Inpasonline.com, 07/11/11
“Mengislamkan peradaban lain tidak perlu dengan peperangan. Oleh sebab itu, ketika Islam masuk ke Damaskus, tidak terjadi peperangan, yang terjadi justru orang Kristen menyambut baik kedatangan pasukan Islam karena mereka bosan dengan penindasan Romawi,” tutur Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, Direktur ISID Gontor dalam acara Kajian Spesial Jama’ah Nuruzzaman bertajuk “Tantangan Peradaban Islam”, pada hari Kamis, 3 November 2011. Bertempat di ruang utama Masjid Nuruzzaman Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, acara ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa UNAIR. Meski sedang dalam suasana hadapi Ujian Tengah Semester (UTS), namun semangat para mahasiswa menghadiri majelis ilmu patut mendapatkan apresiasi.
Dimoderatori langsung oleh Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam Universitas Airlangga (UKMKI UNAIR), Asset At-Taqwa, acara yang berlangsung pada pukul 19.30 ini terasa menggigit. Hamid Fahmy menekankan, bahwa memenangkan peradaban Islam tidak harus selalu dengan peperangan. “Kalau kita bicara peradaban Islam, kita ingat ketika Nabi menulis surat kepada raja-raja. Ketika itu Nabi mengutus Dihyah al-Kalabi kepada Heraclius Raja Romawi. Surat Nabi seperti tidak digubris oleh Heraclius. Lalu Nabi berkata, “saya akan memerangi Romawi dari dalam rumah saya”. Ini diplomatis dan mungkin banyak yang tidak paham. Ternyata apa yang dinyatakan oleh Nabi tadi adalah sebuah strategi peradaban, artinya mengislamkan peradaban lain tidak perlu dengan peperangan,”” imbuhnya. sehingga ketika orang Islam memasuki Damaskus Syria, orang Kristen Syria tidak terjadi peperangan. Yang terjadi justru orang Kristen respek atas kehadiran orang Islam karena mereka bosan dengan penindasan Romawi.
Kemudian Hamid menjelaskan, bahwa dalam situasi ketika Persia dan Romawi bergitu berjaya, Islam seperti “melamun” menempuh perjalanan sejarahnya. “lamunan” Islam itu kurang lebih seperti ini : apakah mampu seorang Nabi dari padang pasir menjadi penantang dua peradaban besar itu. Dan terbukti bisa. “Lamunan” ini sama dengan orang-orang Islam sekarang yang pada umumnya miskin, ingin mengalahkan peradaban Barat yang sudah sangat dominan. Dan kelak pasti peradaban Islam akan menjadi peradaban yang dominan di muka bumi.
“Yang terpenting adalah, pertama, kita harus mulai dari sebuah keyakinan bahwa kita mampu kalahkan peradaban yang kuat itu (Barat, red) dari masjid UNAIR. Oleh sebab itu, kita harus merancang strategi bagaimana kita bisa bangkit. Kita harus memahami hal-hal yang terkait dengan peradaban Islam. Harus terus dalam kesadaran. Kita harus paham bagaimana peradaban Islam itu bangun dan bagaimana jatuh. Kedua, kita harus paham kondisi kita sekarang ini sebenarnya bagaimana,” tegas Hamid.
Terdapat asumsi yang jamak di masyarakat bahwa umat Islam mundur dan Barat maju. Asumsi yang seperti ini sudah selayaknya dihilangkan sebab kriteria dan definisi maju dan mundur itu sudah salah. “Kita tidak mundur seperti orang Barat mundur dan kalau kita maju tidak seperti majunya orang Barat. Makannya, kalau kita ingin maju, harus seperti Barat, logikanya salah,” jelas Hamid.
Kita bisa melihat tren yang terjadi sekarang di negara Swiss, negara yg income perkapitanya tertinggi di dunia. Income perkapita yang tinggi ini ternyata juga diikuti dengan tingginya income bunuh diri warganya yang juga tertinggi di dunia.
Begitu juga dengan Jepang dan Korea. Tingginya income perkapita negaranya berbanding lurus dengan income bunuh diri warganya karena begitu tingginya kompetisi di kedua negara tersebut. Peradaban macam apa itu? Dalam sejarah Islam, peradaban diwarnai dengan ilmu pengetahuan. Di Cordova ada perpustakaan sekurang-kurangnya 50-70 buah. Para pengunjung perpustakaan di Cordova tidak sekadar membaca saja, namun mengembangkan ilmu yang terdapat dalam buku-buku tersebut lewat jalur penelitian.
Ketika orang-orang Kristen mengusir orang-orang Islam dari Spanyol, mereka membakar buku-buku karangan para ulama. Sisanya yang tidak terbakar diterjemahkan dalam bahasa Latin dan itulah yang kemudian menjadi kontribusi terhadap terjadinya Revolusi Industri. Buku-buku karangan para ulama itu ternyata banyak yang bersifat scientific. Yang kita tahu dari deretan ilmuwan Muslim hanya ilmuwan filsafat, padahal mereka hanya sebagian kecil saja dari ilmuwan Muslim, sedangkan banyak sekali tulisan para ulama yang diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan menghilangkan nama penulisnya; seperti Copernicus yang ternyata banyak mengutip bukunya pakar Astronomi Ibnu Syatir tanpa mengutip nama Ibnu Syatir. Jadi Copernicus hanya menjadi plagiat saja.
“Tradisi menulis dan menerjemahkan orang-orang Islam luar biasa. Seorang ulama di Baghdad mempunyai 400 ribu judul buku, lebih dari koleksi buku satu fakultas pada masa sekarang; sehingga jika ulama dipindahtugaskan, yang paling berat adalah memindahkan koleksi bukunya, butuh lebih dari 100 unta untuk mengangkutnya. Raja Prancis hanya punya 400 judul buku, tidak ada apa-apanya dengan koleksi buku para ulama,” tutur Hamid.
Banyak orang berpikir bahwa umat Islam hanya bisa bernostalgia saja dengan sejarahnya. Namun Hamid menegaskan, bahwa memikirkan kembali kejayaan masa lalu bukanlah sekadar nostalgia saja. Yang terpenting dari semua pemahaman sejarah Islam adalah munculnya historical consciousness, kesadaran sejarah ini penting kita masukkan dalam diri kita untuk merekonstruksi sejarah ini dalam konteks kekinian. Sumber pemahaman Islam adalah al-Qur’an, kitab suci yang kaya dengan seminal konsep, yakni konsep yg belum menjadi scientific. “Al-Qur’an masih berupa jalinan makna-makna yang kalau dirajut bisa menjadi sains. Oleh karena itulah, maka banyak sekali kata ‘yatafakkaru’ (berpikir, red) dan semacamnya dalam al-Qur’an yang maknanya kita diperintahkan untuk berpikir,” jelas Hamid.
Yang terjadi di zaman dulu saat peradaban Islam menerangi dunia, pengajian tidak dikemas biasa-biasa saja, tapi betul-betul dikemas menjadi majelis untuk mencari ilmu. Inilah yang pada masa sekarang kurang direalisasikan. “Mestinya yang seperti sekarang ini (kajian spesial jama’ah Nuruzzaman, red), nilai dan kepentingannya sama intensifnya dengan ilmu yang Anda peroleh di perkuliahan (universitas, red). Inilah yang menyebabkan dikotomi pendidikan dalam Islam sehingga kalau sudah formal, seolah-olah yang informal tidak penting. Meskipun Anda tidak punya background pendidikan agama, pahamilah Islam dengan sebaik-baiknya dan seintensif mungkin sehingga bisa menjadi bekal pribadi,” kata Hamid memotivasi para mahasiswa agar serius belajar agama dan tidak menjadikannya hanya sebagai sambilan.
Beberapa tesis yang Hamid kemukakan mengapa peradaban Islam mundur adalah pertama, karena takdir. Ada satu peristiwa alam yang tidak bisa umat Islam hindarkan. Ketika orang Islam itu jaya dan ketika orang Islam mulai diserang habis oleh pasukan Mongol, umat Islam menghadapi peperangan yang luar biasa dahsyat. “Alloh juga yang mengutus Hulagu Khan, dan itu tidak diluar kekuasaan Alloh. Ini takdir yang tidak bisa kita hindari, berhadapan dengan orang Asia Tengah yang isinya merusak. Pendidikan praktis tidak berjalan karena ulama takut dibunuh sehingga lari dari masjid,” ungkap Hamid.
Kedua, faktor alam, yakni krisis pangan karena rusaknya pertanian, adanya wabah penyakit sehingga banyak orang Islam meninggal dunia. Itu tahun-tahun dimana peradaban Islam sudah kehilangan Bahgdad, tahun 1250 Masehi. Orang Islam sudah kolaps.
