Istilah ini sekarang dipopulerkan dengan istilah modernisasi agama. Jika ditelaah, isu ini adalah penyalahpaman konsep Islam melalui kampanye istilah baru. Padahal kampanye ini sama saja dengan proyek westernisasi worldview Barat melalui pemikiran cendekiawan muslim.
Mohammed Arkoun, pemikir liberal asal Aljazair contohnya, menganjurkan agar agama-agama disekularkan, mencontoh tradisi Kristen. Asumsi dasarnya, agama-agama di dunia – termasuk Islam – adalah produk historis yang dalam istilah Arkoun, social imaginaire. Ketika zaman berubah, maka doktrin lama tidak diperlukan lagi dan harus dimodernisasi.
Padahal istilah pembaharuan dalam tradisi Islam disebut konsep tajdid yang secara konseptual tidak sama dengan gerakan modernisasi agama Islam. Konsep-konsep dalam Islam tidak memerlukan modernisasi dalam arti liberalisasi. Yang diperlukan sekarang adalah penggalian kembali konsep-konsep dalam Islam yang telah terkaburkan. Antara tajdid dan modernisasi agama berbeda secara etimologis maupun konseptual. Perbedaan ini dapat pula ditelusuri dari historisitas lahirnya istilah tersebut.
Modernisasi Agama
Istilah modernisme dalam agama baru dikenal pada abad 19 M di Eropa. Term ini dinisbatkan kepada gerakan protes Gereja Katolik Roma terhadap otoritas Gereja konservatif. Gerakan yang berupa protes ini juga dipakai untuk gerakan liberalisme dalam Kristen Protestan. Sebelumnya, gerakan liberalisasi agama lebih dahulu dipelopori oleh Yahudi. Hanya saja, Yahudi pada waktu itu tidak menamakan gerakannya dengan istilah modernisme. Istilah ini dikenalkan oleh Kristen reformis.
Jadi, pada saat itu, istilah liberalisasi dikenalkan lebih dahulu oleh Yahudi, Sedangkan modernisasi dipopulerkan oleh Kristen. Meski begitu, motif gerakan keduanya sama, yakni merelevansikan agama dengan sains dan filsafat agar senafas dengan zaman yang baru. Maka, pada gerakan selanjutnya, modernisasi adalah istilah lain dari liberalisasi agama.
Dalam Encyclopedia Americana (1972) V.19, modernisasi agama diartikan sebagai pemikiran agama yang berangkat dari keyakinan bahwa kemajuan-kemajuan sains dan kebudayaan modern menuntut adanya reinterpretasi terhadap ajaran agama klasik sesuai pemikiran filsafat. Dengan demikian, doktrin utama modernisasi adalah, meletakkan teks wahyu di bawah sains, Teks agama harus ditafsir ulang agar sesuai dengan zaman. Pemikiran ini tidak lain mereduksi agama, dan membuat ajaran yang baru.
Meski embrionya telah lama lahir, namun liberalisasi agama sebagai gerakan sosial dan masif telah diawali oleh Yahudi. Istilah liberal Judaism (Yahudi Liberal) muncul pada akhir abad 18 M dipelopori oleh Moses Mende Isshon. Mende berjuang menjembatani antara ilmu agama Yahudi dengan sains. Namun, ia gagal. Bukannya membangun jembatan, akan tetapi justru membongkar ajaran agama. Mende ngotot dengan ambisinya, menyesuaikan agama dengan budaya modern. Kelompok Mende kemudian menjadi sekte sendiri, bernama Liberal Judaism. Hingga saat ini ada tiga sekte besar Yahudi; Yahudi Ortodoks, Konservatif dan Yahudi Liberal.
Gerakan Mende ini di Jerman menyatakan diri sebagai gerakan pembaharuan agama. Salah satu contoh pembaharuannya adalah menjadikan nyanyian agama dan alat musik sebagai media ibadah agar menarik para pemuda. Ide Mende tidak terlalu meluas pengaruhnya. Pembaharuan menjadi semakin masif setelah digawangi Abraham Geiger. Ia adalah tokoh yang paling memiliki andil besar dalam liberalisasi agama Yahudi.
Geiger melakukan pembaharuan konsep wahyu agama Yahudi. Dialah pelopor pertama gerakan desakralisasi kitab suci. Menurutnya, “Penyampaian wahyu itu pasti dipengaruhi oleh sifat-sifat manusiawi Nabi”. Ia berkesimpulan, apa yang termaktub dalam kitab suci adalah hasil kerja sama antara ajaran Tuhan dengan manusia, antara hakikat Tuhan dan nalar manusia. Taurat bagi dia belum mencakup hikmah ke-Tuhanan secara komprehensif.
Konsep agama juga ia gugat. Menurutnya, inti ajaran Yahudi bukan yang tampak dalam bentuk-bentuk dan konstruksinya, bahkan bukan pula pada syari’atnya. Akan tetapi tampak pada moralitasnya. Ini mirip dengan konsep Fritjof Schuon, tokoh pluralisme beraliran Transendent Untiy of Religion, yang memilah agama antara wilayah esoterik dan eksoterik. Eksoterik adalah bentuk-bentuk agama bersama syari’atnya. Wilayah esoterik adalah zona transendental dimana Tuhan semua agama bertemu di zona ini. Maka, esensi agama-agama itu bukan pada penjelmaan eksoterik, tapi pada esoterik.
Sedangkan dalam Kristen, gerakan pembaharuan mulanya bernama gerakan Reformasi Gereja. Akan tetapi pada 1907 Paus Paulus X dalam selebarannya menyebut gerakan ini dengan modernisme. Isu penting yang diwacanakan dalam gerakan reformasi Kristen adalah penggunaan metode kritis historis untuk kajian Bibel. Gugatannya adalah mempertanyakan apakah kitab suci Bibel itu diwahyukan dari Allah atau produk manusia. Ide ini yang kemudian diadopsi oleh tokoh liberal Arab, Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun.
Bibel menjadi sektor utama bahan kritikan. Losy, seorang teolog Kristen, dalam Evangeles Sypnotiques terang-terangan mengatakan bahwa Injil memuat beberapa cerita-cerita khurafat. Segala yang ghaib dan supranatural dalam Bibel oleh Loisy disebut khurafat. Ia mengatakan: “Cerita klasik seperti ini pasti dibuat di luar Palestina. Di negeri yang jauh dari tempat lahirnya Isa dan jauh dari pengetahuan tentang kebenaran liku-liku hidupnya. Ia yakin bahwa Isa dilahirkan oleh seorang ibu dan ayah selayaknya manusia-manusia lain. Dan ayahnya Yusuf seorang tukang kayu. Begitu juga proses kematian Isa diliputi oleh berbagai keraguan. Menurutnya, Isa dibunuh oleh soerang Yahudi, ia memotong tubuhnya dan membuangnya ke saluran air, tetapi murid-muridnya tidak mempercayai…” (Mafhum Tajdiduddin, Busthami Said).
George Tyreel juga memiliki pendapat senada. “Wahyu adalah manifestasi pribadi Tuhan dalam kehidupan bathiniyah kita. Kata wahyu menunjuk kepada pengalaman keagamaan. Wahyu adalah fenomena abad yang ada pada setiap orang yang beragama, dan tidak terputus selamanya” katanya. Ciri khas gerakan modernisasi, selain menggugat wahyu juga menolak otoritas pemuka gereja. Modernisme menganggap gereja bukan lembaga yang didirikan oleh Isa tapi pendiriannya sebagai respon historis bagi kebutuhan umat. Di Inggris tersebar keyakinan bahwa gereja bukan lembaga yang bebas dari kesalahan, ajarannya tidak bersifat tetap.
Agus Spetch, Guru Besar Teologi Protestan di Unviersitas Paris, menjelaskan arti pembaharuan agama; “Yang dimaksud konsep pembaharuan agama ialah bahwa pengetahuan agama harus mengikuti perubahan kehidupan dan pemikiran manusia. Bentuk-bentuk yang tidak dapat menerima perubahan menggambarkan kematian dan kemandulan yang akan segera ditinggalkan orang”.
Gerakan pembaharuan Kristen di Eropa membuahkan institusi-institusi yang keluar dari tradisi Gereja ortodoks. Pada tahun 1898 berdiri The Modern Churcmen Union, yaitu wadah bagi kaum modernis. Semboyan yang dipakai bernada protes dan kecewa; “Demi kemajuan pemikiran religius yang bebas”. Untuk menyebarkan ide-idenya, mereka menerbitkan majalah Churchen Liberal yang terbit pertama kali pada 1904, dan majalah Modern Churcman yang terbit pada 1911.
Baik dalam Yahudi maupun Kristen, doktrin dan isu pembaharuannya sama. Gerakannya bermula dari protes terhadap sakralitas kitab suci, penggunaan metode historis kritis, dan penolakan terhadap otoritas agama (anti-otoritas).
Pengalaman Yahudi dan Kristen tersebut kemudian oleh cendekiawan muslim liberal diadopsi. Akibatnya gerakan Islam Liberal tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Kelirunya lagi, modernisasi yang berarti liberalisasi disamakan dengan konsep tajdid.
Dalam dunia Islam Ahmad Khan asal India oleh Maryam Jameelah disebut sebagai perintis modernisasi agama Islam. Ajaran yang diusung adalah; Poligami bertentangan dengan semangat Islam, hukum potong tangan adalah biadab dan harus diganti, Isra’ Mi’raj adalah cerita ilusi, Tuhan itu samar-samar tidak berbuat sesuatu untuk alam, al-Qur’an dan Sunnah hanya khusus mengatur masalah tata cara ibadah bukan soal sosial-ekonomi-budaya, dan jihad dilarang.
