Islam dan Pembaharuan Pemikiran

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

Inpasonline.com-Baru-baru ini di Universitas al-Azhar Kairo Mesir diadakan konferensi internasional Pembaharuan Pemikiran Islam. Dihadiri oleh para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dari berbagai Negara Islam seluruh dunia. Konferensi ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menghadirkan pandangan-pandangan Islam yang moderat di tengah berbagai permasalahan yang muncul akhir-akhir ini.

Perbincangan tentang tema pembaharuan saat ini sangat penting. Pasca penjajahan bangsa Eropa terhadap negeri-negeri Muslim, pembaharuan menjadi tema menarik dibincangkan. Khususnya di Timur Tengah. Terlebih, setelah perang Arab-Israel tahun 60-an muncul isu-isu pembaharuan pemikiran Islam. Tetapi, diskursus pembaharuan selama rentang waktu itu melahirkan berbagai penafsiran tentang apa itu pembaharuan. Sampailah pada isu penyamaan pembaharuan (tajdid) dengan modernisasi pemikiran.  Rentetan perbincangan yang diwarnai pro-kontra itu, kemudian mengerucut pada tampilnya kaum pembaharu modernis dan pembaharu yang liberalis pada awal abad ke-20 hingga sekarang.

Atas hal tersebut, maka amat baik jika membuka kembali catatan masa silam tentang diskusi ulama tentang tajdid. Sebab, diskusi tentang tajdid ini tidaklah baru dalam tradisi Islam. Dari salaf hingga khalaf. Dari zaman klasik hingga modern. Para ulama telah ramai membincangkan secara serius pemikiran tajdid ini. Hal itu karena istilah tajdid sendiri berasal dari hadis Nabi Saw: “Sesungguhnya Allah Swt mengutus setiap akhir 100 tahun seorang mujaddid yang memperbaharuhi umat agama mereka” (HR. Abu Dawud).

Imam Suyuthi menulis kitab At-Tanbiatu biman Yab’atsahu Allah ‘ala Ra’si Kulli Mi’atin. Ibnu Asakir juga menyinggung isu tajdid ini dalam kitabnya Tabyiin Kidzbi al-Muftari fima Nusiba ila Al-Imam Abil Hasan al-Asy’ari. Imam Tajuddin As-Subki membahasnya dalam Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra. Imam Zainuddin al-Iraqi membahas predikat mujaddidnya imam al-Ghazali dan hal yang terkait dengan pembaharuan agama dalam takhrij hadis dalam Ihya’ Ulumuddin. Imam Suyuthi dalam kitab tersebut di atas menyebut mujaddid abad ke-3 adalah Imam Asyari dan abad ke-5 adalah imam al-Ghazali.

Informasi ini menunjukkan perbincangan tajdid  hari ini perlu disambungkan dengan perbincangan para ulama dahulu. Khususnya ulama-ulama yang menulis kitab tentang pembaharu dan pembaharuan tersebut beserta syarat dan cirinya. Agar penafsiran tentang pembaharuan itu tidak keliru. Dalam kenyataannya, para ulama dahulu yang disebut mujaddid dalam kitab-kitab tersebut memang benarlah seorang pembaharu tulen yang diakui ulama pada zamannya itu.

Imam al-Ghazali yang dicatat oleh As-Suyuthi sebagai mujaddid abab ke-5 H itu memang dipandang layak melakukan pembaharuan beberapa aspek pemikiran. Ketika pengaruh falsafah Yunani menjerat dunia Islam, para ulama banyak meresponnya. Menurut Sulaiman Ad-Dunya respon imam al-Ghazali terhadap filsafat disebut terbaik pada masa itu. Bahkan kata dia, uraian imam al-Ghazali tentang permasalahan falsafah lebih baik dari para pakar filsafat itu sendiri (Muqaddimah Tahafut Falasifah, Sulaiman Ad-Dunnya, 23).

Metode dan jawaban Imam al-Ghazali menarik, unik dan baru. Ia menggunakan logika-logika, dan premis yang akal para ahli filsafat tidak menemukan jawabannya. Tidak memakai dalil al-Qur’an dan hadis. Menggunakan logika tingkat tinggi tapi tetapi sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Menurut Shalih Ahmad As-Syami, para filosof zaman itu mengakui keunggulan penjelasan al-Ghazali tentang filsafat. Belum ditemukan ulama sebelumnya yang menggunakan cara atau metode al-Ghazali ini. Imam al-Ghazali pun tidak melepaskan dari tradisi turats sebelumnya. Bahkan ia sangat dipengaruhi pemikiran Abu Thalib al-Makki dan Imam Asy’ari dalam teologi.

Maka, pembaharuan bukanlah membuat sesuatu yang baru, akan tetapi ‘memotong’ penyimpangan, pemulihan konsep untuk dikembalikan kepada ajaran yang sesuai petunjuk Nabi Saw (Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud Juz 11). Prof. Wan Mohd Nor menerangkan bahwa pembaharu itu bukan merujuk kepada orang yang mengenalkan pemikiran yang semata-mata baru dan tidak sama dengan pemikiran tradisional sebelumnya. Tetapi pembaharu adalah orang yang membperbaharui lagi suatu pemikiran lama yang telah disalahfahmi dan yang ditinggalkan. Pembaharu adalah orang yang mampu membuat penyesuaian kembali perkara-perkara penting dalam Islam (Adab dan Peradaban, hal. 13).

Berdasarkan itu, berarti pembaharuan itu menjelaskan kembali masalah penting dalam agama yang disalah artikan. Jadi, ada konsep-konsep Islam yang pengertiannya telah menjadi ijma’ para ulama, mapan dan kokoh yang disalahpahami oleh orang zaman sekarang. Pembaharuan adalah menjelaskan ulang kembali konsep itu sesuai dengan pemahaman benar tidak keluar dari pemikiran ulama tradisional terdahulu.

Seperti makna tauhid dirusak dengan mensinonimkan dengan monoteisme. Bahwa kata tauhid itu sinonim dengan istilah monoteisme. Beda huruf, dan kalimat tetapi sama maknanya. Jelas ini suatu hal baru yang perlu mendapatkan penjelasan ulang bahwa tidak boleh serta-merta melakukan sinonimisasi tauhid dengan monoteisme. Penjelasan ulang terhadap makna ini tentu saja berpijak kepada penjelasan ulama tradisonal terdahulu. Kemudian penjelasan yang berdiri pada ulama tradisional itu sesuai dengan zaman ini. Beginilah yang dimaksudkan sebagai tajdid. Menghilangkan atau kehilangan jejak ulama tradisional terdahulu itu membuka peluang menuju pemikiran modernisasi agama ala pemikiran Barat.

Dalam babak sejarahnya, Barat pernah melakukan modernisasi pemikiran agama yang tidak sama dengan tajdid para ulama kita. Pada tahun 1898 berdiri The Modern Churcmen Union, yaitu wadah bagi kaum modernis Kristen. Semboyan yang dipakai bernada protes dan kecewa; “Demi kemajuan pemikiran religius yang bebas”. Untuk menyebarkan ide-idenya, mereka menerbitkan majalah Churchen Liberal yang terbit pertama kali pada 1904, dan majalah Modern Churcman yang terbit pada 1911. Konon, inilah awal pertama kali deklarasi sebutan Gereja Liberal di Eropa. Di masa ini pun modernisasi dilakukan besar-besaran. Tidak lain itu adalah liberalisasi. Ciri khas pembaharuan ala Kristen Eropa abad 19 itu adalah gugatan-gugatan terhadap otoritas gereja dan protes terhadap ajaran pakem Bible. Tradisi Islam tentang tajdid bukan seperti ini.

Agar gerakan pembaharuan di dunia Islam tidak terjebak seperti itu, maka gerakan pembaharuan jangan memutus tali sanad pemikiran tradisional ulama dahulu. Gerakan pembaharuan perlu memahami masalah puncak dan inti umat Islam zaman modern. Apa sesungguhnya yang menjadi masalah inti umat Islam tiap wilayah. Kerja seperti ini jelas memerlukan daya fikir kuat, jeli dan teliti. Umat Islam dengan para ulama dan sarjananya perlu memperkuat daya fikir terhadap masalah utama Islam. Banyak yang telah berbicara masalah umat Islam, tapi pertanyaannya apakah benar telah sampai pada perbincangan masalah inti dan utama umat Islam? Bukan isu-isu ranting. Atau kah perbincangan itu masih di kulitnya?

Adapun jika ada adopsi pemikiran modernis Barat ke dalam Islam, maka itu bukanlah pembaharuan atau pencerahan. Tapi bisa pengkaburan. Tajdid atau pembaruan Islam di era kontemporer dapat dikatakn penggalian kembali konsep-konsep dalam khazanah Islam, yang telah dilupakan dan dilepasakan oleh umat Islam. Maka, untuk merespon pemikiran asing baru perlu menggunakan turats para ulama. Jadi, kerja-kerja pembaharuan di era sekarang memerlukan kemampuan membaca turats ulama masa lampau dan penguasaan kebudayaan dan pemikiran modern yang sangat mempengaruhi umat Islam saat ini.

Last modified: 11/02/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *