Syahadat, Deklarasi Keimanan yang Indah

Syahadat pertama ialah Laa ilaaha illallaah yang artinya tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan, syahadat kedua adalah MuhammadarRasulullah yang artinya Muhammad itu Rasul Allah. Seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat mengandung konsekwensi, bahwa dia menjadi seorang Muslim. Implikasinya, semua hukum Islam harus diberlakukan kepadanya. Maka, atas orang itu, lalu melekat kewajiban untuk melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segenap larangan-Nya.

 

 

Deklarasi keimanan (ber-Tuhan Allah dan ber-Rasul Muhammad SAW) itu secara hakiki merupakan peristiwa teramat indah. Sebab, ketika seseorang (sedang) bersyahadat, sebenarnya pada saat itu dia berjanji kepada dirinya sendiri dan sekaligus ‘mengumumkan’ kepada publik bahwa dia telah melakukan hijrah dari alam kafir yang gelap ke alam Islam yang terang-benderang. Dan, jika kemudian, itu diikutinya pula dengan menegakkan semua hukum-hukum Allah, maka hal itu akan memastikan dirinya selamat di dunia dan di akhirat.

Dua kalimat syahadat itu laksana anak kunci yang dengannya manusia masuk ke dalam keselamatan (Islam). Dengan kalimat itu pula manusia dimasukkan ke dalam surga kalau kalimat tersebut menjadi ucapan terakhir yang dilafalkannya di dunia ini.

Lezat, Lezat!

Mengapa Ali bin Abi Thalib RA berani dan bersedia menggantikan Rasulullah SAW tidur di pembaringannya, pada saat terjadi peristiwa hijrah? Bukankah tindakan itu beresiko sangat tinggi, sebab -waktu itu- kaum Quraisy telah mengepung rumah Nabi SAW melaksanakan rencana untuk membunuhnya? Kemudian, kita-pun kemudian tahu, Ali bin Abi Thalib RA   selamat tak mengalami cidera sedikitpun dan –bahkan- lalu bisa menyusul Nabi SAW ke Madinah.

Mengapa ketika kaum Muslimin sedang mengumpulkan dana untuk kepentingan dakwah, Abu Bakar RA tanpa ragu-ragu menyerahkan seluruh hartanya? Kita-pun kemudian tahu, Abu Bakar RA tak lalu menjadi miskin karenanya. Mengapa ketika terjadi Perang Badar, tiga ratus kaum Muslimin gagah berani menghadapi pasukan kafir yang berjumlah seribu orang serta dengan persenjataan yang lebih lengkap? Kita-pun kemudian tahu pula, bahwa perang itu kemudian dimenangkan oleh kaum Muslimin.

Sungguh, mereka -Ali bin Abi Thalib RA, Abu Bakar RA, dan kaum Muslimin yang mengikuti Perang Badar- telah memiliki iman yang kuat. Persaksian mereka bahwa “Tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya” telah tertanam kukuh dalam hati dan pikirannya. Mereka telah dapat merasakan lezatnya iman. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan” (QS Yunus [10]: 9).

Bagaimana dengan kita? Pernahkah kita lebih memilih kehilangan penghasilan yang tinggi demi menyelamatkan iman kita karena penghasilan itu harus kita dapatkan lewat jalan yang tak benar, seperti korupsi?

Pernahkah kita memilih untuk melepas jabatan ketimbang iman kita tergadai karena jabatan itu memaksa kita untuk menyeleweng dengan modus –antara lain- kita lebih sering mendahulukan kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan dengan mengalahkan kepentingan publik?

Pendek kata, introspeksi kita adalah: Selalukah kita bisa mengecilkan semua urusan kita ketika pada saat yang sama Allah memanggil untuk membesarkan urusan-Nya? Jika iman kita telah mantap, tak perlu jawaban nan lantang atas pertanyaan itu. Tapi, biarlah sekadar bisikan saja yang mengemuka: “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya, bagiku!”

Sikap untuk selalu berprinsip “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya, bagiku” adalah buah dari syahadat kita, yang tak lain adalah deklarasi keimanan kita yang teramat indah. Pilihan untuk senantiasa berprinsip “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya, bagiku” adalah buah dari aqidah yang tertanam kuat di sanubari kita. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah  Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS At-Taghaabun [64]: 8).

Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan Rasulullah SAW sudah berjuang untuk menegakkan kebenaran yang berasal dari Allah. Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS An-Nisaa’ [4]: 170).

Dengan demikian, menjadi tugas umat Muhammad SAW untuk terus melanjutkan risalah Islam yang sempurna itu. Ikutilah semua yang diajarkan Rasulullah SAW. Sebagai makhluk yang beriman, jangan pernah ragu-ragu untuk berjuang. Sebab, tak ada kehidupan dan tak ada kematian  tanpa seizin Allah. Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai Kerajaan Langit dan Bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada Kalimat-Kalimat-Nya (Kitab-Kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat Petunjuk’.” (QS Al-A’raaf [7]: 158).

Tebar Manfaat

Jadi, setelah mendeklarasikan keimanan yang indah, mari kita manifestasikan lewat amal-amal shalih tiada henti. Bahwa, dalam keseharian, kita akan selalu berusaha menjadi sebaik-baik manusia karena kehadiran kita senantiasa menebarkan manfaat bagi sesamanya. Caranya? Ikutilah segenap teladan dari Rasulullah Muhammad SAW. Allahu-Akbar! []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *