Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Bani Alawi merupakan keturunan Ahlul Bait yang nasabnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib. Secara khusus digunakan untuk menyebut anak-cucu Rasulullah Saw yang berasal dari Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Sayid Alwi ini adalah orang pertama dari keturunan Ahlul Bait yang lahir dan besar di Hadramaut Yaman (Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, hal. 23). Sehingga mereka disebut bani Alawi.
Leluhur para penyebar agama Islam yang tergabung dalam Walisongo merupakan keturunan Arab dari kalangan bani Alawiyyin (habaib) ini. Jamaluddin al-Husein, kakek dari Maulana Malik Ibrahim misalnya adalah seorang keturunan Arab dari bani Alawiyyin yang lahir di India. Ia memiliki garis keturunan dari Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir, imigran asal Irak yang menetap di Hadramaut Yaman, keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Jamaluddin al-Husein bukan dari etnis India, leluhurnya bernama Abdul Malik, berasal dari Hadramaut tapi hijrah ke India untuk berdakwah. Ia menetap di wilayah Koromandel India dan pernah berdiri sebuah kerajaan yang didirikan oleh keturunan Abdul Malik. Namun, penduduknya banyak yang berpindah ke Champa karena kalah dalam suatu peperangan (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 158).
Jamaluddin al-Husein ini mempunya tiga anak laki-laki yang keturunannya menjadi pendakwah. Mereka adalah Sayid Barakat Zainal Alam, Ibrahim al-Akbar dan Ali Nurul Alam. Barakat Zainal Alam menetap di Gujarat India dan memiliki anak bernama Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo. Sedangkan Ibrahim al-Akbar merupakan kakek dari Sunan Ampel.
Asal-muasal Walisongo berasal dari bani Alawiyyin Hadramaut bahkan diakui banyak sejarawan, termasuk seorang orientalis Belanda, Van den Berg. Seperti dikutip oleh Habib Alwi bin Thohir al-Haddad: “Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam adalah dari orang-orang sayyid syarif (bani Alawiyin). Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain dari Hadramaut (yang bukan golongan sayid), tetapi meeka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka kaum sayid adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad Saw) (Alwi bin Thahir al-Haddad,Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal. 52).
Salah satu ciri keturunan sayid ini adalah kekuatan menjaga tradisi keagamaan secara turun-temurun. Mereka cenderung lebih mengamalkan ajaran dan jejak nenek moyangnya, daripada ajaran baru. Nenek moyang yang dianut ajaranya adalah Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir. Dan juru bicara yang disebut-sebut tokoh sentralnya adalah habib Abdullah al-Haddad. Keduanya secara akidah menganut madzhab Asy’ari, fikih mengikuti imam Syafi’i dan tasawufnya mengikut imam al-Ghazali.
Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran mengatakan: “Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa al-Muhajir yang tiba di Hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim Yaman, mereka adalah asyraf yang Sunni” (Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal.47).
Akidah Ahlussunnah dijelaskan oleh Habib Abdullah al-Haddad dalam kitabnya Risalah al-Mu’awanah. Beliau mengatakan bahwa firqah al-najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam kitab tersebut dinyatakan juga bahwa akidah bani Alawi secara turun temurun adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dia menulis: “Perbaiki dan luruskanlah akidahmu dengan berpegang pada manhaj al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat) yang dalam Islam dikenal dengan nama Ahlussunnah wal Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Jika kamu teliti al-Qur’an dan al-Sunnah – yang berisi ilmu-ilmu keimanan – dengan pemahaman yang benar dan hati yang bersih, serta kamu pelajari perjalanan hidup para salaf yang soleh dari kalangan Sahabat dan tabi’in, maka kamu akan mengetahui secara yakin bahwa kebenaran ada pada golongan al-Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau telah menyusun akidah ahlil haq beserta dalil-dalilnya. Itulah akidah yang diakui oleh para Sahabat dan tabi’in. itulah akidah seluruh kaum sufi, sebagaimana disebutkan oleh Abul Qasim al-Qusyairi pada bagian awal bukunya, al-Risalah.
Alhamdulillah, itulah akidah kami dan saudara-saudara kami para Sadah al-Husaini yang dikenal dengan sebutan bani Alawi. Itulah juga akidah salaf kami, mulai dari zaman Rasulullah Saw hingga saat ini.
Dalam bidang fikih leluhur bani Alawi menganut madzhab Syafi’i. Sayid Ahmad bin Isa dikenal berjasa menyebarkan madzhab Syafi’i di Hadramaut. Ketika sampai di negeri Hadramaut Ahmad bin Isa dikatan beliau menyebarluaskan madzhab Syafii. Hal ini diakui oleh habib Abu Bakar al-Adni bin Abdullah al-Aidarus yang menyatakan: “Madzhab kami dalam furu’ adalah madzhab Syafi’i, dalam usul adalah madzhab guru kami imam al-Asy’ari dan thariqah kami adalah thariqahnya para sufi (Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal.73).
Tradisi keagamaan mereka cenderung kepada tasawuf dengan menganut thariqah sufiyah yang bernama thariqah Alawiyah. Salah seorang tokoh Bani Alawi, Idrus bin Umar al-Habsyi menjelaskan tentang tariqah ini. Ia mengatakan: “Ketahuliah, sesungguhnya tariqah anak cucu Nabi Saw dari keluarga Abi Alawi merupakah salah satu tariqah sufi yang dasarnya ittiba’ (mengikuti) al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan bagian utamanya (ra’suha) adalah sidqul iftiqar (benar-benar merasa butuh kepada Allah Swt) dan syuhudul minnah(kesaksian bahwa semuanya adalah karunia Allah semata).
Tariqah ini tidak lebih sebuah metode, sistem atau cara tertentu yang digunakan oleh Bani Alawi menuju kepada kedekatan kepada Allah Swt, yang diwarisi dari leluhurnya secara turun-temurun.
Secara umum ajaran tariqah ini ialah menekankan adanya hubungan dengan seorang syaikh (guru pembimbing dalam ibadah), perhatian secara seksama dengan ajarannya, dan membina batin (dengan ibadah). Selain itu, tariqah ini juga menekankan pentingnya amal, dan untuk itu, dibutuhkan suatu tariqah yang ajarannya mudah dilakukan dan dipahami oleh masyarakat awam.
Tariqah ini tidak terlalu ketat seperti halnya tariqah sufi lainnya. Misalnya, tidak ada aturan khusus untuk mengamalkan suatu wirid. Misalnya, tidak ada bai’ah untuk mengamalkannya. Terlihat bahwa tariqah Bani Alawi tidak lebih merupakan suatu tradisi amalan yang diwarisi secara turun-temurun.
Hal yang perlu kita perhatikan dalam tariqah ini adalah upaya preventif dalam menjaga akidah Ahlussunnah. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, tokoh utama Bani Alawi menjelaskan: “Wajib atasmu memperindah akidahmu, memperbaiki dan menguatkannya sesuai dengan metode firqah al-najiyah (kelompok yang selamat), yaitu kelompok yang dikenal di kalangan seluruh kelompok Islam dengan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang berpegang sesuai apa yang dipegang oleh Rasulullah Saw dan para Sahabat beliau”.
Dalam salah satu wasiatnya, Habib Abdullah al-Haddad mengatakan: “Akidah kami adalah akidah Asy’ariyah. Madzhab kami adalah Syafi’iyah. Sesuai dengan Kitabullah dan al-Sunnah”.
Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus (wafat tahun 856 H) dalam kitabnya al-Kibritul Ahmar menulis satu bab khusus tentang akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Tasbitul Fuad I/227 cukup tegas lugas menolak akidah Syiah. Ia menyebut Syiah sebagai golongan orang-orang ahli batil. Dalam segala hal pendapat-pendapat mereka (Syiah) tidak dapat diambil.
Secara khusus dan lebih terperinci informasi tentang ajaran-ajaran akidah tariqah Bani Alawi dijelaskan oleh Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Ia mengatakan: “Duhai saudaraku, jauhilah bid’ah dan para pelakunya. Tinggalkan dan singkirkan segala bid’ah. Berpalinglah dari para pelakunya dan jangan bergaul dengan mereka. Ketauhilah, sumber bid’ah di dalam akidah adah tujuh, sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama yaitu; Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Najjariyah, Jabariyah dan Musyabihah” (Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Ma’arij Hidayah,sebagaimana dinukil oleh Novel Alaydrus dalam Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, hal. 52).
