Oleh : Ainul Yaqin*
Islam adalah ibarat pohon yang sempurna. Akarnya tertanam kokoh, sebuah simbol dari aqidah Islam yang mantap. Batangnya berdiri menjulang ke langit, cabang dan rantingnya menyebar dengan ditumbuhi dedaun yang rimbun adalah cerminan dari syari’at Islam. Darinya tumbuh bunga-bunga yang sedap dan indah dipandang serta buah-buahan yang lezat enak dimakan. Inilah cerminan dari ihsan.
Pohon Islam yang rimbun akan memberikan keteduhan bagi siapa saja yang berteduh dan memberikan kesejukan bagi siapa saja yang memandang. Inilah Islam rahmatan lil alamiin.
Perumpamaan di atas yang tersirat dari firman Allah QS Ibrahim ayat 24-25.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ – تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.
Layaknya sebuah pohon, antara akar dan batang yang tumbuh menjulang di atasnya tak bisa dipisahkan. Bila dipisahkan maka pohon akan mati. Demikian pula antara aqidah dan syari’ah atau dengan istilah lain antara iman dan amal shaleh tak dapat dipisahkan. Iman dan amal shaleh merupakan satu kesatuan. Beriman tanpa amal shalah, atau beraqidah tanpa menjalankan syari’ah sama saja dengan bohong. Sebaliknya beramal shaleh tanpa iman atau menjalankan syari’at tanpa dasar aqidah Islam, akan sia-sia.
Seseorang yang beraqidah Islam wajib mengikatkan amal perbuatannya dengan syari’at Islam. Karena itu wajib pula baginya menuntut ilmu untuk memahami ajaran Islam sehingga ia mengetahui mana yang harus dikerjakan, mana yang harus ditinggalkan, serta mana yang boleh dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Ia harus mengetahui pula mana yang merupakan syarat dan mana yang merupakan rukun, mana yang membatalkan dan mana yang menentukan sah dan tidaknya amal perbuatan. Maka, ada satu rangkaian yang saling berkaitan antara mempelajari Islam, memahami Islam dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Beramal tanpa ilmu dekat dengan kesesatan. Karena itulah Rasulullah Saw telah menyampaikan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Penulis kitab Ta’limul Muta’allim juga menambahkan bahwa setiap orang Islam juga wajib mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah diri, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil terlalu hemat dan sebagainya. Sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Mempelajari itu semua penting karena tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat tersebut tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya.
Mempelajari Islam bukanlah monopoli orang Islam. Orang nonmuslimpun boleh mempelajari Islam. Namun, semestinya orang Islam mempelajari Islam berbeda dengan orang nonmuslim yang mempelajari Islam. Seorang muslim yang mempelajari Islam merupakan tuntutan dari aqidahnya sebagai konsekuensi keimanannya. Sebaliknya orang bukan Islam yang mempelajari Islam seperti para orientalis, ia tidak berangkat dari motivasi aqidah Islam. Di antara mereka ada yang mempelajari Islam sekedar untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam. Dengan motivasi ini, ada kemungkinan tertarik pada Islam, lalu tercerahkan hatinya sehingga masuk Islam. Banyak orang-orang nonislam yang kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat setelah mereka mempelajari Islam. Namun, banyak pula yang mempelajari Islam karena terdorong oleh rasa kecemburuan dan kebenciannya, sehingga berupaya mencari kelemahan-kelemahan Islam, bahkan membuat teori-teori dengan melakukan pemutarbalikan fakta untuk menjatuhkan Islam.
Tidak sepatutnya seorang muslim mempelajari Islam semata-mata untuk tujuan memperoleh pengetahuan. Lebih-lebih jika belajar tanpa tujuan, atau belajar dengan menggunakan cara-cara (metodologi) orientalis. Saat ini banyak orang-orang Islam yang terjebak dengan cara pengkajian Islam seperti ini. Mempelajari al-Qur’an dengan meminjam metodologi kaum orientalis, hasilnya bukanlah bertambah yakin dengan kebenaran al-Qur’an, tetapi malah melahirkan keraguan pada al-Qur’an. Begitu pula tatkala belajar al-Hadits, hasilnya bukanlah bertambah pemahamannya terhadap al-Hadits, tetapi malah meragukan eksistensinya. Pada kasus ini, apakah ini berarti al-Qur’an dan al-Hadits memang problematik, ataukah justru metodologinya yang bermasalah?
Semestinya orang yang meminjam metodologi orientalis, tidak mengambil begitu saja tanpa adanya sikap kritis dengan metode tersebut, sebab metode yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah pula.
Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya “Islam dan Sekularisme” mengkritik metodologi ilmiah kaum orientalis. Beliau mengatakan: “Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam metodologi serta menganggap keraguan sebagai sarana epistemologi yang paling tepat untuk mencapai kebenaran”.
Sangat ironis jika seorang muslim mempelajari Islam hanya untuk tujuan memperoleh pengetahuan semata tanpa ada ghirah untuk mengamalkannya. Apa lagi jika belajar Islam dengan metodologi yang bermasalah sehingga justru ragu dengan Islam. Ia hanya akan menjadi seseorang islamolog saja bukan sebagai Islamist. Laksana kaum orientalis, ia bisa saja ahli dalam Islam, tetapi perilakunya jauh dari tuntunan Islam.
Seorang muslim ideal adalah seorang Islamist, ia faham Islam serta bersemangat untuk mengamalkan ajaran Islam. Sabda Rasulullah Saw:
مَنِ اْزدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا (قال العراقي أخرجه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس)
“Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuknya maka tidak bertambah dari sisi Allah kecuali jauhnya” (HR Al-Dailami).
Wallahu a’lam. []
*Penulis adalah peneliti di InPAS