Bagi Syiah, Ahlul Bait (keluarga Nabi saw) dijadikan ikon utama. Dalam hadis, Syiah hanya menerima jalur periwayatan yang hanya ditransmisikan oleh Ahlul Bait. Di luar Ahlul Bait jalurnya ‘ditutup’. Tapi bisa diterima jika isi hadisnya mendukung keutamaan Ahlul Bait. Akibatnya, Syiah menolak mayoritas hadis yang beredar di kalangan kaum Muslimin (Ahlussunnah wal Jama’ah).
Berbeda dengan Ahlussunnah, semua hadis diterima baik diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau bukan asalkan memenuhi syarat-syarat keabsahan hadis dan perawinya. Ahlussunnah juga mencitai Ahlul Bait. Mereka mencintai Ahlul Bait berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan atas dasar fanatisme buta. Ahlul Bait merupakan orang-orang baik, tapi mereka manusia biasa, tidak ma’shum.
Dalam keyakinan Sunni, Ahlul Bait itu adalah satu kesatuan rumah-tangga Rasulullah saw yang terdiri dari bapak, ibu, mertua, anak, menantu dan para cucu. Namun Syiah menyempitkan anggota Ahlul Bait, terbatas Fatimah, Ali dan keturunannya. Abu Bakar yang menjadi mertua Nabi saw didiskualifikasi. Ustman bin Affan yang menjadi menantu Nabi saw dua kali dibenci dikeluarkan dari anggota keluarga besar rumah-tangga Rasulullah saw.
Pendiskualifikasian dan penyempitan makna oleh Syiah awalnya didasarkan oleh ideologi kebencian, yang termakan propaganda palsu Abdullah bin Saba’ bahwa ada sengketa politik bahwa sahabat (termasuk Abu Bakar, Umar dan Ustman) memusuhi Ahlul Bait.
Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, dalam bukunya Kasf al-Asrar menulis dongeng tentang Abu Bakar. Bahwa ambisi Abu Bakar untuk berkuasa sudah tertanam sebelum Abu Bakar masuk Islam. Dikisahkan, Abu Bakar masuk Islam atas petunjuk seorang dukun. Si dukun menganjurkan Abu Bakar untuk masuk Islam, mengikuti Nabi saw, dan setelah Nabi saw wafat Abu Bakar bisa langsung menggantikan kekuasaan. Cerita palsu ini kemudian menjadi landasan ideologis.
Padahal tidak ada permusuhan atau sengketa apapun antara Sahabat dan Ahlul Bait. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada anak keturunannya agar menjaga hak-hak Sahabat. Sebab hal itu telah dipesankan oleh Nabi saw (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah). Dalam satu pidatonya, Ali r.a mengingatkan, “Saya sudah lihat sendiri Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai keutamaan mereka”. Nasihat-nasihat Ali r.a ini cukup banyak ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama sekali tidak ditemukan cercaan terhadap Sahabat, justru yang banyak adalah pesan keutamaan Sahabat.
Imam Ja’far al-Shadiq ketika membicarakan keutamaan Abu Bakar r.a beliau berkata, “Di samping saya mengharap syafa’at dari Ali, saya juga mengharap syafa’at dari Abu Bakar” (riwayat al-Daraqutni). Imam Ja’far pernah mengatakan, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali” (Ahmad bin Zain al-Habsyi, Syarhul ‘Ainiyah, 22).
Ketika ia masih hidup, nama beliau (Ja’far) pernah dibajak oleh orang-orang Syiah. Syiah membuat fitnah bahwa Ja’far berlepas diri dari Syaikhoni (Abu Bakar dan Umar). Sontak ia marah. Beliau mengatakan, “Allah berlepas dari mereka (orang-orang Syiah). Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatanku dengan Abu Bakar” (Abdullah bin Syekh al-Aidarus, Al-Iqdun Nabawi, 230).
Pernyataan Ja’far al-Shadiq ini menunjukkan bahwa antara dia beserta nasab-nasabnya mengakui Abu Bakar sebagai kerabat (Ahlul Bait). Keturunan Ja’far juga berkeyakinan sama. Ini menunjukkan, bahwa Ja’far -yang diagungkan oleh Syiah sebagai imam- tidak menyempitkan makna Ahlul Bait. Definisi ini sama dengan keyakinan Ahlussunnah dari dulu hingga kini.
Definisi ini lebih masuk akal, sebab pendapat ini berdiri secara adil. Tanpa ada cacian, pilih-pilih Sahabat. Yang dikedepankan Ahlussunnah adalah metodologi, bukan doktrin mitologi.
Ja’far memang bukanlah berakidah Syiah. Beliau adalah imam besar kaum Ahlussunnah. Jadi, sesungguhnya pendahulu dan pembesar Ahlul Bait berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan Syiah.
Syekh Yusuf al-Nabhani dalam Sywahidu al-Haq mengatakan bahwa para Ahlul Bait dan keturunannya berakidah Ahlussunnah mencintai Sahabat dan mayoritas bermadzhab Syafi’i.
Ali bin Husein, salah satu pembesar Ahlul Bait, pernah didatangi oleh orang-orang Syiah yang mencela Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ali bin Husein lantas berbicara panjang lebar dan menyebut mereka (kelompok yang mencela Sahabat) itu bukan golongan yang diselamatkan oleh Allah swt. Habib Abdullah al-Haddad, ulama yang disegani di kalangan bani Alawi, menilai Syiah itu seperti kotoran hewan dibelah dua (Tastbitul Fuad, 226).
Sejatinya, madzhab Ahlul Bait itu tidak ada. Yang ada adalah madzhabnya Ahlul Bait (madzhab yang dianut oleh Ahlul Bait). Syiah tidak tepat disebut madzhab Ahlul Bait sebab, ternyata Ahlul Bait sendiri mencela Syiah karena akidahnya yang mencaci Sahabat Nabi saw. Para habaib, hampir semuanya berakidah Sunni.
Belakangan, Syiah tampil lebih percaya diri dengan nama “madzhab Ahlul Bait” daripada dengan nama Syiah Imamiyah. MUI Jawa Timur telah mengkaji bahwa nama madzhab Ahlul Bait itu bagian dari propaganda Syiah untuk menarik simpati kalangan habaib. Tertulis dalam fatwa MUI Jatim yang terbit Januari 2012 lalu, bahwa nama Ahlul Bait dibajak Syiah. Tujuannya untuk kepentingan kampanye ideologis. []