Media sosial atau jejaring sosial (dan IT) merupakan sebuah fenomena kekinian yang dihadapkan peradaban Barat kepada umat Islam. Umat Islam kemudian harus mampu menentukan pilihan yang menghasilkan konsekuensi; menjadi pemain yang baik atau yang buruk.
Dalam kajiannya berjudul Peran Jejaring Sosial dalam Mengembalikan Peradaban Islam Bahtiar HS menggarisbawahi, bahwa jejaring sosial (dan IT) hanya sebatas sarana (tools) mutakhir yang mendukung upaya-upaya pengembalian peradaban Islam agar lebih efektif dan efisien. Jejaring sosial bukanlah bagian dari “upaya”, tetapi bagian dari “alat” untuk mencapai tujuan mengembalikan peradaban. Sarana yang dimaksud sama dengan penggunaan kuda, unta, pena, pedang dan sebagainya yang digunakan dalam membangun peradaban Islam masa lalu. Karena sifatnya sebagai sarana, maka efektivitas dan efisiensinya sangat tergantung kepada manusia (user) atau organisasi yang mempergunakannya, dan bukan pada kecanggihan teknologi jejaring sosial yang digunakan.
Pengkategorian jejaring sosial sebagai sekadar “alat” bukan “upaya” tersebut tak lepas dari karakteristiknya, yang memungkinkan semua orang menjadi anggota, bahkan pada tingkat kita tidak tahu secara detil dan pasti siapa anggota yang bergabung ke jejaring sosial kita.
Anggota jejaring sosial juga sangat beragam, sehingga sangat mungkin “menjebak”. Tidak ada filter yang disediakan oleh jejaring sosial untuk menyaring anggotanya secara selektif, karena proses verifikasi hanya melalui input data yang bisa manipulatif. Keberagaman tersebut tentu menyisakan pekerjaan ekstra dalam kaitannya dengan upaya bersatu padu untuk mengembalikan peradaban umat lewat jejaring sosial. Misal: tidak mungkin kita mengajak anak-anak yang belum cukup umur untuk mencari solusi mengatasi bagaimana mendidik anak yang tepat sesuai syariat Islam.
Dalam sebuah penelitian ditemukan fakta bahwa rentang umur anggota Facebook terbesar adalah 18-24, 25-34, dan 14-17. Mereka berumur dengan tingkat konsumtif yang rendah. Disimpulkan bahwa mereka bergabung ke jejaring sosial sekedar “having fun”, untuk bersenang-senang saja. Apakah kita bisa membangun peradaban dengan tipe orang-orang semacam ini?
Namun setidaknya ada beberapa contoh menarik tentang keberhasilan umat Islam menjadi pemain yang baik saat dihadapkan kepada IT dan jejaring sosial. Konteks ini berbicara tentang diaspora umat Islam, terutama yang berimigrasi di Eropa dan Amerika Utara. Mereka membangun komunitas Muslim yang solid di negara-negara Barat, yang oleh Benedict Anderson disebut “creole” dari information superhighway; aktor-aktor politik yang kekuatan politiknya terletak pada adopsi yang mereka lakukan terhadap teknologi yang memungkinkan mereka untuk mencetak secara elektronik dan mentransfer informasi. Internetlah yang telah menjadikan diaspora umat Islam di negeri Barat mampu mengekspresikan keyakinan agama mereka dengan sangat masif. Hal ini semakin menguatkan identitas mereka sebagai Muslim.
Lebih dari itu, Karim H. Karim dalam artikelnya “Muslim Encounters With Media: Towards An Inter-Civilizational Discourse on Globality” memandang ‘encounter’ atau persentuhan diaspora umat Islam dengan internet di negara-negara Barat – terutama di Amerika Utara, Eropa dan Australia; sekaligus memunculkan fenomena baru yang dinamakan ‘diasporic faithful’. Fenomena ini menarik untuk dicermati karena ‘diasporic faithful’ telah menjadi salah satu aspek dari gerakan perlawanan yang disebut ‘globalization from below’.
Ide mengenai ummah melingkupi seluruh dunia namun bersatu dalam beberapa ide dasar, prefigure sifat dasar diaspora yang mengglobal. Diaspora Muslim transnasional (yang dihubungkan oleh kelompok, asal negara, dan/atau aliansi politik) menggunakan teknologi yang menjadi bagian dari top-down globalization seperti telepon, fax, handphone, digital broadcasting satellite, dan internet. Uniknya, diaspora Muslim transnasional menggunakan teknologi ini untuk mengembangkan komunikasi alternatif dengan network yang mensupport sebuah globalization from below. Selain itu, internet juga memunculkan apa yang dinamakan “globalizing the local”, yakni memasukkan wacana Islam ke wacana Barat melalui teknologi informasi. []
*Penulis adalah Peneliti InPAS