Oleh M. Anwar Djaelani
Di Makassar, seorang dosen tega menggunting jilbab dan rok dua mahasiswinya. Sementara di Pangkalpinang, sesaat sebelum keluar dari pesawat yang ditumpanginya, seorang pejabat memukul seorang pramugari. Sungguh sedih menyaksikan arogansi pemimpin bermodel seperti dua contoh di atas.
Kelabu, Kelabu!
Situs www.merdeka.com pada 5/6/2013 menurunkan berita: “Dosen yang Gunting Jilbab dan Rok Mahasiswi Dipecat”. Dikabarkan, bahwa seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Nani Hasanuddin Makassar telah menggunting jilbab dan rok dua mahasiswinya.
Atas tindakan yang dinilai sudah di luar batas itu, si dosen “Sudah dipecat,” kata salah seorang pimpinan di kampus tersebut. Keputusan diambil setelah pihak kampus melakukan rapat.
Media lain yang juga memberitakan kabar tak sedap itu adalah www.tribunnews.com. Situs ini menyebut bahwa peristiwanya terjadi di sekitar pekan terakhir Mei 2013. Saat itu si dosen melihat jilbab dua mahasiswinya terlalu panjang hingga di bawah pusar dan itu dianggapnya melanggar aturan kampus.
Akibat peristiwa pengguntingan jilbab dan rok tersebut, si dosen dinyatakan bersalah dan melanggar Peraturan Akademik No 4238/SK/STIKES-NH/VI/2012 tentang perubahan beberapa poin pada Bab VII pasal 32 tentang Busana Akademik. Surat Keputusan pemecatan itu ditandatangani Ketua STIKES Nani Hasanuddin Makassar, tertanggal 3 Juni 2013.
Sementara, Jawa Pos 7/6/2013 menurunkan judul di halaman depannya: “Diminta Matikan HP, Pukul Pramugari” dengan sub-judul “Kepala BKPMD Babel Tersangka”. Esoknya, atas insiden “Pejabat Pemukul Pramugari Sriwijaya” itu, koran yang sama menurunkan berita utama dengan judul: “Masuk Bui dan Terancam Denda Rp 400 Juta”.
Inti berita, bahwa pada 5/6/2013 serang pejabat Provinsi Bangka-Belitung (Babel) menumpang Sriwijaya Air dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Pemerintah Provinsi Babel.
Adalah termasuk prosedur standar penerbangan bahwa semua penumpang pesawat mematikan HP-nya sejak menjelang terbang sampai nanti setelah mendarat. Menurut si pramugari, menjelang terbang si pejabat Babel itu sudah ditegur oleh seorang pramugari lainnya. Namun, di saat pesawat sudah mulai bergerak ke landasan pacu, si pramugari melihat HP si pejabat masih menyala. Maka, dengan halus si pramugari menegur, “Maaf, tolong matikan HP-nya, Pak.”
Setelah sekitar satu jam terbang, pesawat-pun mendarat di Pangkalpinang. Saat akan turun dari pesawat, si pejabat memilih urutan terakhir seperti sengaja untuk menemui si pramugari. Rupanya, atas teguran soal HP di saat akan terbang, si pejabat terus memendam kesal. Di saat keduanya bertemu, “Dia bilang, jangan kasar kamu, lain kali sopan, dan tahu-tahu Bapak itu memukul saya dua kali. Pertama ke pipi, lalu ke telinga,” kenang si pramugari.
Si pramugari mengaku, akibat pukulan itu pendengarannya terganggu. Maka, masalah ini akhirnya ditangani polisi. Kini, si pejabat-pun ditahan .
Wajah Itu
Dosen adalah pendidik. Di antara fungsi kependidikan dosen adalah memimpin anak didiknya untuk tumbuh-kembang dengan baik ilmu dan akhlaqnya. Di saat memimpin, sang pendidik haruslah melakukannya dengan rendah hati. Tidak akan pernah berhasil kepemimpinan seseorang jika menjalankannya dengan arogan.
Cermatilah! Dua perempuan yang jilbab dan roknya digunting si dosen berstatus mahasiswi. Mahasiswi adalah siswi yang ‘maha’, yang bisa berpikir kritis. Artinya, jika benar keduanya oleh si dosen dianggap telah melanggar peraturan kampus terkait dengan ukuran dan bentuk busana yang dikenakannya, maka sudahkah si dosen secara beradab mengajak bicara (dan bahkan jika perlu berdiskusi) dengan si mahasiswi? Sangat mungkin dua mahasiswi tersebut punya alasan kuat.
Lalu, tentang si pejabat yang memukul pramugari. Arogansi si pejabat bisa kita rasakan. Selepas memukul, si pejabat berkata (seperti yang ditirukan si pramugari) bahwa, “Saya penumpang, saya raja, biar kapok dia. Saya beli tiket pakai uang.”
Baiklah, si pejabat menganggap dirinya sebagai raja. Dia mungkin ingat ada ‘kaidah’ di dunia bisnis bahwa “Pembeli atau pemakai jasa adalah raja”. Tetapi, ada hal penting lainnya yang dia abaikan. Dalam kasus ini, sebagai penumpang pesawat, si pejabat berstatus sebagai tamu. Sebagai ‘tamu’ dia harus tunduk kepada aturan di ‘rumah’ itu. Dia harus menghormati aturan yang oleh ‘tuan rumah’-dalam hal ini si pramugari- berusaha ditegakkannya.
Berikutnya, atas tindakan tak terpuji si pejabat, ada pertanyaan yang mengemuka. Pertama, jika di ruang publik saja dia berani bersikap sangat kasar seperti itu, maka seperti apa perilaku dia di rumah, misalnya? Kedua, jika masyarakat masih teguh memegang budaya bahwa wanita harus lebih kita hormati (untuk tak menyebut lebih kita lindungi), lalu bagaimana kita harus menjelaskan posisi akhlaq si pejabat yang tampak ringan tangan terhadap perempuan?
Dosen dan pejabat itu jelas berfungsi sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, mereka –antara lain- mestinya bersifat pengayom yaitu melindungi siapapun yang dipimpinnya.
Berhati-hatilah menjadi pemimpin, sebab posisinya luar biasa. Misal, jika kita ingin melihat kualitas sebuah masyarakat, maka lihatlah seperti apa performa (para) pemimpinnya. Hal itu karena berdasarkan HR Hakim, disebutkan bahwa “Pemimpin itu sangat menentukan warna dan akhlaq masyarakat”.
Alhasil, betapapun sudah ada contoh dua pemimpin ‘aneh’ seperti di atas, kita masih berharap bahwa hal itu bukan merupakan representasi dari pemimpin-pemimpin lainnya di negeri ini. []