Bid’ah-bid’ah akidah tersebut oleh Habib Abdullah al-Haddad disebut merupakan ajaran kedurhakaan yang sangat kronis. Ia mengatakan: “Sebagaimana diberitahukan kepada kami, telah muncul sikap secara terang-terangan membencu kedua tokoh –Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar al-Faruq. Mereka berakidah Rafidhah yang tercela, baik atau dasar syariat maupun akal sehat. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ini adalah kedurhakaan yang serius dan kelalaian yang kronis” (Alwi bin Thahir al-Haddad, Uqudul Ilmas, Wali, Karomah dan Thariqah, hal. 216).
Dalam kitabnya itu, Uqudul Ilmas, Alwi bin Thahir membahas dengan agak luas dasar-dasar akidah Bani Alawiyah sejak nenek moyang mereka hingga pada era dia.
Karena tantangan bid’ah tersebut yang meluas, para tokoh Bani Alawiyah dalam tariqahnya menekankan pembentengan akidah Asy’ari. Dan mengeluarkan fatwa-fatwa penting sebagai bahan tarbiyah tariqah Bani Alawiyah.
Salah satunya dilakukan oleh Habib Abdullah al-Haddad. Ia menyusun sebuah wirid, bernama Ratib al-Haddad. Uniknya, wirid ini dibaca untuk membentengi penganut tariqah dari fitnah-fitnah aliran sesat. Terutama Rafidhah. Dalam Syarah Ratib al-Haddad dijelaskan:
“Ratib ini disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad ketika beliau mendengar masuknya faham Syiah Zaidiyah ke Hadramaut. Beliau khawatir Syiah ini akan merubah akidah kaum awam. Maka, pada malam 17 Ramadhan tahun 1071 H beliau susun ratib ini. Malam itu merupakan malam lailatul qadar. Sebagaimana disebutkan oleh murid beliau al-Ahsha’i. dalam ratib ini al-Haddad menyebutkan ‘al-khairu wa syarru bi masyi’atillah, (kebaikan dan keburukan itu terjadi atas kehendak Allah). Kalimat ini sengaja beliau cantumkan dalam ratib tersebut untuk menolak paham Qadariyah yang dianut oleh orang yang suka berbuat bid’ah akidah dan semua kaum Syiah Zaidiyah” (Alwi bin Ahmad al-Haddad,Syarh Ratib al-Haddad, hal. 258).
Tidak ditemukan data-data sejarah yang bisa dipercaya bahwa Bani Alawi yang hijrah ke kepulauan Nusantara adalah Syiah, sebagaimana pernah diklaim Syiah. Adapun teori-teori dari sejarawan Syiah, sifatnya baru spekulatif. Tidak dipungkiri terdapat pedagang beraliran Syiah yang mendarat di Nusantara. Tapi jumlah mereka sangat sedikit. Sehingga masyarakat tidak banyak yang terpengaruh.
Syiah sendiri sebetulnya tidak memiliki sanad kepada para keturunan Ahlul Bait ini. Para ulama Sunni yang memiliki sanad kepada pembesar Ahlul Bait. Para imam dari ulama Ahlussunnah misalnya pernah berguru kepada Ja’far al-Shadiq yang juga berakidah Ahlussunnah. Sedangkan ulama Sunni Nusantara juga memiliki jalur sanad kepada keturunan Ja’far al-Shadiq di Hadramaut. Jalur sanad Syiah hanya ke Iran, yang notabene bukan negeri yang banyak dihuni keturunan Ahlul Bait. Para tokoh habaib kontemporer menunjuk Hadramaut sebagai negeri Sunni yang sangat ketat menjaga tradisi Ahlul Bait. Mereka tidak pernah menunjuk Iran, karena budaya Iran adalah bangsa Persia yang tradisi keagamaannya tidak memiliki ‘isnad’ kepada Ahlul Bait.