Oleh:Ainul Yaqin, S.Si, M.Si.Apt*
Inpasonline.com-Masalah halal haram dalam pandangan Islam adalah persoalan penting yang harus menjadi perhatian bagi setiap individu Muslim. Setiap muslim terikat dengan ketentuan halal dan haram dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam hal yang berhubungan dengan penggunaan bahan-bahan untuk keperluan konsumsi seperti makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika, sehingga wajib baginya mempertimbangkan aspek kehalalan ketika hendak membeli atau menggunakan barang-barang untuk keperluan konsumsi. Setiap muslim juga berkewajiban untuk menghindari dari produk-produk syubhat yaitu produk yang tidak jelas kehalalannya. Hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi dalam menjalankan ajaran agama yang diyakini.
Doktrin yang mengharuskan untuk memilih konsumsi yang halal dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an maupun al-Hadits. Dalam al-Qur’an antara lain Allah Swt telah berfirman yang artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. al-Baqarah [2]: 168). Sedangkan dalam hadits Nabi, diantaranya Rasulullah Saw bersabda: “Dari Anas bin Malik Ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap orang Islam” (HR al-Thabarani)
Pada prinsipnya, semua bahan makanan dan minuman adalah halal kecuali yang telah dinyatakan keharamannya oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, antara lain yang disebutkan dalam al-Qur’an: bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah, kemudian hal-hal yang menjijikkan atau kotor (al-khaba’its). Beberapa jenis yang lain keharamannya disebutkan dalam al-hadits seperti binatang buas, burung yang bercakar, dan sebagainya. Sedangkan minuman yang jelas diharamkan oleh Allah Swt adalah khomr atau minuman keras. Beberapa jenis makananan yang berasal dari sumber binatang binatang seperti daging dan bagian lainnya, untuk halal dikonsumsi harus disembelih terlebih dahulu dengan cara mengikuti ketentuan syari’at Islam. Di luar hal tersebut, setiap orang tidak boleh sembarangan mengatakan halal haram tanpa ada dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Doktrin ini juga bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, antara lain dalam Surat al-Nahl [16]:116 Allah Swt berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. Kemudian dalam Hadits Nabi diantaranya Rasulullah Saw bersabda: “Halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, sedangkan haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan maka itu yang Dia memaafkannya”.(HR. al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah)
Selain itu, prinsip yang juga diajarkan dalam Islam adalah bahwa seorang muslim tidak dimintai tanggung jawab atas apa yang tidak diketahuinya. Seorang muslim juga tidak dituntut untuk menanyakan secara detail terhadap makanan yang akan dikonsumsinya tentang bagaimana menyembelihnya apakah telah memenuhi syarat atau tidak. Untuk mengkonsumsi cukup baginya mengetahui bahwa sembelihan itu berasal dari sembelihan seorang muslim. Demikian pula terhadap produk pangan olahan yang dibuat oleh orang muslim, cukup bagi seorang muslim lainnya untuk meyakini kehalalannya tanpa harus memeriksa dan menanyakan secara detail cara memasaknya. Hal ini merupakan bagian dari ciri ajaran Islam yang mudah dan tidak mempersulit.
Bahkan para ulama terdahulu cenderung menghindari menanyakan sesuatu secara berbelit-belit dan mendetail karena hal itu dikhawatirkan justru malah mempersulit diri. Al-Qur’an sendiri mengecam perilaku bertanya berbelit-belit yang justru menyusahkan diri sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (QS. al-Ma’idah [5]: 101)
Berangkat dari prinsip ini para ulama membuat kriteria bahwa sembelihan yang berasal dari daerah muslim adalah halal, sekalipun seseorang tidak mengetahui secara pasti proses penyembelihannya. Demikian pula makanan yang dimasak oleh seorang muslim adalah halal. Dengan demikian, masalah halal haram berkaitan dengan makanan dan minuman memang sederhana. Lebih-lebih apabila melihat bahwa bahan makanan dan minuman yang diharamkan macam dan jenisnya terbatas. Cukuplah bagi seorang muslim menghindari jenis-jenis makanan yang diharamkan tersebut. Di luar hal itu, pada asalnya halal atau mubah, sesuai dengan kaidah al-ashlu fi al-asyyȃ’ al-ibȃhah hattȃ yadulla al-dalilu `alȃ tahrîmihȃ (asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Fenomena global telah memunculkan masalah baru yaitu beredarnya berbagai produk pangan, produk kosmetika dan obat-obatan, mulai bahan baku sampai dengan produk jadi yang berasal dari berbagai penjuru tanpa bisa dibatasi, termasuk yang diproduksi di wilayah-wilayah non Muslim. Produk-produk daging yang berasal dari sembelihan non muslim pun masuk ke pasar bebas, ada yang dalam bentuk daging mentah, ada yang sudah menjadi produk daging olahan seperti sosis, bakso, nugget, dan sebagainya. Bahkan ada yang sudah menjadi produk turunan daging dan lemak hewan seperti berbagai jenis perisa, dan produk-produk ester asam lemak, produk-produk gliserida ester, produk garam dari asam lemak, produk emulsifier, yang kesemuanya susah untuk diidentifikasi asal usulnya.
