Oleh: M. Anwar Djaelani,
“If you think strongly enough,
you will be forced by science to the belief in God”
(Kelvin, fisikawan, 1824-1907).
Inpasonline.com-Keluasan pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada objektivitas dan kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mendekati kebenaran dalam berbagai bentuknya. Sementara, dalam Islam, yang haq (benar) itu berasal dari Tuhan. Tampak, ada korelasi positif antara pemahaman di bidang ilmu pengetahuan dengan upaya menuju Al-Haq.
Sang Pemicu
Perhatikanlah, bagaimana Allah di banyak ayat merangsang untuk tekun memelajari ciptaan-Nya. Untuk apa? Agar yang kita pelajari itu bermuara kepada satu kesimpulan pasti: bahwa Tuhan itu ada dan Ahad.
Antara lain, seksamailah! “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Faathir [35]: 27-28). Catatan; Bahwa yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Mengapa dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan sangat ditekankan Islam? Sebab, lantaran ilmu pengetahuan yang kita kembangkan, tak hanya peningkatan kesejahteraan (dalam artian luas) yang bisa kita peroleh. Tapi, hal paling hakiki yang dapat kita capai adalah terjadinya penguatan keimanan. Ringkas kata, ilmu pengetahuan dapat membawa kita kepada keyakinan bahwa Allah itu ada dan menggerakkan kita untuk “mendekati”-Nya.
Lihatlah berbagai kisah dari mereka yang lantaran teliti dan cerdas dalam mengamati fenomena alam, lalu jujur berkesaksian bahwa Allah Sang Pemilik Alam ini Ahad. Di titik ini, antara lain kita bisa membaca kisah Jaques Cousteau.
Jaques Cousteau seorang Oceanografer berkebangsaan Perancis. Di Selat Gibraltar, dia meneliti pertemuan Samudera Atlantik dan Laut Tengah (Mediterania) yang tidak bercampur satu dengan yang lain (www.republika.co.id 05/03/2012). Bahwa, meski kedua air dari dua lautan itu bertemu, namun keduanya tak saling berbaur seolah-olah ada dinding yang membatasi. Seharusnya berbaur, sebab susunan kimianya tak banyak beda.
Fakta yang sama juga Jaques Cousteau temui di Teluk Aden. Di tempat itu, yaitu di pertemuan Laut Merah dan Samudera Hindia, airnya tak berbaur. Terasa, seperti ada dinding pemisah antar-keduanya.
Fakta itu lalu didiskusikannya dengan sang rekan, Prof. Dr. Maurice Bucaille. Tokoh yang disebut terakhir ini adalah ahli bedah kenamaan Perancis. Dia juga penulis buku berbahasa Perancis, “La Bible, le Coran et la Science” dan di negeri ini beredar dengan judul “Bibel, Al-Qur’an dan Sains Modern”.
Atas fenomena yang ditemukan Jaques Cousteau, lalu Maurice Bucaille menunjukkan bahwa belasan abad sebelumnya, Al-Qur’an sudah menyampaikan tentang hal itu. “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing” (QS Ar-Rahmaan [55]: 19-20). “Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (QS Furqaan [25]: 53).
Setelah mendapat penjelasan itu, Jaques Cousteau yakin akan kebenaran Al-Qur’an. Dia-pun lalu bersaksi: “Saya bersaksi bahwa Al-Qur’an adalah Wahyu Tuhan yang murni”. Ilmu Pengetahuan pada saat ini, lanjut Jaques Cousteau, hanya menyibukkan diri dengan apa yang telah diungkapkan Al-Qur’an kepada manusia belasan abad yang lalu. Lalu, atas hidayah Allah, dia masuk Islam.
Intinya, seperti kutipan kalimat Kelvin di awal tulisan ini. Bahwa, “Jika kita berfikir kuat atau kritis, pasti kita dipaksa oleh ilmu pengetahuan utuk percaya kepada Tuhan”.
Kalimat Kelvin di atas senada dengan Harun Yahya. Bahwa, “Seseorang yang berfikir akan sangat faham akan rahasia-rahasia ciptaan Allah, kebenaran tentang kehidupan di dunia, keberadaan neraka serta surga dan kebenaran hakiki dari segala sesuatu. Ia akan sampai kepada pemahaman yang mendalam akan pentingnya menjadi seseorang yang dicintai Allah, melaksanakan ajaran agama secara benar, menemukan sifat-sifat Allah di segala sesuatu yang ia lihat, dan mulai berfikir dengan cara yang tidak sama dengan kebanyakan manusia, namun sebagaimana yang Allah perintahkan” (“Bagaimana Seorang Muslim Berfikir”, 2005: 143).
Terutama atas semangat dari pernyataan Harun Yahya di atas, mari kaitkan dengan merenungkan secara mendalam ayat berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Yaa Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS Ali ‘Imraan [3]: 190-191).
Berharap Bisa
Singkat kata, ilmu pengetahuan bisa mendatangkan keimanan bagi yang masih beragama selain Islam. Ilmu pengetahuan bisa menguatkan keimanan bagi yang sudah beragama Islam. Perhatikan, “bisa” dan bukan “mesti”. Itu semua tergantung usaha kita, termasuk dalam hal meraih hidayah Allah. Terkait ini, lihat Kelvin di paragraf pembuka tulisan ini. Benar, saat dia berkesimpulan tentang pengaruh kuat ilmu pengetahuan terhadap kepercayaan akan adanya Tuhan. Tapi, sejauh ini, kita belum mendengar bahwa kesimpulan itu membawanya untuk bersaksi: Allahu Ahad! []
Penulis adalah dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya