Sejatinya, sistem kenegaraan yang didapat pada saat ini telah dijelaskan oleh Aristoteles dalam perspektif sejarah, yaitu manusia pada dasarnya adalah hewan sosial. Pada setiap tahap perkembangannya manusia itu mempunyai kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dilaksanakannya sendiri, dan karena itu mereka membentuk kelompok-kelompok sosial. Kelompok-kelompok itu sangat berbeda dalam sifat dan ruang lingkupnya, sesuai dengan kondisi pada saat itu. Tetapi mereka, tanpa kecuali, menimbulkan sejumlah besar masalah-masalah pengorganisasian yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan struktur kelompok, dan juga menyinggung hubungannya dengan kelompok lain, yang sama artinya dengan hubungan antar bangsa modern saat ini[2].
A. Kebijakan Luar Negeri Negara-Bangsa
Dalam perspektif Hubungan Internasional, paradigma mendudukkan negara-bangsa sebagai aktor utama merupakan doktrin aliran Realisme; disebut juga teori Realis. Tingkah laku negara-bangsa yang menjadi objek utama pengamatan para realis memberi gambaran bahwa hubungan antar negara-bangsa merupakan sebentuk anarkhi, semata-mata untuk memastikan bahwa mereka dapat bertahan serta memperoleh rasa aman, sehingga tiap negara-bangsa selalu melakukan upaya untuk memperbesar kekuatannya. Gambaran dunia menurut teori Realis ini sangat sesuai untuk menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan international affairs. Negara-bangsa akan menjadi entitas yang dominan dalam world affairs. Negara-bangsa memiliki tentara, melangsungkan diplomasi, menegosiasikan perjanjian, menyatakan perang, mengontrol organisasi-organisasi internasional, mempengaruhi dan melakukan fungsi produksi serta perdagangan.[3]
Di atas telah dijelaskan sekilas bahwa yang mendasari negara-bangsa saling menjalin menjalin hubungan adalah adanya tuntutan untuk bisa survive dan mendapatkan security. Tuntutan tersebut dalam bahasa Hubungan Internasional disebut dengan national interest atau kepentingan nasional. Dalam konteks negara-bangsa, kepentingan nasional merupakan konsep kunci dalam politik luar negeri sebuah negara.[4] Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol atas suatu negara terhadap negara lain.
Konsep national interest digunakan sebagai dasar guna menjelaskan perilaku negara dalam politik internasionalnya[5]. The International Relation Dictionary mendefinisikan, kepentingan nasional sebagai :
”the fundamental objective and ultimate determinant that guide the decision maker of state in making foreign policy”.[6]
(Tujuan serta faktor yang paling mendasar yang menuntun pengambil kebijakan suatu negara dalam membuat kebijakan luar negeri)
B. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
Serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon telah memicu perubahan paling cepat dalam sejarah kebijakan luar negeri Amerika Serikat.[7] Pada 10 September 2001, tak ada pertanda sedikit pun bahwa Amerika Serikat akan memulai perang habis-habisan melawan “terorisme global”. Memang, terlepas dari pengabaian terang-terangan terhadap kesepakatan multilateral tertentu dan kegemaran akan pertahanan peluru kendali, prioritas kebijakan luar negeri George W. Bush dan pemerintahannya tidak berbeda secara radikal dari para pendahulunya. Bush telah menyetujui perluasan NATO, penempatan pasukan Amerika Serikat di Balkan, menegaskan kembali kebijakan mengenai hubungan yang hati-hati dengan Rusia dan Cin, dan menyerukan usaha yang lebih cepat untuk meliberalkan pasar global. Perhatian awal pemerintahan ini terutama dipusatkan pada masalah-masalah dalam negeri, dan tak tercatat ada inisiatif internasional baru.[8]
Pendekatan kebijakan luar negeri yang biasa-biasa saja ini tak lagi terlihat pada 11 September. Alih-alih reformasi dan pemotongan pajak, perang melawan terorisme mendominasi agenda pemerintahan. Kampanye melawan terorisme global sekarang merupakan tujuan utama kebijakan luar negeri dan pertahanan Amerika Serikat, dan tujuan-tujuan internasional lain akan berada di bawah tujuan besar ini.[9] Pada tataran praksis, politik luar negeri suatu negara sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasional.
