Teologi dan Etika Sosial Masyarakat Islam

Oleh : Kholili Hasib

Akbar S. Ahmed dan Ernest Gellner pernah mengatakan bahwa ternyata saat ini semarak keberagamaan umat manusia semakin diminati. Sekularisasi gagal, kata Akbar. Terkait dengan itu, tatanan konsep masyarakat Islam menjadi alternatif. Masyarakat Islami adalah masyarakat beradab, masyarakat yang religius, sekaligus masyarakat berilmu.

Masyarakat yang Islami (Mujtama’ Islami) terkadang diidentikkan oleh pemikir sekular sebagai bentuk masyarakat yang antikemanusiaan. Mohammed Arkoun, pemikir liberal asal Aljazair, pernah menyebut konsep masyarakat Islami itu eksklusif, tertutup dan rigid. Akan tetapi, penilaian bahwa konsep Islam tidak humanis hanya disebabkan, kaum muslimin tidak mengikuti konsep sosiologi Barat sekuler. Padahal, masyarakat muslim bisa humanis tanpa menjadi sekuler-humanisme. Masyarakat muslim juga bisa toleran tanpa menjadi pluralis. Kemanusiaan, toleransi dan keadilan sosial dalam Islam memiliki konsep tersendiri.

Konsep Masyarakat Islam tidak seperti masyarakat yang dibentuk Barat. Elemen pembentuk masyarakat Islam itu lebih luas; agama, individu, syari’ah, dan akidah (Yusuf Qardhawiy, Ghayrul Islam Fi Mujtama’ Islamiy, hal. 5). Sementara konsep sosiologi kemasyarakatan Barat anti-agama.

Sayyid Qutub mengatakan, masyarakat Islam dibentuk oleh syari’at Ilahiy, masyarakat yang diatur oleh dustur (hukum) wahyu berdasarkan kehendak Allah. Dinamika masyarakat Islam beserta elemen-elemennya dibentuk dan dikreasi oleh akidah Islam (Sayyid Qutb, Nahwa Mujtama’ al-Islamiy, hal. 62).

Akidah dalam masyarakat Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Masyarakat Islam adalah komunitas individu yang bertauhid. Ekonomi harus dikaitkan dengan teologi, politik, juga wajib ditautkan dengan akidah Islam.

Oleh sebab itu, dalam konsep masyarakat Islam, teologi itu memiliki dimensi yang penting dalam tata sosial. Mengakui pluralitas tapi bukan pluralisme. Menghormati kemanusiaan, tapi tidak berbasis humanisme. Isma’il Raji al-Faruqi mengistilahkan konsep masyarakat Islam itu dengan ummah. Ummah bukanlah sosial order atau society dalam bahasa Inggris, ataupun bukan gesellschaft dalam bahasa Jerman. Menurut al-Faruqi, ummah adalah suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnisitas atau komunitas yang paling luas, tetapi yang komitmennya terhadap Islam mengikat mereka dalam satu tata sosial yang spesifik. Ia bersifat trans-lokal yang tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan geografis. Tidak terbatas pada ras tertentu.

Dalam konsep tata sosial Islam peran teologi bersifat universal dan totalitas. Universal artinya, implikasinya tidak secara khusus berlaku  dalam tata sosial Arab saja, atau etnis-etnis yang lainnya. Totalisme dalam tata sosial Islam berarti Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Al-Faruqi mengatakanb bahwa totalisme tata sosial Islam tidak hanya menyangkut aktifitas-aktifitas manusia dan tujuan-tujuannya di masa mereka saja, akan tetapi mencakup seluruh aktifitas di setiap masa dan tempat.  Bahkan tata sosial Islam menganggap orang-orang nonmuslim sebagai anggota masyarakat yang memiliki potensi dan perlu diajak untuk membangun ummah.

Aturan, hukum, adab dan akhlak dalam masyarakat Islam dikonstruk di atas akidah dan ideologi Islam. Islam sebagai pandangan hidup, perundang-undangan dalam setiap aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan, baik personal maupun sosial. Dengan demikian untuk membentuk masyarakat yang beretika, akidah dan syari’ah menjadi pengendali utama.

Meskipun begitu, bukan tidak berarti masyarakat Islam berusaha menghapus unsur-unsur natural dalam masyarakat seperti agama-agama di luar Islam. Setiap muslim menghormati manusia apapun agama, warna dan kebangsaannya. Meskipun Islam mengakui adanya perbedaan pemikiran dan keyakinan agama-agama, akan tetapi tidak secara otomatis Islam mengakui kebenarannya. Islam tetap tidak ridla, tidak percaya kebenaran mereka dan tetap meyakini bahwa pemikiran dan keyakinan yang tidak dibangun di atas landasan Islam adalah batil. Untuk itulah, pengembangan masyarakat Islami menekankan pada pendisplinan individu muslim terhadap agamanya.

Maka, dalam masyarakat Islami pembangunan tata sosial dengan penekanan terhadap individu yang beradab (insan adabī). Inilah yang menurut Sayyid Qutb membedakan dengan tata sosial Barat yang mengikuti tuntutan-tututan filasafat produk manusia, dan berdasarkan produk perselisihan pemikiran dalam interen masyarakat itu. Konsep masyarakat Barat bagaimanapun majunya, akan tetapi tetap selalu berkembang mengikuti pengaruh-pengaruh konteks  tidak terkukuhkan oleh landasan yang tetap dan kuat.

Artinya, landasan pengembangan tata sosial sekular itu dari pengalaman fenomena sosial, sedangkan Islam pengembangan individu menjadi insan shalih secara pribadi dan secara sosial. Al-Attas mengemukakan alasan, bahwa karena masyarakat itu terdiri dari unsur individu, melahirkan seorang individu beradab akan melahirkan masyarakat yang baik. Sedangkan pendidikan sebagai pengatur struktur masyarakat.

Dalam pemahaman al-Attas, pengembangan Masyarakat yang Beradab itu dimulai dengan mendidik individu menjadi insan adabi melalui institusi pendidikan. Al-Attas memandang, langkah utama membentuk tata sosial yang Islami beradab itu bukan dengan cara meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat, akan tetapi dimulai individu yang baik, baik secara sosial dan baik secara teologis.

Insan adabi menurut al-Attas adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Maka, di sini seorang muslim tidak mengorbankan teologi untuk menjadi humanis. Humanis seorang muslim dalam tata masyarakat Islam dikukuhkan oleh landasan teologi. Sinergi teologis etika sosial ini selanjutnya dijelaskan oleh al-Attas, bahwa manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhan, ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik dan warga negara yang baik bagi negaranya.

Sinergi teologi dan nilai sosial sebagaimana yang dipahami al-Attas, berpijak pada pandangan hidup al-Qur’an diaplikasikan oleh hukum Tuhan. Seorang muslim yang memegang kuat teologi yang berpijak pada worldview al-Qur’an tidak menegasikan kewajiban sosialnya. Menurut al-Attas, seorang muslim yang baik harus dapat melaksanakan tanggung-jawabnya kepada keluarga dan masyarakat.

Tanggung jawab kepada keluarga sebagaimana juga kepada masyarakat memiliki dua dimensi, yaitu tanggung jawab teologis dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab teologis kepada keluarga seperti firman Allah SWT: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS At Tahrim 6). Sedangkan tanggung jawab sosial seperti diatur QS Al-Nahl 90 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Atau, diatur juga di QS al-Rūm 38 yang artinya “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung”. Tangung jawab teologis kepada masyarakat itu seperti dijelaskan dalam hadis Nabi SAW: ”Barangsiapa melihat kemunkaran (di masyarakat) maka hendaklah ia mengubahnya” (HR. Muslim). []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *