Berikut ini adalah jawaban Ustadz Hamid atas kritik dan pandangan Sirikit Syah terhadap umat Islam.
—————————-
Sirikit:
Dia (Hamid, red.) mengajak umat Islam untuk memperkuat basis (ilmu) keagamaannya. Lemahnya basis ilmu keagamaan umat Islam, khususnya di kalangan cendekiawan muslim, disinyalir menjadikan kaum Muslim sebagai sekadar imitator atau epigon Barat. Namun dalam pandangan saya, sesungguhnya dalam kenyataannya, sebaliknyalah yang terjadi. Kita melihat, tak sedikit orang yang kuat basis ilmu agamanya, yang lahir dari pesantren, malah menjadi corong propaganda Barat. Selain banyak mengkritik ayat-ayat Quran dan hadits Nabi, para cendekiawan agama ini juga ikut-ikutan Barat, menjelek-jelekkan agama Islam dan budaya bangsa Indonesia.
Hamid:
Asumsinya tentang “orang yang kuat basis ilmu agamanya yang lahir dari pesantren” (adalah imitator Barat) adalah asumsi yang salah. Sebab lulusan pesantren, apalagi hanya belajar Fiqih, tidak cukup ilmu untuk menghadapi Barat yang ide-idenya bersifat filosofis dan sosiologis yang tidak ditemui di pesantren. Lagi pula pesantren pada umumnya hanya berhenti pada tingkat menengah, sedangkan jika orang-orang ini melanjutkan ke universitas umum, ilmunya dari pesantren tidak cukup untuk menundukkan ilmu-ilmu umum. Jadi sikap kebarat-barat dan anti-Islam bukan karena basis ilmu Islamnya kuat.
Sirikit:
Tak sedikit nama besar tokoh liberalis Indonesia adalah lulusan pesantren. Jadi, pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah ini persoalan basis keilmuan agama? Artinya yang basis agamanya kurang akan mudah menjadi liberal dan sekuler; yang basis agamanya kuat akan membela Islam? Jangan-jangan bukan. Boleh jadi, persoalannya adalah uang. Barat menggelontorkan begitu banyak dana untuk membaratkan, meliberalkan, dan mensekularkan negara-negara Islam. Bisa jadi, persoalan para cendekiawan muda Indonesia yang kemudian menjadi corong Barat itu adalah sekadar ketergodaan mereka atas gelontoran dana?
Hamid:
Di sini Bu Sirikit ragu dengan pandangannya pada paragraf di atas (paragraf sebelumnya, red.). Kalau di atas dia mengatakan “tidak sedikit yang basis agamanya kuat menjadi liberal”, kini berubah asumsinya “yang basis agamanya kurang akan mudah menjadi liberal dan sekuler”. Tapi, asumsi ini pun dihapus lagi diganti menjadi karena uang. Pada alinea berikutnya dia menegaskan bahwa ilmu yang kurangpun bisa memiliki kesadaran tinggi untuk bertoleransi dan tidak mempan dicekoki oleh ide pluralisme dan sekularisme. Coba kita baca berikut ini:
Sirikit:
Saya sendiri dilahirkan di tengah keluarga abangan, di pusat kota Surabaya. Di tahun 60an itu, setiap rumah di Jalan Melati Surabaya (tepat di belakang Grand City) dihuni oleh etnis atau bangsa yang berbeda: Jawa, Batak, Ambon, Manado, Madura, China, Belanda. Tetangga kami yang orang Batak biasa menyembelih dan memasak babi, tetangga yang lain suka berpesta dansa. Masjid jauh dari rumah kami, sehingga kehidupan beragama-pun (Islam) tidak berjalan lancar. Toh, bagi saya, kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang plural dan oleh sebab itu mesti toleran, sudah mendarah daging. Setelah bersekolah, kami juga tahu bahwa unity in diversity (of multiethnicities) itu sudah menjadi falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika. Jadi, justru orang-orang seperti kami (yang basis ilmu agamanya mungkin kurang dibanding para tokoh liberal Indonesia sekarang) sudah tidak mempan dicekoki paham pluralisme atau sekularisme yang baru didengung-dengungkan di era Reformasi ini.
