Memanfaatkan kunjungannya ke Jawa Timur, Dr. Adian Husaini mampir ke kantor InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya untuk sebuah pertemuan terbatas. Peneliti INSISTS Jakarta itu bertemu sejumlah staf dan peneliti InPAS plus beberapa dosen dari Surabaya, Malang dan Pamekasan, pada Senin 14/5/2012.
Pada kesempatan itu dia mengupas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Menurut Adian, ada dua kejadian yang menarik untuk dicermati. Yaitu peristiwa penyerbuan terhadap kelompok Syi’ah di Sampang Madura dan peristiwa penolakan terhadap tokoh lesbian, Irshad Manji.
Kasus penyerbuan terhadap Syi’ah di Sampang menjadi peristiwa yang mengagetkan semua pengamat, jelas pria asal Bojonegoro ini. Sebab selama ini selalu diasumsikan bahwa penyebaran Syi’ah sangat efektif di kalangan Nahdliyin. Strategi Syi’ah selama ini menurut pengamat adalah menggandeng tokoh-tokoh NU untuk menghalau Wahabi. Tetapi peristiwa di Sampang menunjukkan bahwa tokoh utama penolakan terhadap Syi’ah adalah para kiai dari kalangan Nahdliyin.
Menariknya pula, tokoh yang diserang –Tajul Muluk–, justru yang dipidanakan. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah yang selalu memidanakan para penyerangnya. Ini jelas menunjukkan bagaimana umat Islam sudah mulai peka terhadap aliran-aliran yang menyimpang dan cara menyikapinya. Mencuatnya kasus Syi’ah di Sampang ini menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam di Indonesia, tegas penulis rubrik CAP (Catatan Akhir Pekan) di www.hidayatullah.com ini.
Kasus lain yang juga menarik diperhatikan, jelas Adian, adalah penolakan masyarakat terhadap Irshad Manji, tokoh lesbian dari Kanada. Tidak ada satupun tokoh umat Islam yang nampak memerintahkan pembubaran diskusi dan peluncuran buku Irshad Manji tersebut di Salihara Pasar Minggu Jakarta. “Anehnya, siapa yang menggerakkan massa untuk mengepung gedung Salihara tersebut? Kenapa Polisi juga meminta pembubaran acara tersebut?” Demikian, dosen Pascasarjana UIKA Bogor ini mencatat.
Adian menyatakan bahwa dia tidak sepakat dengan cara pembubaran seperti itu. Tapi, lagi-lagi, kejadian tersebut tidak pernah terduga sebelumnya. Baru-baru ini saja umat Islam protes terhadap kedatangan Irshad Manji. Padahal ketika buku pertamanya terbit dalam edisi bahasa Indonesia di tahun 2008, dia juga datang ke Indonesia. Tapi anehnya, jelas Adian, pada waktu itu tidak seheboh dan segempar sekarang meskipun Adian dan beberapa orang sudah mengkritiknya terkait lesbianisme dan penghinaan Manji terhadap Nabi. “Ada apa ini? Yang jelas, umat Islam dewasa ini ternyata sudah kritis dan tidak bisa lagi diperdaya dengan kesesatan yang dibungkus dengan embel-embel ilmiah,” tegas Adian.
Secara logika, memang wajar umat Islam memprotes kehadiran Irshad Manji di negeri ini. Hal itu terjadi karena para pengundang Irshad Manji dan kaum liberal di Indonesia seakan tidak peduli dengan perasaan umat Islam dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Mereka begitu mudahnya menokohkan wanita lesbian seperti Irshad Manji, yang dengan entengnya melecehkan Nabi Muhammad saw dan Al-Quran. Mereka mungkin sudah tahu bahwa umat Islam akan marah jika Nabi Muhammad saw dihina. Mereka akan senang melihat umat Islam bangkit rasa marahnya. Jika umat Islam marah, mereka akan tertawa sambil menuding bahwa umat Islam belum dewasa, umat Islam emosional, dan sebagainya.
Dalam uraian penutupnya, Adian Husaini mengingatkan bahwa munculnya kesadaran umat Islam atas tantangan akidahnya tidak lain berkat hidayah Allah SWT. Mustahil, umat akan bergerak tanpa pertolongan hidayah-Nya.
Menutup pertemuan, Adian mengingatkan bahwa penting untuk selalu dihidup-hidupkan semangat tentang peran kalangan terpelajar untuk selalu menjadi mediator yang bisa membangkitkan dan menyadarkan umat terhadap tantangan akidah mereka. (mm)