Ketiga, Secara eksternal, pendukung jatuhnya peradaban Islam adalah perang salib. Tahun 900-an akhir sampai 1200-an, orang Islam dilelahkan dengan Perang Salib. Padahal, ketika Umar bin Khattab menaklukkan Palestina dengan damai, orang-orang Kristen bersyukur ada juru damai dari orang Islam di bawah Umar bin Khattab. “Orang Kristen ini ga mau ditinggal sama Umar. Akhirnya mereka bangun masjid di depan gereja. Juru damai Islam menjaga kedamaian diantara orang-orang Kristen. Saya curiga orang-orang Yahudi mengadu domba Islam dan Kristen sehingga terjadi Perang Salib berkepanjangan,” jelas Hamid.
Peradaban Islam mengalami suka dan duka. Saat peradaban Islam tengah berduka, mulai dari situlah peradaban Barat muncul pada abad ke-16. Mereka mengepakkan sayap di bidang perdagangan. Di abad ke-19, Eropa Barat penduduknya makin bertambah secara signifikan. “Ciri-ciri peradaban menuju kemajuan adalah jumlah penduduknya naik. Sekarang ini peradaban Barat mulai mundur, karena jumlah penduduk Eropa terus berkurang akibat maraknya homoseksualisme, lesbianisme, tidak mau nikah, sementara orang Islam makin banyak.
Saat peradaban Islam mengalami sandyakalaning (tenggelam, red), pergantian khalifah di Baghdad seringkali disertai dengan pertumpahan darah. Di Baghdad bahkan ada menteri yang khusus mengurusi pengadaan minuman keras. Ahli sejarah Ibnu Khaldun meramalkan, bahwa ketika akhlak penguasa rusak, tidak adil, masyarakat rusak, itu pertanda jatuhnya sebuah peradaban.
“Kemudian, apa yg harus kita lakukan? Banyak masalah yang harus diatasi bersama karena kita berhadapan dengan satu peradaban yang tidak mudah ditaklukkan yang membawa angin puting beliung Westernisasi, sekularisasi, yang masuk dalam pemikiran kita tanpa kita sadari. Kini orang bangga menjadi liberal, humanis, sekuler. Mulut orang Islam sendiri sudah berbunyi : daripada Anda menjadi religius, lebih baik Anda menjadi moralis. Morality hanya human convention, kesepakatan manusia. Agamanya Barat sekarang ini adalah agama humanisme,” kata Hamid.
Harus ada strategi dalam tradisi pengkajian ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya formal tapi juga informal. Ada target, dan segala sesuatunya dimanage secara profesional.
“Kemampuan manusia tidak akan kurang untuk menyerap ilmu pengetahuan Alloh. Interestnya seseorang itu terletak pada kesukaannya pada hal-hal yang informal seperti kajian-kajian. Tradisi ini akan memunculkan komunitas . Lalu jika ‘ide’ dalam komunitas ini terus berkembang maka akan muncul sistem. Tinggal bagaimana mengembangkan dan mempertahankan kontinuitas tesebut dalam lembaga-lembaga formal,” jelas Hamid tentang bagaimana memanage pengkajian ilmu Islam yang cenderung informal tapi bisa menjadiforum yang otoritatif bila dimanage dengan baik.
“Butuh orang-orang yang konsen terhadap pengkajian ‘konsep Islam’. Bagaimana semua ‘amal’ bermuara pada peningkatan spiritual / memantapkan tauhid. Ketika lupa pada agama dan terlalu banyak memikirkan dunia, inilah sebab peradaban Islam ini mundur. Niat untuk belajar islam itu dinaikkan. Al-Ghazli menyatakan bahwa ilmu itu ada yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu agama itu FARDHU ‘AIN. Jadi harus dipelajari secara intensif dan serius.
Sebagai akademisi yang sehari-hari bergelut dengan ilmu fardhu kifayah dalam sebuah institusi formal, yang perlu Anda pelajari adalah ilmu Islam yang ada kaitan dengan fakultas yang anda masuki. Kalau lebih dari itu, lebih baik. Pelajari BAHASA ARAB sebab terminologi agama semua dari bahasa Arab. Al-Qur’an juga memakai bahasa Arab. Susah? Ya semua memang butuh proses,” tegas Hamid.
Hamid memotivasi mahasiswa UNAIR agar melakukan integrasi antara konsep Islam dan konsep Barat, dengan terlebih dahulu melakukan rekonstruksi dan dewesternisasi.
“Kata Muhammad Iqbal, kita sebagai seorang Muslim, menelan cakrawala, bukan ditelan cakrawala. Wacana kita sebagai Muslim lebih banyak dari wacana sejagad sekalipun. Kita punya Al-Qur’an,” imbuh Hamid. (Kartika Pemilia)