Hamid:
Pertama, ini adalah kasus individu dan tidak bisa digeneralisir. Artinya, kasus Bu Sirikit adalah unik. Kedua, perbandingan dirinya dengan orang liberal tidak signifikan. Bu Sirikit tahu seperti apa kelebihan dan kekurangan masyarakat sekuler dan liberal dari lingkungan di mana dia hidup. Karena itu, dia tidak mempan dipengaruhi. Tidak mempan bukan karena minim ilmu agamanya, tapi karena pengetahuannya tentang sekulerisme telah cukup. Sedangkan santri-santri liberal tidak memiliki pengetahuan cukup tentang pluralisme dan sekularisme sehingga nampak menarik dan baru. Ditambah lagi faktor lain yakni “proyek Westernisasi dan liberalisasi” dengan dana yang besar. Maka, kalau disimpulkan bahwa faktor yang menjadikan orang sekuler dan liberal bukan karena lemahnya ilmu agamanya, tapi juga karena kuatnya pengaruh doktrin sekularisme dan liberalisme. Itulah alasan saya mengapa YANG PENTING SEKARANG ADALAH MELEMAHKAN PENGARUH SEKULARISME DAN LIBERALISME ITU. Inilah message yang ingin disampaikan buku Misykat itu.
Sirikit:
Sayang sekali, buku Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi masih terpateri pada pengunggulan Islam dan kritik terhadap Barat, sehingga lupa bahwa tak sedikit perilaku umat Islam yang belum baik, sebagaimana tak sedikit pula hal-hal yang diterapkan di Barat itu sudah ‘islami’. Misalnya, pedagang yang tidak menipu, kepatuhan pada janji (tidak terlambat), hormat dan kesopanan. Selama saya hidup di negara Barat (di AS dan Inggris), nilai-nilai Islami itu saya temukan. Sebaliknya, selama hidup di tengah masyarakat Islam Indonesia, saya sering ditipu pedagang, melihat keterlambatan di berbagai acara, dan kurangnya rasa hormat antarsesama warga Negara.
Saya kira, justru kelemahan inilah yang menjadi tantangan utama kita. Sebelum “berperang” melawan paham-paham yang diimpor dari Barat, kita mesti menegakkan lebih dulu segala keunggulan Islam dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Hamid:
Mengunggulkan Islam menurut saya tidak salah, sebab kalau Islam tidak digambarkan secara unggul apa yang kita jadikan pedoman. Sedang mengkritik Barat adalah wajib karena bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Tapi lain ceritanya jika kita bicara tentang ummat Islam. Dan saya tidak lupa bahwa perilaku umat Islam banyak yang buruk seperti yang disebut Bu Sirikit. Tapi mana yang lebih buruk, umat Islam yang berperilaku buruk atau umat Islam yang berfikiran salah. Orang mencuri itu biasa, tapi orang berotak pencuri itu dosa luar biasa. Penilaian bahwa umat Islam berperilaku buruk sementara di Barat banyak nilai-nilai Islami diterapkan ini pernyataan yang kurang tepat. Melihat sifat keislaman hanya pada satu aspek / sifat seseorang tidaklah cukup. Selama saya di Birmingham, saya dan kawan-kawan sering diperlakukan secara tidak manusiawi. Pernah juga ditipu ketika beli komputer bekas. Kita tidak bisa menghukumi seseorang itu Islami karena sopan santun pada orang lain, tapi dia berdarah pembunuh atau penipu. Singapura tidak bisa dikatakan Islami karena tidak ada sampah, padahal banyak sampah masyarakat. Mungkin Bu Sirikit merasa tidak nyaman di Indonesia, tapi jika pergi ke negara-negara Arab seperti Kuwait, misalnya, tidak demikian. Di sana boleh dikatakan tidak ada pencurian, orang biasa parkir mobil di luar rumah semalaman tanpa dikunci. Maksud saya, kalau mau melihat umat Islam, lihatlah secara keseluruhan, demikian pula kalau mau melihat Barat.
Maka, tugas umat Islam itu ada dua, dan ini berlaku sepanjang zaman. Pertama, memperkuat iman, ilmu dan amal. Kedua, menghadapi tantangan dari luar yang membahayakan Islam dan umat Islam. Kita tidak bisa memilih mana yang lebih dulu, keduanya harus dilakukan secara simultan. []