Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, salah seorang ulama yang banyak disegani oleh para ulama dari berbagai madzhab, juga menengarai bahwa bobroknya masyarakat pada zaman beliau salah satu faktornya adalah tidak berjalannya peran ulama sebagai mestinya. Mereka hanya pandai bicara, tapi tidak membuktikannya dengan amal perbuatan mereka. Mereka tidak mau mengamalkan ilmu mereka, tidak mau mengemban misi da’wah dan tidak menghiasi aktivitas keseharian mereka dengan ahlak yang baik. Mereka justru masuk dalam intrik-intrik politik. Mereka seringkali terlibat dalam fitnah yang terjadi antara para khalifah, sultan dan penguasa. Mereka akan mendukung pihak yang menang dan menyatakan fatwa atas ketidaklayakan pihak yang kalah, seperti yang pernah terjadi ketika seorang sultan menjatuhkan Khalifah al-Mustarsyid pada tahun 530 Hijriyah/1135 Masehi.[i] Selain itu, mereka saling bersaing untuk menguasai forum pengajian dan pidato di tempat-tempat strategis dan tidak segan-segan menyakiti sesamanya di hadapan khalifah, menteri dan penguasa.[ii] Sebagian di antara mereka ada juga yang menyimpan minuman keras,[iii] dan mendekati sultan untuk mendapat keuntungan dan harta.
Kunci awal bagi seorang ulama untuk mengoptimalkan perannya sebagai agen perbaikan umat adalah mereka harus mengamalkan dan mengaplikasikan ilmunya dalam tataran kehidupan sehari-hari. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengemukakan beberapa alasan mengapa ulama harus mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
a. Ucapan tanpa tindakan akan kurang meyakinkan bagi pendengar dan kurang memiliki daya dobrak untuk mempengaruhi masyarakat. Akibatnya, perubahan yang diharapkan terjadi akan sulit terwujud. Di dalam salah satu pengajiannya, beliau berkata,”Kata tanpa amal nyata tidak sejajar dengan apa pun, bahkan ia lebih merupakan argumentasi tanpa bukti. Ucapan tanpa tindakan bagaikan rumah tanpa pintu dan perabotan, kekayaan yang tidak bisa diapa-apakan, melainkan hanya klaim tanpa bukti.”[iv]
b. Ilmu diciptakan untuk diamalkan, bukan sekadar untuk dihafal dan disampaikan pada manusia.
c. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, dosanya lebih besar dibanding orang yang bodoh. Selain itu, efek negatif yang muncul di tengah masyarakat juga lebih besar. Beliau berkata, ”Celaka sekali bagi orang bodoh, bagaimana ia bisa tidak tahu. Dan celaka tujuh kali bagi orang yang tahu, karena ia tahu tapi tidak mengamalkannya. Ia mengatakan ini haram, tetapi ia tetap melakukannya. Dan ia mengatakan ini halal, tetapi ia malah tidak melakukan, ataupun menggunakannya. Ia adalah orang paling gila. Hilanglah darinya barakah ilmu dan yang tertinggal hanya hujjahnya.”[v] ”Di hari kiamat nanti, ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi bukti yang melawan (memberatkan pada kejelekan) bagi sang pemilik ilmu.”[vi]
d. Ulama yang menjadi pewaris Nabi adalah ulama yang mengamalkan ilmunya dan yang bertambah ketakutan dan ketaatannya pada Tuhannya ’Azza wa Jalla seiring dengan bertambah ilmunya. Syaikh Abdul Qadir al Jailani berkata,”Kaum ulama yang mengamalkan ilmu mereka adalah wakil pengganti kaum salaf (nawwab as-salaf). Mereka adalah pewaris para nabi dan teladan generasi khalaf. Mereka tampil di hadapan manusia sambil menyerukan pemakmuran syari’at, dan melarang mereka menghancurkannya. Pada hari kiamat, mereka berkumpul bersama para nabi alaihim as-salam, maka dipenuhilah bagi mereka pahala dari Tuhan ’Azza wa Jalla. ……… Barang siapa yang semakin bertambah ilmunya, maka ia harus semakin menambah ketakutan dan ketaatannya pada Tuhannya ’Azza wa Jalla.”[vii]
