Dia mengajak umat Islam untuk memperkuat basis (ilmu) keagamaannya. Lemahnya basis ilmu keagamaan umat Islam, khususnya di kalangan cendekiawan muslim, disinyalir menjadikan kaum Muslim sebagai sekadar imitator atau epigon Barat. Namun dalam pandangan saya, sesungguhnya dalam kenyataannya, sebaliknyalah yang terjadi. Kita melihat, tak sedikit orang yang kuat basis ilmu agamanya, yang lahir dari pesantren, malah menjadi corong propaganda Barat. Selain banyak mengkritik ayat-ayat Quran dan hadits Nabi, para cendekiawan agama ini juga ikut-ikutan Barat, menjelek-jelekkan agama Islam dan budaya bangsa Indonesia.
Tak sedikit nama besar tokoh liberalis Indonesia adalah lulusan pesantren. Jadi, pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah ini persoalan basis keilmuan agama? Artinya yang basis agamanya kurang akan mudah menjadi liberal dan sekuler; yang basis agamanya kuat akan membela Islam? Jangan-jangan bukan. Boleh jadi, persoalannya adalah uang. Barat menggelontorkan begitu banyak dana untuk membaratkan, meliberalkan, dan mensekularkan negara-negara Islam. Bisa jadi, persoalan para cendekiawan muda Indonesia yang kemudian menjadi corong Barat itu adalah sekadar ketergodaan mereka atas gelontoran dana?
Saya sendiri dilahirkan di tengah keluarga abangan, di pusat kota Surabaya. Di tahun 60an itu, setiap rumah di Jalan Melati Surabaya (tepat di belakang Grand City) dihuni oleh etnis atau bangsa yang berbeda: Jawa, Batak, Ambon, Manado, Madura, China, Belanda. Tetangga kami yang orang Batak biasa menyembelih dan memasak babi, tetangga yang lain suka berpesta dansa. Masjid jauh dari rumah kami, sehingga kehidupan beragama-pun (Islam) tidak berjalan lancar. Toh, bagi saya, kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang plural dan oleh sebab itu mesti toleran, sudah mendarah daging. Setelah bersekolah, kami juga tahu bahwa unity in diversity (of multiethnicities) itu sudah menjadi falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika.
Jadi, justru orang-orang seperti kami (yang basis ilmu agamanya mungkin kurang dibanding para tokoh liberal Indonesia sekarang) sudah tidak mempan dicekoki paham pluralisme atau sekularisme yang baru didengung-dengungkan di era Reformasi ini. Sepanjang pengalaman saya 51 tahun hidup sebagai warga Indonesia, pluralitas/multietnisitas sudah inherent (tertanam) dalam kehidupan berbangsa dan tidak pernah menjadi masalah. Ini bukan barang baru. Persoalan Indonesia –yang sudah plural dari sononya- adalah bagaimana bersikap toleran dan menjaga harmoni. Falsafah ini dirusak oleh slogan freedom of speech alias kita boleh ngomong apa saja (termasuk yang menyakiti perasaan orang lain, sejauh itu bukan kekerasan fisik). Prinsip inilah yang justru membuat kerukunan bangsa menjadi kacau balau.
Padahal, persoalan Barat, khususnya Amerika, adalah bagaimana menerima pluralitas dan multietnisitas –mengingat sejarah kelahiran Amerika yang amat primordial dan chauvinistic. Mereka bersusah payah belajar/beradaptasi hidup dalam kultur multietnis. Bayangkan, berangkat dari berbagai bangsa yang sudah ‘jadi’ –Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, dan lain-lain- kemudian mereka harus mulai dari nol secara bersama-sama untuk membangun negara/bangsa baru. Itu bukan hal yang mudah. Dalam perjalanan membangun bangsa bernama Amerika itu mereka bahkan membantai suku asli (Indian) dan memperbudak suku-suku Afrika. Sampai sekarangpun, proses adaptasi mereka menjadi bhineka tunggal ika atau unity in diversity belum berhasil (bahkan ketika pemerintahnya memberlakukan affirmative action, yang member privilege bagi kaum minoritas).
Lalu, mengapa persoalan orang Amerika ini –untuk menerima kondisi pluralistis- dibawa-bawa menjadi persoalan kita? Sejarah bangsa kita berbeda, filosofi hidupnyapun berbeda pula. Sekali lagi, dalam pandangan saya, persoalan bangsa Indonesia bukan penerimaan kondisi multietnisitas, melainkan bagaimana menjaga harmoni dan toleransi. Kita sering dibentur-benturkan dengan berbagai paham Barat. Bagaimana aturan agama bisa bertentangan dengan HAM, misalnya, atau bagaimana Islam bisa liberal, mengapa keserasian hubungan dan peran lelaki-perempuan diubah menjadi kesamaan di segala sektor kehidupan?
Sayang sekali, buku Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi masih terpateri pada pengunggulan Islam dan kritik terhadap Barat, sehingga lupa bahwa tak sedikit perilaku umat Islam yang belum baik, sebagaimana tak sedikit pula hal-hal yang diterapkan di Barat itu sudah ‘islami’. Misalnya, pedagang yang tidak menipu, kepatuhan pada janji (tidak terlambat), hormat dan kesopanan. Selama saya hidup di negara Barat (di AS dan Inggris), nilai-nilai Islami itu saya temukan. Sebaliknya, selama hidup di tengah masyarakat Islam Indonesia, saya sering ditipu pedagang, melihat keterlambatan di berbagai acara, dan kurangnya rasa hormat antarsesama warga Negara.
Saya kira, justru kelemahan inilah yang menjadi tantangan utama kita. Sebelum “berperang” melawan paham-paham yang diimpor dari Barat, kita mesti menegakkan lebih dulu segala keunggulan Islam dalam kehidupan nyata sehari-hari. []