Kairo: Darussalam.
Al-Ghazali, Imam, 2008, Al-Iqtishod fi al-I’tiqod, Cetakan Pertama, Beirut: Dar Al-Minhaj Lin-Nasyr wat Tauzi’.
Al-Jilani, Abdul Qadir, 2007, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, edisi Ketiga, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
[1] Al-Ghazali, 2008, Al-Iqtishad fil I’tiqad, Beirut: Darul Minhaj Lin-Nasyr wat-Tauzi’, hal 283-285,
[2] Abul Yazid, 2007, Al-Aqidatul Islamiyyah ‘indal Fuqoha’ al-Arba’ah, Kairo: Darussalam, hal.167;Abu Hanifah, al-‘Alim wal Muta’alim, hal. 14.
[3] Ibid.
[4]Ibid., hal. 168; al-Fiqhul Akbar, hal. 182.
[5] Abu, Yazid, 2007, Al-Aqidatul Islamiyyah ‘indal Fuqoha’ al-Arba’ah, Kairo: Darussalam, hal. 168
[6] Ibnu Abi al-‘Izz, 2005, Syarh Ath-Thahawiyyah, Kairo: Darul Hadits, hal. 249.
[7] Al-Jilani, 2007, Al-Ghunyah, edisi Ketiga, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 135.