e. Allah mencela seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya. Allah ’Azza wa Jalla menyerupakannya dengan seekor keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (QS. 62: 5). Lalu apakah seekor keledai bisa memanfaatkan kitab-kitab pengetahuan? Tidak ada yang ia dapatkan kecuali kelelahan dan keletihan.[viii]
f. Tidak mengamalkan apa yang telah diketahui bisa menyebabkan lenyapnya agama pada orang tersebut.[ix]
Oleh karena itu, ulama (orang yang berilmu) menurut Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah orang yang mampu merealisasikan ilmunya dalam bentuk amal dan keikhlasan, serta sabar menghadapi bala cobaan, lalu konsisten dengan pendiriannya, juga tidak takut dan mengeluh pada makhluk.[x]
Lalu bagamana sikap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani terhadap para ulama yang tidak mengamalkan ilmunya? Berikut sikap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani terhadap ulama yang tidak mengamalkan ilmunya:
Pertama, mengecam mereka. Berikut ini beberapa cuplikan ceramah beliau yang berisi kecaman-kecaman kepada ulama yang tidak mengamalkan ilmunya:
”Wahai perampas dunia atas nama akhirat dari tangan pemiliknya. Wahai orang-orang bodoh dengan kebenaran! Kamu semua lebih pantas untuk bertaubat daripada orang-orang awam itu. Kamu semua lebih pantas menyesali perbuatan-perbuatan dosa daripada mereka! Tidak ada sedikit pun kebaikan pada dirimu.”[xi]
”Jika engkau memang meraih buah ilmu dan barakahnya, tentu engkau tidak akan melangkah menuju pintu-pintu sultan demi kebahagiaan nafsu dan syahwat. Bagi seorang ulama, kedua kakinya tidak pantas melangkah menuju pintu manusia. Bagi seorang ahli zuhud, kedua tangannya tidak layak mengambil harta manusia. Dan bagi seorang yang cinta dengan Allah ’Azza wa Jalla, kedua matanya tidak patut memandang kepada selain-Nya.”[xii]
”Hai para pengkhianat ilmu dan amal. Hai musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Hai perampok hamba-hamba Allah. Kalian ini nyata-nyata dalam kegelapan dan kemunafikan. Sampai kapan kau pelihara kemunafikan ini, hai orang-orang alim dan ahli zuhud. Berapa lama lagi kemunafikanmu terhadap para penguasa dan sultan demi meraih keuntungan dunia, nafsu dan kenikmatannya? Kamu semua dan kebanyakan penguasa di zaman ini adalah zalim dan pengkhianat atas kekayaan Allah ’Azza wa Jalla yang ada di tangan hamba-hamba-Nya. Ya Allah hancurkanlah kekuatan orang-orang munafik itu, binasakanlah orang-orang zalim itu dan bersikanlah bumi ini dari mereka atau (jika tidak) perbaikilah mereka.”[xiii]
”Wahai pengklaim ilmu! Mana tangisanmu karena ketakutan pada Allah ’Azza wa Jalla? Mana kecemasan dan ketakutanmu? Mana pengakuanmu akan dosa-dosamu? Mana kontinuitas ketaatanmu pada Allah ’Azza wa Jalla di antara terang dan gelap? Mana ta’dib hukumanmu pada dirimu dan perlawanannya di sisi kebenaran? Konsentrasimu hanyalah melulu pada pakaian, serban, makan, nikah, pergantian waktu, toko-toko dan duduk mengobrol bersama orang-orang.”[xiv]
Kedua, melarang para pelajar untuk berguru kepada ulama-ulama seperti itu, beliau berkata,”Wahai anak-anakku! Jangan terperdaya dengan ulama-ulama yang tidak mengenal Allah itu. Semua ilmu yang mereka miliki itu justru menghancurkan diri mereka sendiri dan tidak membawa berkah. Mereka itu mengerti hukum-hukum Allah namun tidak mengenal Allah ’Azza wa Jalla. Mereka menjauhi-Nya dan menentang-Nya dengan perbuatan maksiyat dan penyimpangan yang mereka lakukan. Nama-nama mereka tercatat dan terdata di tanganku.”[xv]
Ketiga, memperingatkan masyarakat umum agar tidak menghadiri majelis dan mendengar pembicaraan mereka. Beliau berkata,
”Wahai hamba-hamba Allah!…. Jangan dengarkan pembicaraan mereka yang menyenangkan kamu namun tunduk kepada penguasa dan berdiri di hadapan mereka seperti debu, tidak menyeru mereka untuk mentaati perintah Allah dan tidak melarang mereka dengan larangan Allah. Kalaupun mereka lakukan maka hanya sekedar kemunafikan dan pura-pura. Semoga Allah membersihkan bumi ini dari mereka dan dari setiap munafik atau semoga Allah memberi taubat dan memberi mereka petunjuk untuk menuju pintu-Nya. Aku begitu cemburu jika mendengar sesorang berkata, Allah, Allah, padahal pandangannya berpaling kepada selain-Nya.”[xvi]
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga menyebutkan langkah-langkah supaya para penuntut ilmu tidak menjadi ulama yang tidak mengamalkan ilmunya:
a. Meluruskan niat ketika hendak belajar (ikhlas karena Allah). Beliau berkata,
”Janganlah kalian termasuk orang-orang yang disesatkan oleh Allah ’Azza wa Jalla di atas ilmu. Jika engkau belajar karena manusia, maka engkau pun akan beramal karena mereka. Jika engkau belajar demi Allah, maka engkau pun akan beramal demi Dia. Jika engkau belajar untuk mendapatkan dunia, maka engkaupun akan beramal demi mendapatkannya. Jika engkau belajar demi akhirat, maka engkau pun akan beramal demi mendapatkannya.”[xvii]
Sedangkan tanda mencari ilmu karena Allah ’Azza wa Jalla adalah adanya ketakutan dan kecemasan terhadap-Nya saat turun perintah dan larangan. Pencari ilmu tersebut akan terus merasa diawasi-Nya, menistakan diri di hadapan-Nya dan merendah di hadapan makhluk tanpa maksud apapun, termasuk bukan karena ketamakan mendapatkan bagian kekayaan di tangan mereka. Selain itu ia akan menjalin persahabatan atau permusuhan hanya karena Allah ’Azza wa Jalla.[xviii]
b. Berusaha mengamalkan ilmu yang telah diserap. Beliau berkata,
”Belajarlah, lalu amalkan, kemudian menyendirilah dalam kesepianmu dari manusia dan bersibuklah dengan cinta Allah ’Azza wa Jalla. Jika kesendirian dan mahabbah cintamu telah benar, maka Dia akan mendekatkanmu pada-Nya, mendekapmu dan meleburkanmu di dalam-Nya. Kemudian jika Dia berkehendak, maka Dia akan memasyhurkan dan menampakkanmu di hadapan manusia, serta mengembalikanmu pada keadaan yang berkecukupan.”[xix]
Memang untuk mengamalkan ilmu dan melaksanakan ajaran-ajaran agama, lanjut Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sangat mungkin akan menghadapi banyak rintangan, tantangan dan hambatan. Karena bisa jadi harus berjalan melawan arus. Karenanya Syaikh Abdul Qadir al Jailani menganjurkan untuk meneladani sosok-sosok manusia pilihan, yaitu mereka yang memiliki hati yang senantiasa mencintai Allah, hingga mereka tak merasakan derita petakanya, sampai petaka itu berakhir tanpa mereka sadari. Mereka pun selanjutnya bertahmid memuji Allah ’Azza wa Jalla dan bersyukur pada-Nya.[xx]
[i] Ibnu al-Jawzi, Al-Muntazham, vol. 10, hal. 60 dan 173.
[ii] Ibid, hal. 142 dan 173.
[iii] Ibid., hal. 189.
[iv] Al-Jailani, op.cit., hal. 387.
[v] Ibid., hal.65-66.
[vi] Ibid., hal. 38.
[vii] Ibid., hal. 66.
[viii] Ibid., hal. 66.
[ix] Ibid., hal. 37.
[x] Ibid., hal. 135.
[xi] Ibid., hal. 289
[xii]Ibid., hal. 439.
[xiii]Ibid., hal. 181
[xiv]Ibid., hal. 344.
[xv]Ibid., hal. 42
[xvi]Ibid., hal. 245
[xvii]Ibid., hal. 482.
[xviii] Ibid., hal. 70.
[xix]Ibid., hal. 343.
[xx]Ibid., hal. 387.