Tren pemikiran kaum modernis bukanlah pencerahan (tanwir) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujaddid. Mereka ternyata sekadar mengadopsi pengalaman Yahudi Kristen ke dalam Islam. Padahal, kasus-kasus yang melahirkan modernisasi ala Yahudi Kristen tidak pernah dialami oleh Islam.
Di Indonesia, gerakan semacam itu telah dipelopori Nurcholis Madjid, yang sekarang bergulir dengan nama liberalisasi pemikiran Islam. Gerakannya bukanlah pembaharuan, tapi ‘peniruan’ tradisi Barat. Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Tapi, ternyata, gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.
Tajdid dalam Tradisi Islam
Tajdid adalah konsep yang ada dalam Islam, tidak di Barat. Secara lughawi (bahasa) tajdid memiliki beragam arti; sesuatu yang baru, kembali, menggali dan memotong. Secara ringkas arti tersebut memberi tiga penjelasan. Pertama, bahwa sesuatu yang diperbaruhi itu telah ada permulaannya dan telah dikenal, Bahwa sesuatu yang telah berlalu beberapa waktu kemudian usang atau rusak, lalu sesuatu itu dikembalikan kepada keadaan semula agar tidak rusak.
Arti tersebut berkait dengan nama istilahnya. Secara global dapat didefinisikan bahwa pembaharuan adalah pembentukan kembali, yakni pengembaliannya kepada asal mula. Sebab pada mulanya agama telah sempurna. Kemudian mengalami distorsi. Maka usaha pengembalian, atau pemulihan itulah namanya tajdid.
Oleh sebab itu, pembaharuan sebenanya bukanlah menciptakan ajaran yang baru, akan tetapi ‘memotong’ penyimpangan, pemulihan konsep untuk dikembalikan agar sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud Juz 11). Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa pembaharuan berarti penghidupan kembali setelah ajaran itu terdistorsi atau terhapus dan hilang.
Secara ringkas tajdid adalah; Pertama, menghidupkan ajaran, membangkitkannya, dan mengembalikan kepada aslinya. Kedua, memelihara nash-nash agama secara benar dan bersih. Ketiga, menempuh metode yang benar dalam memahami nash dan memaknai sebagaimana para salaf. Keempat, menjadikan hukum agama agar berlaku dan menguasai dimensi kehidupan. Kelima, menganalisa secara Islami setiap hal yang baru dan menentukan pandangan Islam terhadapnya. Keenam, pembedaan mana yang termasuk ajaran agama, mana yang mengotorinya dan menyelewengkannya. Dalam tradisi Islam, setiap generasi dipastikan terdapat ulama’ yang menjadi mujaddid.
Rasulullah SAW dalam haditsnya telah menyebutkan bahwa setiap abad akan ada mujaddid. “Sesungguhnya Allah SWT mengutus dalam setiap penghujung abad orang yang memperbarui agama” (HR. Ahmad). Seorang mujaddid menurut al-Suyuthi harus memiliki keunggulan akal fikiran menguasai semua cabang ilmu. Selain itu seorang pembaharu harus selalu aktif dalam aktifitas pembersihan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, peduli terhadap persoalan kontemporer pada setiap zamannya. Seperti al-Ghazali yang melakukan kritik terhadap Filsafat Aristoteles yang mempengaruhi ilmuan muslim dan usaha al-Asy’ari memerangi bid’ah Mu’tazilah. (Tabyin Kidzbi al-Muftara, hal.53).
Seorang mujaddid juga harus berciri memperbaiki sistem pemerintahan, penolong sunnah dan pemberantas bid’ah (Faidlul Qadir, Juz 1). Ciri lainnya, seorang mujaddid memiliki pengaruh yang tidak terbatas pada daerahnya saja, tapi mengglobal dalam dunia Islam.
Dengan mengamati konsep tajdid tersebut, maka secara epistemologis dan historis, modernisasi tidak dapat dipersamakan dengan istilah tajdid. Penyamaan term ini –rupanya- merupakan usaha pengaburan makna konsep tajdid para ulama salaf. Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, tajdid atau pembaruan Islam di era kontemporer dapat dikatakan sebagai penggalian kembali konsep-konsep dalam khazanah Islam, yang telah dilupakan dan dilepaskan oleh umat Islam. Pembaharuan bukan modernisasi agama, bukan pula penyesuaian agama dengan doktrin-doktrin modernisme; sekularisme dan pluralisme. Sebab doktrin postmodern tersebut adalah doktrin Barat-sekular bukan Islam. Jika seperti ini halnya, maka bukan pembaharuan namanya akan tetapi pembaratan. [KH]