Di depan para wisudawan West Point, president Amerika Serikat saat itu, George W. Bush menjelaskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang didefinisikan sebagai internasionalisme[10] Amerika dengan berkata :
“Cita-cita bangsa kita selama ini selalu lebih besar daripada pertahanan negara kita. Kita berjuang, selalu berjuang, untuk perdamaian yang adil, perdamaian yang berpihak kepada kebebasan. Kita berjuang, selalu berjuang, untuk perdamaian yang adil, perdamaian yang berpihak kepaada kebebasan. Kita akan pertahankan perdamaian dari ancaman teroris dan tirani. Kita akan memelihara perdamaian dengan membangun hubungan baik dengan negara-negara kuat. Dan kita akan menyebarkan perdamaian dengan mendorong terciptanya masyarakat yang bebas dan terbuka di setiap benua….Membangun perdamaian seperti ini adalah….tugas Amerika”.[11]
Dilatarbelakangi tanggung jawab yang besar terhadap dunia, Amerika Serikat merasa berkewajiban menggaungkan nilai-nilai Amerika ke seluruh negara di dunia. Seperti yang dinyatakan oleh penasihat keamanan nasional, Henry Kissinger :
“Tidak ada kebijakan luar negeri meski amat cemerlang yang akan berhasil jika ia lahir dari pemikiran segelintir orang dan tidak ada orang yang meresapinya.”
Konsekuensinya, nilai-nilai Amerika[12] harus menjadi bagian dari kepentingan nasional setiap anggota komunitas internasional, dan Amerika Serikat harus melakukan intervensi demi terlaksananya prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, supremasi hukum, dan demokrasi.
Memberi penekanan pada penerapan nilai-nilai Amerika Serikat di negara-negara di seluruh dunia, pemerintah Amerika Serikat menggunakan beragam alat untuk memperluas komunitas demokrasi global dan membenatu demokrasi baru. Amerika Serikat menyediakan lebih dari $700 juta untuk membantu upaya demokratisasi dan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk memberikan pelatihan kepada para hakim dan pengacara, membangun kemampuan LSM, mendukung dan mendidik jurnalis, membantu perkembangan partai politik, mengawasi pemilu, serta memperkuat institusi, kebijakan, praktik-praktik yang menciptakan unsur-unsur masyarakat demokratis.[13]
Upaya pemerintah Amerika Serikat di atas, tentu memiliki keterkaitan erat dengan “reformasi pendidikan Islam di Indonesia”. Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang menunjang internasionalisme Amerika Serikat; sehingga secara langsung, Amerika Serikat turut berperan mengglobalkan wacana posmodernisme[14] yang merupakan salah satu nilai-nilai Amerika Serikat.
Dengan demikian, para intelektual tidak akan bisa memahami dan menemukan keterkaitan globalisasi dan politik liberalisasi pendidikan Islam di Indonesia sebelum melakukaan penelaahan terhadap posmodernisme, dalam kaitannya dengan pemikiran tokoh-tokoh intelektual dunia maupun Islam, serta pengaruhnya terhadap dunia pemikiran di dunia serta pendidikan Islam di Indonesia.
C. Globalisasi dan Posmodernisme
Posmodernisme adalah sebuah ‘rezim’ pemikiran. Kemunculannya pasca Perang Dunia II telah menimbulkan kegelisahan serta kekacauan di ranah pemikiran. Perbincangan seputar posmodernisme diawali dengan memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Hubungan antara globalisasi dan posmodernisme berawal dari filsafat konsumen, yang memiliki jargon ‘teknologi yang sudah dikembangkan untuk perang, yang kemudian disesuaikan untuk digunakan oleh para konsumen di waktu damai, pada akhirnya menghasilkan perubahan sosial yang besar’.[15] Dunia maju menyaksikan ledakan teknologi lebih lanjut pasca Perang Dunia II, ketika bangsa-bangsa membangun kembali ekonomi mereka, dan penemuan berkembang. Televisi membawa dunia lebih dekat, dan menciptakan ‘global village’ menurut istilah Marshall McLuhan. Komputer yang tadinya mahal dan besar masuk ke dalam rumah dengan revolusi silikon. Internet-awalnya peralatan militer-menghubungkan manusia lebih cepat terlebih dengan email, yang dapat menjelajah bulatan bumi dalam menit.[16]
Informasi yang membludak, membanjiri segenap sudut dunia mengindikasikan pertukaran ideologi pada tingkat yang masif. Ketika ideologi saling bersaing di pasar, maka posmodernisme meniscayakan informasi menjadi kebutuhan primer. Informasi harus terus tersedia di pasar. Gaya dan ide dari berbagai zaman dan seluruh dunia, dapat diakses dan tampil dalam sup penuh tanda/lambang. Kehidupan menjadi lebih cepat, terdesentralisasi, dengan nilai yang bergeser. Globalisasi menandai awal sebuah babak baru, yang salah satunya diterjemahkan lewat posmodernisme.
Perkembangan teknologi informasi memunculkan sebuah era baru yang menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Bergulirnya era globalisasi menjadikan perbincangan seputar posmodernisme semakin ramai dan mampu menjangkau seluruh dunia. Seperti kata Thomas L. Friedman dalam Lexus dan Pohon Zaitun, ”sistem globalisasi datang pada peradaban umat manusia lebih cepat daripada kemampuan umat manusia itu sendiri melatih diri untuk melihat dan memahaminya”.[17]
Term ‘globalisasi’ memiliki definisinya sendiri. Dalam penelitiannya mengenai “Globalization and Muslim Identity Challenges and Prospects”, Ahmed Ibrahim Abushouk menjelaskan setidaknya terdapat lima definisi ‘globalisasi’, yang saling berkaitan satu sama lain, namun secara substansial, penekanannya berbeda. Kelima definisi tersebut adalah ‘internasionalisasi’, ‘liberalisasi’, universalisasi’, ‘westernisasi’, dan ‘deteritorialisasi’.
Definisi ‘globalisasi’ yang diidentikkan dengan ‘internasionalisasi’ mengasumsikan bahwa globalisasi merupakan hubungan lintas batas negara dalam konteks aliran besar investasi modal dan perdagangan.[18] Namun definisi ini ditentang oleh Jan Art Scholte. Menurutnya, hubungan lintas batas negara sudah terjadi jauh hari sebelum adanya istilah ‘globalisasi’. Dengan demikian, Scholte menganggap definisi ini terlalu berlebihan, serta tidak memberikan arti yang meyakinkan dari terma ‘globalisasi’, atau mengakomodasi seluruh aktivitas global yang tengah berlangsung dalam framework tersebut.[19]
Definisi kedua memandang globalisasi sebagai ‘liberalisasi’, yakni sebuah proses integrasi ekonomi internasional dan pengurangan terhadap batasan-batasan hokum atas pergerakan barang-barang, jasa, uang dan financial instruments. Namun kritik terhadap definisi ini telah menolak identifikasi total antara dua term, yakni ‘globalisasi’ dan ‘liberalisasi’, dengan argumen bahwa proses integrasi ekonomi internasional telah berlangsung atau muncul jauh hari sebelum muncul istilah ‘globalisasi’, khususnya ketika kekuasaan Eropa mengendalikan negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, definisi ‘globalisasi’ yang diasosiakan dengan ‘liberalisasi’ merupakan sebuah simplifikasi; menafikan konsep modern yang melekat pada istilah ‘globalisasi’ dan memberikan sebuah dimensi historis sebelum kemunculan istilah ini pada paruh abad ke-20.[20]
