Civil Society atau dapat diterjemahkan dengan masyarakat sipil, menjadi perbincangan yang menarik dan disikusikan oleh berbagai kalangan, akademisi, agamawan dan negarawan. Terutama setelah memasuki era reformasi. Pada Mei 2009 lalu, terbit sebuah buku kecil berjudul Islamisme Pluralisme dan Civil Societ. Buku ini adalah kumpulan makalah seminar “Islamisme, Pluralisme and Civil Society yang diadakan oleh IFID (The International Forum for Islamic Dialogue) pada April 1999. Seminar ini mendiskusikan tawaran ancangan modernis penafsiran Islam dan menerapkan nilai-nilai Islam pada masalah pluralisme, civil society, demokrasi, HAM, peranan wanita dan kedamaian dalam bidang politik. Di kalangan akademisi Indonesia, hampir civil society ini lepas dari kritik. Bahkan Ada yang memahami bahwa Civil Society sepadan dengan masyarakat madani.
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin Civilas Societas. Konsep Civil Society ini lahir pada abad ke-17 sezaman dengan lahirnya Liberalisme politik dan agama di Eropa. Oleh karena itu, Civil Society ini tidak bisa terlepas dari pergolakan ideologi Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa) – yang menggagas kebebasan berideologi. Sebagai sebuah konsep, harus diakui bahwa Civil Society memiliki akar dalam sejarah pemikiran sekuler Barat.
Secara historis, akar perkembangan Civil Society bisa dilacak mulai dari Cicero, bahkan menurut Manfred Ridel, ia bisa dirunut lebih ke belakang lagi sampai Aristoteles. Namun yang jelas, Cicerolah yang memulai menggunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke-18, pengertian Civil Society dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Terminologi ini baru bergeser maknanya pada paruh kedua abad ke-18. Pada saat itu, negara dan Civil Society baru dipahami sebagai dua entitas yang berbeda. Para pemikir yang mempelopori pembedaan ini adalah para filsuf pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir Eropa, seperti Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine.
Adam Ferguson, sosiolog abad pertengahan, menggagas sebuah konsep civil society – yang diharapkan menjadi impian masyarakat Barat. Gagasan waktu itu dihadap-hadapkan dengan ide konsep masyarakat model Marxisme. Ide Ferguson ini kemudian dipopulerkan dan dikembangkan oleh John Lock dan J J. Reusseu.
Ide Civil Society tumbuh dan berkembang pada era renaissance ketika timbul gerakan melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Abad pencerahan adalah kebangkitan Eropa, Liberalisme dan Sekulerisme menjadi paham baru yang menentukan masa depan Barat. Menurut A. Holl Civil Society menekankan pada adanya ruang publik yang bebas (the free public sphere), di mana individu dan kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas, tanpa ikatan agama, bahkan negara sekalipun. Dengan demikian dalam konsep Civil Society terdapat unsur liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Liberalisme dan sekularisme menuntut suatu masyarakat yang toleran, mengakui kemajemukan budaya dan bebas menjalankan kehidupan tanpa kekangan Gereja yang otoriter. Seiring meletusnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 tumbuh sistem pemerintahan demokratik dan ekonomi kapitalistik – menggantikan sistem monarki yang didominasi agamawan dan Gereja – lahirlah ide masyarakat demokratis, bebas, pluralistik, dan toleran. Sistem sosial ini dikenal dengan Civil Society. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Seligman, Tocquiville, Thomas Paine, Adam Ferguson, John Locke, dan J J. Rousseau. Dapat disimpulkan, konsep Civil Society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, sekularisme dan individualisme.
Di Indonesia, istilah Civil Society oleh Nurcholis Madjid dipadankan dengan istilah masyarakat madani. Meskipun mirip, namun keduanya secara prinsipil memiliki perbedaan. Civil Society berakar dari Barat sedangkan masyarakat madani adalah hasil pemikiran yang mengaca pada piagam madinah, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Civil Society dibentuk dengan ideologi demokratis. Meski menggunakan istilah masyarakat madani, Cak Nur rupanya secara konsepsi meniru Civil Society yang lahir di Barat. Sehingga masyarakat madani yang dimaksud Nurcholis sebenarnya adalah Ccivil Society itu sendiri.
Menurut Nurcholis Madjid masyarakat madani sebagai masyarakat yang berkeadaban memiliki ciri-ciri, antara lain egalitarianisme, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta musyawarah. Nilai-niali pluralisme ditegakkan dalam konsep masyarakat sipil, dan tentunya truth claim agama mesti diennyahkan karena dianggap akan menghalangi tegaknya demokratisasi dan toleransi beragama. Dengan demikian Cak Nur merekonstruksi konsep masyarakat madani, yang bersenyawa konsep Civil Society.
Untuk membangun masyarakat sipil tersebut, Syamsul Arifin dalam buku Merambah Jalan Baru dalam Beragama menukil pendapat Chandoke bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi; pertama, nilai-nilai masyarakat madani, kedua, institusi masyarakat madani, ketiga, perlindungan terhadap masyarakat, keempat, warga masyarakat madani. Akan tetapi, Syamsul menaruh perhatian yang lebih pada poin pertama sebagai faktor terpenting untuk membangun Civil Society.
Nilai-nilai masyarakat madani yang dimaksud adalah etika pluralisme. Dengan etika pluralisme pengakuan terhadap kemajemukan terbentuk dan terpola dalam masyarakat. Menurut Nurcholis, kesadaran tersebut bukan sekedar pengakuan yang bersifat pasif terhadap kemajemukan, akan tetapi juga pengakuan secara kreatif dengan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang demokratis dan pluralis.
Dari sini tampak sekali, konsep masyarakat sipil yang akan dibangun adalah mengandung nilai-nilai pluralisme dan sekulerisme. Jika itu yang dikehendaki, maka agama bukan lagi memiliki otoritas penuh. Sebaliknya, niliai-nilai religius disesuaikan dengan kesepakan sosial dan kondisi kemajemukan masyarakat. Itulah sebabnya barangkali aktivis JIL seperti Zuhari Misrawi yang menulis buku Al-Qur’an Kitab Toleransi dan Moqsith Gozali dengan bukunya Argumen Pluralisme Agama, mendekonstruksi ayat-ayat al-Qur’an dalam rangka membentuk masyarakat sipil dengan nafas pluralisme.
Agama, bagi Islama Liberal tidak sepenuhnya diennyahkan, akan tetapi ditafsir ulang dan didistorsi agar sesuai dengan etika pluralisme atau nilai-nilai agama diletakkan dalam ruang privat yang sempit. Sebab, jika agama diberikan otoritas penuh dengan kecenderungan tafsir literal, maka bagi mereka, agama menjadi bencana – seperti yang pernah dikatakan Charles Kimballs dalam buku Is Religion Killing Us? : “Agama telah menampilkan gambaran perilaku destruktif“.
Jadi konsep Masyarakat Madani yang diingini Cak Nur pada hakekatnya adalam konsep Civil Society. Masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW di kota Madinah tidaklah seperti konsep Civil Society. Masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW sesungguhnya adalah masyarakat beradab, yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi landasannya.
Masyaraka beradab menurut Prof. Naquib al-Attas dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam adalah masyarakat yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan. Intinya masyarakat beradab adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah, bukan masyarakat sekuler dan demokratis sebagaimana dalam konsep Civil Society.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor