Sekilas, ide dialog antaragama terlihat sangat indah dan penuh perdamaian. Tujuannya pun sangat muluk, agar semua agama hidup rukun, saling mengerti, tidak ada kebencian dan terjadi saling toleransi. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa di balik tujuan yang indah tersebut ada maksud terselubung yang tidak dimengerti oleh para pendukungnya. Ternyata, pada hakikatnya dialog antaragama adalah upaya halus menggiring seluruh manusia manjadi “anak-anak Tuhan Bapak di Sorga”. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Syamsuddin Arif, peneliti INSISTS, kepada Inpasonline. Bahkan menurutnya, dialog antaragama merupakan paket terbaru Kristenisasi yang dibungkus dalam misi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.
Menurut Dosen International Islamic University Malaysia (IIUM) ini, istilah dan konsep dialog antaragama memang sengaja dibuat oleh pihak Gereja pada konsili Vatikan II tahun 1962-1965. Tujuannya tidak lain untuk menunjukkan kepada dunia bahwa pandangan pihak gereja sudah berubah dari eksklusif menuju inklusif. Artinya, pihak Gereja Katholik tidak mengingkari adanya kebenaran dan kesucian pada agama-agama selain Kristen. Tapi tidak berhenti di situ, pihak Gereja tetap menegaskan bahwa Jesus Kristus ialah satu-satunya jalan, satu-satunya kebenaran, dan satu-satunya kehidupan yang hanya dengannya manusia dapat hidup secara utuh dan sempurna. Inilah letak ambivalen doktrin Gereja ini, termasuk konsep dialog antaragama yang digagasnya, jelas pakar kosmologi Ibnu Sina ini.
Tidak main-main, untuk mendukung gagasan ini, Paus Pulus VI mendirikan Segretariato per i non-Christiani pada 1964 yang pada 1988 ditukar namanya menjadi The Pontifical Council for Interreligious (PCID). Sekretariat ini diberi tugas menyelenggarakan pelbagai forum antaragama, membentuk dan mendukung individu maupun organisasi yang mau bekerjasama dan aktif terlibat dalam kegiatan mereka. Sekretariat ini juga menerbitkan sebuah buku panduan, khususnya untuk “berdialog” dengan kaum Muslim, jelas Pria kelahiran Jakarta ini.
“Tidak hanya sebatas itu, untuk mendukung gagasan ini telah diluncurkan jurnal-jurnal ilmiah sebagai wacana bagi kalangan akademis” tegasnya dengan menunjukkan beberapa jurnal sebagai contoh. Salah satunya yang ditunjukkan oleh tamatan Gontor ini adalah Jurnal Islamochristiana (terbitan Pontificio Instituto di Studi Arabi e d’Islmistica, Vatikan), Jurnal Studies in Interreligious Dialogue (oleh The European Society for Intercultural Theology and Interreligious Studies bekerjasama dengan penerbit Peeters, Belgia), Bulletin of the Royal Society for Inter-Faith Studies, dan Jurnal Islam and the Christian-Muslim Relation (terbitan Department of Theology and Religion, Universitas Brimingham, Inggris).
Gagasan ini juga didukung oleh sejumlah tokoh akademik kelas dunia, seperti Karl Rahner, Hans Küng, dan John Hick. Karl Rahner, dikenal dengan konsep anonymous Christian-nya untuk menyebut orang non-Kristen yang tidak menyadari bahwa dirinya Kristen. Hal itu disandangkan kepada orang yang setuju dengan kebenaran Kristen meskipun tidak memeluk agama Kristen. Sementara Hans Küng, ketua Foundation for A Global Ethic, menekankan pentingnya dialog antaragama untuk menjalin perdamaian dunia. Selagi konflik antaragama tidak diselesaikan, maka mustahil perdamaian akan tercipta. Dan John Hick dikenal dengan gagasan Global Theology-nya, yaitu satu teologi bagi semua pemeluk agama sedunia sebagai konsekuensi dari dialog antaragama ini.
Dari sini, tegas doktor asli Betawi ini, terlihat jelas ada upaya melunturkan keyakinan agama dengan paham inklusivisme, pluralisme, dan relativisme agama. Tidak heran jika ide dialog antaragama banyak ditentang oleh tokoh-tokoh sarjana Muslim terkemuka, seperti Fazlur Rahman dan Syed Naquib Al-Attas. Menurut mereka, dialog antaragama akan menggiring secara halus kepada confusion, kompromisme, sinkretisme, relativisme, dan pluralisme agama, sehingga terbentanglah jalan bagi pemurtadan. Di mata mereka, dialog antaragama itu bagaikan “kuda troy” dari Vatikan.
Hal itu bisa dibuktikan dari apa ingin dicapai oleh dialog antaragama tersebut, jelas penulis buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran ini. Selesai dialog diharapkan para peserta tidak hanya saling memahami tetapi juga “saling mengakui” dan mau meyakini kebenaran agama lain. Bagi orang Islam yang menyertai dialog semacam ini diharapkan supaya membuang jauh-jauh keyakinan kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Padahal, andaikata semua agama benar, niscaya Gereja Vatikan sudah lama bubar. Maka dialog antaragama pada intinya akan menguntungkan misi Gereja untuk mengkristenkan dunia, jelas doktor yang juga sedang mendalami Orientalisme ini.(mm)