Definisi ketiga menyamakan antara ‘globalisasi’ dan ‘universalisasi’, yang mendefinisikan ‘globalisasi’ sebagai sebuah proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada seluruh orang dari seluruh penjuru dunia. Mereka membawa bukti-bukti terjadinya ‘globalisasi’ untuk menyebarkan kalender internasional, mobil, dan televisi.[21] Namun definisi ini telah dikritik oleh beberapa sarjana, dengan argumentasi bahwa penyebaran agama dan komoditas secara transcontinental atau antar benua merupakan sesuatu hal yang universal, jauh hari sebelum istilah ‘globalisasi’ muncul. Oleh karena itu, istilah ‘universalitas’ atau ‘universalisasi’ yang sudah sejak dulu muncul cukup memadai untuk menggambarkan penyebaran barang-barang dan pengalaman antar benua atau transcontinental, dan term ‘globalisasi’ seharusnya dibatasi pada aktivitas global baru yang muncul pada paruh kedua abad 20, yang mewujud pada kehidupan umat manusia selama ini.[22]
Definisi keempat mengasosiasikan ‘globalisasi’ dengan ‘westernisasi’, dan menampilkan ‘globalisasi’ sebagai faktor dinamis yang memotivasi penyebaran transkontinental (antar benua) dari struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialism, birokrasi, dll), dan menghancurkan budaya masa lalu serta self-determination bangsa-bangsa non Barat.[23] Jejak-jejak globalisasi, yang didukung oleh definisinya, bisa ditemukan dalam penyebaran budaya Hollywood dan restoran fast food McDonald. Kritik terhadap definisi ini, penyebaran nilai-nilai Barat bisa didiskusikan dengan mengatasnamakan kolonialisasi, modernisasi, atau westernisasi. Dalam konteks ini, tidak perlu menciptakan sebuah istilah baru (globalisasi) untuk dihubungkan dengan penyebaran nilai-nilai dan ide-ide Barat di negara-negara Dunia Ketiga.[24]
Definisi kelima diperkenalkan oleh Jan Art Scholte, yang mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah ‘deteritorialisasi’. Relasi-relasi global, merupakan “pertukaran lintas batas negara tanpa jarak”.[25] Beberapa relasi menjadi lebih signifikan, seperti terjadinya peningkatan intensitas komunikasi dan produksi tanpa tergantung kepada batasan-batasan geografis, organisasi lintas batas negara yang tumbuh subur, dan semakin banyak orang yang sadar akan dunia yang makin mengerucut menjadi sebuah kesatuan yang tunggal, yang didorong oleh “kekuatan structural” yakni kapitalisme dan rasionalisme, serta digerakkan oleh “inisiatif para aktor” seperti inovasi-inovasi tekonologi atau keputusan-keputusan seputar regulasi terhadap transformasi (perpindahan), tengah menciptakan sebuah dunia baru. “Hanya sejak 1960-an dunia telah mengglobal secara kontinu, komprehensif, dan terpusat dalam kehidupan yang terdiri dari sejumlah proporsi besar umat manusia”.[26]
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, globalisasi menjadi semacam katalisator bagi penyebaran posmodernisme di seluruh dunia. Beberapa intelektual Muslim Indonesia memandang relasi antara Islam dan posmodernisme lewat kacamata optimisme. Meski Azyumardi Azra mengaku bahwa pemaparannya dalam buku Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme tidak sekadar latah mengikuti arus wacana dari Barat, namun tetap saja, upaya menyeret-nyeret epistemologi Islam dalam kerangka posmodernisme, akan mengacaukan tatanan epistemologi Islam itu sendiri. Hal ini sama saja dengan membuka keran posmodernisme dalam bangunan keilmuan Islam[27].
Dalam tulisannya, Luthfi Assyaukanie mengusulkan, dengan mengadopsi pemikiran Mohammed Arkoun, untuk melakukan semacam pendobrakan epistemologi Islam untuk menerangi seluruh kelemahan di dalam agama ini.[28]
Secara definitif, dengan menggunakan posmodernisme, ditemukan adanya tekanan dari luar agama untuk melakukan perubahan atau reformasi teologis agar ia dapat menjadi terbuka, lebih progresif, dan lebih desentralistis.[29]
[1] Cathal J. Nolan, The Greenwood Encyclopedia of International Relations, (Westport : Greenwood Publishing Group, 2002), Volume 4, hal. 1841
[2] J. Frankel, Hubungan Internasional, alih bahasa Laila. H. Hasyim, (Jakarta : ANS Sungguh Bersaudara, 1980), hal. 11-12.
[3] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (London : Touchstone Books : 1996), hal. 33-34.
[4] Ibid., hal. 53.
[5] Jack C. Plano and Roy Olto, The International Relation Dictionary, (USA : Halt Richart and Winstone Inc, 1969)
[6] Ibid.,
[7] Keputusan Jerman untuk melanjutkan kembali penggunaan tapal batas kapal selam perang pada Januari 1917 membawa Amerika Serikat membawa Amerika Serikat masuk ke dalam Perang Dunia I, namun Amerika Serikat sudah bersiap untuk perang setahun sebelumnya, dan serangan kapal selam tak lebih hanya pemicu terakhir. Serangan Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 sama mengejutkannya dengan peristiwa 11 September, namun Amerika Serikat dan Jepang sudah berbenturan sebelumnya, dan serangan ini malah memfasilitasi upaya Presiden Franklin Roosevelt untuk memasuki perang. Uji bom Uni Soviet pada tahun 1949 dan invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan pada tahun 1950 secara bersamaan memicu pengerahan tentara Amerika Serikat, namun rancangan dasar pencegahan perluasan kekuatan politik musuh sudah berjalan ketika Perang Korea pecah, dan reaksi Amerika Serikat tidak melibatkan sebuah kebijakan yang berubah 180 derajat. Peristiwa yang paling bisa dibandingkan adalah reaksi Amerika Serikat atas jatuhnya Prancis pada tahun 1940, yang membalikkan arus isolasionisme dan mengawali gerakan untuk masuk ke dalam Perang Dunia II. Lihat Stephen M. Walt, “Setelah bin Ladin : Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerka Serikat”, dalam Zaim Rofiqi (ed.), Amerika dan Dunia : Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, alih bahasa Yusi A. Pareanom dan A. Zaim Rofiqi, diterbitkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, Agustus 2005 di Jakarta, hal. 365.
[8] Ibid., hal. 366.
[9] Ibid., hal. 378.
[10] Perdamaian, kemakmuran, dan kebebasan adalah prinsip-prinsp fundamental yang membentuk kebijakan luar negeri yang unik dikenal dengan nama ‘internasionalisme’. Berdasarkan penjelasan dalam jurnal Internasionalisme Amerika : Agenda Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang diterbitkan oleh Biro Program Informasi Internasional dari Departemen Luar Negeri A.S., Amerika Serikat memiliki tradisi yang panjang dalam bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar dan demi kemajuan nilai-nilai ideal seperti kebebasan berbicara, hak memilih, kebebasan beragama dan pers bebas, yang seringkali menantang kekuasaan para diktator dan pendukung ideologis tertentu. Tidak seperti pemimpin-pemimpin dari masyarakat yang belum bebas, kami percaya bahwa kebebasan ekonomi dan politik, hak asasi manusia, dan kesempatan bukanlah keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh kaum elite kepada siapa saja yang mereka inginkan, melainkan hak bagi setiap laki-laki dan perempuan yang harus dilindungi dan disebarkan.
[11] Kim R. Holmes, Pendahuluan, “Internasionalisme Amerika : Memajukan Kebebasan Demokrasi dan Pembangunan”, Jurnal Agenda Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, Biro Informasi Internasional Departemen Luar Negeri A.S.
[12] Menurut Kim R. Holmes, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Organisasi Internasional, nilai-nilai Amerika saat ini merupakan gaung dari nilai-nilai yang dianut yang menyemangati tekad Amerika Serikat untuk memenangkan Perang Dunia II dan dedikasinya untuk membangun kembali bangsa-bangsa yang tercabik-cabik oleh peperangan. Nilai-nilai ini juga membimbing Amerika Serikat selama Perang Dingin. Dan kini, pasca Tragedi 11 September, nilai-nilai ini diselaraskan dengan kondisi dalam negeri Amerika Serikat yang mendapat ancaman dari teroris. Ibid.,
[13] Paula J. Dobriansky, “Internasionalisme Amerika : Memajukan Kebebasan, Demokrasi, dan Pembangunan”, Ibid.,
[14] Fisher dan Abedi memandang bahwa dunia posmodernisme banyak diwakili dan didominasi Amerika Serikat, meskipun generasi awal pemikir posmodernisme muncul di Prancis. Posmodernisme afirmatif merupakan posmodernisme yang pro-demokrasi. Kemunculannya dipelopori oleh konsep demokrasi langsung (non representative) karena posmodernisme jenis ini mendukung penentuan diri sendiri dan kebebasan politik. Penjelasan selengkapnya lihat Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Posmodernisme”, dalam Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 94.
[15] Kevin O’Donnell, Posmodernisme, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2009), hal. 18.
[16] Ibid.,
[17] Thomas L. Friedman, Lexus dan Pohon Zaitun : Memahami Globalisasi, (Bandung : Penerbit ITB, 2002), hal. 14. Friedman adalah kolumnis harian The New York Times yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Buku-buku yang ditulisnya sangat berpengaruh dalam kajian globalisasi. Beragam artikel serta opini yang ditulis Friedman berhasil mengubah bahkan membentuk kebijakan negara-negara Barat serta opini dunia.
[18] Paul Hirst dan Grahame Thompson, “Globalization : Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers,” jurnal Soundings, Vol. 4, Autumn 1996, hal. 48.
[19] Jan Aart Scholte, Globalization : A Critical Introduction (New York : Palgrave, 2000), hal. 15.
[20] Ahmed Ibrahim Abushouk, “Globalization and Muslim Identity Challenges and Prospects”, Jurnal The Muslim World, Volume 96 – Number 3, Juli 2006, hal. 487-488.
[21] Jan Aart Scholte, Globalization : A Critical Introduction (New York : Palgrave, 2000), hal. 15.
[22] Ahmed Ibrahim Abushouk, “Globalization andMuslim Identity Challenges and Prospects”, Jurnal The Muslim World, Volume 96 – Number 3, Juli 2006, hal. 488.
[23] T. Spybey, Globalization and World Society,(Cambridge : Polity Press, 1996), hal.6.
[24] Martin Khor, “Globalization : Implications for Development Theory”, jurnal Third World Resurgence, No.74, Oktober 1996, hal.15-21.
[25] Jan Art Scholte, Globalization : A Critical Introduction, (New York : Palgrave, 2000), hal.49.
[26] Ibid., hal.87.
[27] Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 91. Untuk selanjutnya ditulis Azyumardi Azra, Pergerakan Politik Islam.
[28] Luthfi Assyaukanie, “Islam dalam Konteks Pemikiran Postmodernisme”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, 1994, hal. 23-25.
[29] Andang Binawan, “Posmodernisme dan Agama yang Membumi”, dalam Suyoto, Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, hal. 126.