Persoalan menjadi semakin komplek karena bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan teknologi pangan yang pesat, sedangkan yang mengendalikan tidak semua memperhatikan masalah halal haram, sehingga memunculkan peluang adanya pengolahan secara bersama-sama antara bahan-bahan yang meragukan kehalalannya dengan bahan-bahan yang jelas halal menjadi produk-produk olahan. Produk olahan atau masakan yang dibuat oleh orang Islam pun tidak murni bahan-bahannya berasal dari orang Islam sendiri dan tidak semua diketahui asal-usulnya oleh yang memasak.
Fenomena baru ini telah memicu persoalan yang rumit yaitu adanya kemungkinan terjadinya ikhtilȃth (percampuran) antara yang halal dan yang haram antara yang suci dan yang najis. Sebagai contoh, produk permen agar terasa lunak dan kenyal dikembangkan teknologi soft candy (permen lunak) yang menggunakan bahan gelatin. Gelatin merupakan bahan yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang terdapat pada tulang atau kulit binatang terutama sapi dan babi. Kebanyakan produsen gelatin khususnya di Eropa ternyata tidak melakukan pemilahan apakah gelatin itu berasal dari babi atau sapi. Demikian juga tidak diperhatikan apakah sapi disembelih secara Islam atau tidak.
Gelatin merupakan suatu bahan yang mempunyai penggunaan cukup luas, antara lain berfungsi sebagai thickening agent (pengental) dan suspending agent (penstabil suspensi). Dalam industri farmasi selain digunakan sebagai pengental dan penstabil juga merupakan bahan untuk cangkang kapsul baik kapsul keras maupun lunak. Dalam industri makanan gelatin mempunyai penggunan yang luas antara lain sebagai salah satu bahan baku dari jeli tiruan, es krim, dan roti. Berarti produk-produk yang memanfaatkan bahan gelatin patut dicermati kehalalannya.
Berbagai jenis produk pangan seperti es krim, roti, krimer dan sebagainya, memanfaatkan emulsifier sebagai penstabil. Padahal emulsifier kebanyakan adalah turunan lemak, misalnya bahan E471 atau ester gliserida stearat. Jika berasal dari negara-negar non muslim sudah tentu bahan-bahan seperti ini harus diketahui sumber lemaknya, halal atau haram.
Proses produksi keju dan produk sampingnya seperti wey, casein, serta gula susu melibatkan penggunaan enzim yang bisa jadi berasal dari anak sapi yang tidak disembelih secara Islam, bahkan bisa dari babi. Padahal produk-produk seperti wey dan gula susu penggunaannya sangat luas.
Proses penyembelihan agar efisien, praktis dan cepat, dikembangkan metode stunning (pemingsanan). Yang patut dikritisi apakah pemingsanan yang dilakukan tidak sampai membuat hewan yang dipingsankan mati? Jika hewan yang dipingsankan mati maka menjadi bangkai yang haram dikonsumsi.
Diluar itu juga banyak terdapat kasus penyimpangan yang disengaja, bahkan dilakukan oleh oknum orang Islam sendiri, seperti mencampur daging sapi dengan daging babi hutan untuk dendeng. Juga terdapat kasus penggunaan peralatan campur yang semakin marak seperti kasus restoran yang menyediakan beef steak (steak sapi) sekaligus juga menyedia-kan bacon steak (steak babi). Kasus produsen bakso yang membuat bakso babi dan bakso sapi, kasus adanya penyedia jasa penggilingan daging yang tidak selektif karena menerima segala jenis daging, dan sebagainya.
Bahan-bahan atau produk-produk sebagaimana contoh-contoh di atas merupakan bahan atau produk yang kritis halal, artinya berpeluang terkontaminasi dengan bahan haram atau bahkan merupakan bahan yang haram. Sementara itu, tidak setiap orang Islam mampu mengidentifikasi. Dengan demikian, produk-produk tersebut tepatnya dapat dikelompokkan sebagai barang yang syubhat (samar/tidak jelas halal haramnya). Bagi kebanyakan umat Islam jelas hal ini bukanlah persoalan sepele karena dampak yang ditimbulkannya sangatlah serius.
Rasulullah Saw dalam sabdanya telah menjelaskan bahwa diantara yang halal dan yang haram terdapat area abu-abu, tidak jelas apakah masuk kategori halal ataukah kategori haram yang disebut syubhat. Rasulullah juga menegaskan bahwa terhadap yang syubhat ini kebanya-kan manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Sinyalemen yang disampaikan oleh Rasulullah Saw ini persis dengan kondisi yang saat ini terjadi. Kendatipun pada asalnya yang haram sedikit bahkan hanya kekecualian, sementara yang halal jauh lebih banyak, namun ada indikasi setelah mengalami pengolahan adanya peluang terjadi percampuran antara yang halal dan yang haram. Peluang inilah yang menimbulkan keraguan, apakah produk-produk olahan bisa dijamin terbebas dari kontaminasi dengan bahan-bahan yang diharamkan atau tidak. Berangkat dari hal tersebut, umat Islam membutuhkan jaminan halal untuk produk-produk yang akan dikonsumsinya. Keadaan seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya sertifikasi dan labelisasi halal yang berangkat dari keyakinan bahwa mencari yang halal adalah wajib, serta karena ada perintah untuk menghindari perkara yang syubhat.
. Sertifikasi halal merupakan upaya penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk makanan atau minuman serta proses produksinya telah terjamin halal. Kegiatan sertifikasi halal di Indonesia sampai saat ini dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia yang secara operasional ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sedangkan labelisasi halal atau perijinan label halal dikeluarkan oleh pemerintah yang secara operasional dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ke depan, setelah berlakunya Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikasi dan labelisasi halal akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Ada pihak yang masih salah faham terhadap sertifikasi halal yang tampak dari munculnya kesimpulan yang salah yaitu: pertama; masalah pilihan makanan dan minuman sebaiknya diserahkan saja kepada masyarakat sesuai dengan keinginannya, tidak perlu sertifikasi halal, kedua, kalau toh perlu sertifikasi, seharusnya sertifikasi haram bukan sertifikasi halal karena yang halal banyak sedangkan yang haram sedikit, sehingga tidak menyulitkan para pelaku usaha dan pada gilirannya menyulitkan konsu-men sendiri.
Kesimpulan tersebut terjadi akibat kesalahan dalam memahami substansi masalah. Sepintas masalah halal haram memang tidak ada masalah jika melihat bahwa bahan makanan dan minuman yang diharamkan jenis dan macamnya terbatas. Nah berangkat dari sinilah muncul pemikiran yang cenderung menyederhanakan, “jika yang haram itu dilabeli haram atau disertifikasi, tuntas sudah masalahnya karena yang tersisa semua halal”. Padahal setelah ditelusur masalahnya tidak seperti itu, tetapi kompleks.
Makanan yang diperlukan untuk dikonsumsi adalah makanan yang halal, bukan yang haram. Fenomena baru telah menyebabkan adanya kesamaran dalam produk-produk olahan karena adanya kemungkinan tercampur dengan bahan haram sehingga membutuhkan penelitian untuk memastikan kehalalannya.
Sertifikasi halal merupakan proses klarifikasi terhadap produk-produk yang samar kehalalannya dengan cara menelusuri mulai dari tahap penyiapan bahan bakunya, tahap produksi, sampai tahap penyimpanannya, termasuk juga cara pengedaliannya agar konsisten halal. Jadi sertifikasi halal diterapkan pada produk-produk yang masih mengandung kesamaran aspek kehalalannya sehingga perlu dipastikan. Adapun untuk produk-produk yang sudah jelas kehalalannya, contoh-nya ikan segar atau produk nabati yang belum diolah seperti beras, jagung, dan sayuran, juga produk mineral seperti garam tidak perlu disertifikasi halal. Dengan sertifikasi halal, produk-produk olahan yang kehalalnya awalnya masih samar, setelah diperiksa akhirnya menjadi jelas. Jika memang halal berarti halal benar sehingga konsumen muslim tidak ragu mengkonsumsi, sekalipun produk itu dibuat di negara-negara non muslim.
Penulis adalah Sekretaris MUI Jawa Timur dan auditor LPPOM MUI Jawa Timur
Ada hal yg blm masuk dalam pembahasan scr detail, yaitu kehalalan hewan sembelihan harus dilakukan oleh orang muslim. Sementara ini banyak orang yang mengaku muslim tapi lalai dalam menegakkan shalat. Sementara nabi shalallahu alaihi wa salam mengatakan pembeda seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran itu shalat.
Pertanyaannya, apakah sampai kesini pengawasan terhadap proses penyembelihan hewan ? Dan ini tanggung kawab siapa ?