Jejak dan Kesaksian
Ahmad Surkati berasal dari Sudan. Dia lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula –Sudan pada 1292 H atau 1875 M. Dia diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, Sahabat Rasulullah SAW dari golongan Anshar.
Surkati tumbuh-kembang di dalam keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya -Muhammad Surkati- lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Surkati dikenal cerdas sedari kecil dan hafal Al-Qur’an dalam usia muda.
Surkati pernah belajar di Ma’had Sharqi Nawi, pesantren besar di Sudan waktu itu. Setelah lulus memuaskan, ayahnya mengingini Surkati melanjutkan ke Al-Azhar Mesir. Namun, pemerintah yang berkuasa di Sudan saat itu melarang warganya meninggalkan Sudan. Maka, keinginan Surkati muda mengikuti jejak sang ayah menjadi sarjana Al-Azhar terkendala.
Setelah ayahnya wafat, Surkati bisa juga lolos dari Sudan. Dia berangkat ke Madinah dan Mekkah, belajar agama. Di Mekkah, pada 1326 H dia sempat memperoleh gelar Al-Allaamah yang prestisius waktu itu dari Majelis Ulama Mekkah. Surkati lalu mendirikan sekolah di Mekkah dan mengajar tetap di Masjidil Haram. Di Mekkah, dia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat-menyurat.
Suatu ketika, datang utusan Jami’at Kheir dari Indonesia untuk mencari guru. Ulama Al-Azhar langsung menunjuk Surkati. Dan, Surkati-pun ke Indonesia. Di Indonesia, Surkati menyebarkan ide-ide baru. Dia-pun diangkat sebagai Penilik Sekolah di sejumlah sekolah milik Jami’at Kheir di Jakarta dan Bogor.
Dalam setahun, sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Sayang, Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Kheir. Penyebabnya, adanya perbedaan faham yang cukup prinsipil antara dirinya dengan para petinggi Jami’at Kheir yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin). Di antara perbedaan pandangan keagamaan itu adalah yang menyangkut persamaan derajat. Para pemuka Jami’at Kheir dengan keras menentang fatwa Surkati tentang kafaah (persamaan derajat).
Surkati mundur dari Jami’at Kheir pada 6/9/1914 (15 Syawwal 1332 H) dan di hari itu juga dia bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).
Surkati, kecuali aktif mengajar juga rajin menulis. Inilah sebagian dari judul-judul karya tulisnya: 1). Surat al-Jawab (1915). Risalah ini merupakan jawaban Surkati terhadap permintaan pemimpin koran Suluh India -H.O.S. Tjokroaminoto- sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafaah. 2). Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917). Karya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain: kedekatan seseorang pada Muhammad SAW sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan, namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya. 3). Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923). Ini majalah bulanan yang dikelola Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-Anshari. Melalui majalah ini Surkati membongkar praktik-praktik beragama yang keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan persatuan umat. 4). Al-Masa’il al-Thalats (1925). Ini berisi pandangan Surkati tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah serta tentang ziarah kubur dan tawassul.
Banyak ahli sejarah yang mengakui peran Surkati yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Howard M. Federspiel –sejarawan- menyebut Surkati sebagai “Penasihat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia”.
A. Hassan -tokoh PERSIS dan seorang penulis yang produktif- mencatat bahwa Ahmad Dahlan -pendiri Muhammadiyah- dan Haji Zamzam -pendiri PERSIS- adalah murid-murid Surkati. “Mereka itu –Dahlan dan Zamzam- tidak menerima pelajaran dengan teratur. Namun, Surkati membuka pikiran mereka sehingga berani membuang prinsip-prinsip lama. Mereka lalu menjadi pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
Pujian terhadap Surkati juga datang dari Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA). Suatu ketika, HAMKA bertanya kepada sang ayah tentang seseorang yang bisa dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Si ayah menjawab, “Hanya Ahmad Surkati.”
HAMKA lalu mengejar, “Tentang apanya?” Lalu, dijawab sang ayah, “Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hatinya sangat tawaddu.”
Murid Surkati tak sedikit. Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat erat Surkati, juga sempat menimba ilmu darinya. Mereka –antara lain- KH Mas Mansyur dan H. Fachruddin (pemuka Muhammadiyah). Begitu pula KH Abdul Halim pemuka Persyarikatan Ulama yang kemudian menjadi PUI (Persatuan Umat Islam).
Surkati juga menjadi ‘guru spritual’ aktivis Jong Islamieten Bond (JIB). Para aktivis JIB -seperti Muhammad Natsir dan Kasman Singodimedjo- sering belajar kepada Surkati.
Kecuali murid, Surkati juga punya banyak sahabat. Pendiri Persatuan Islam (PERSIS) -Haji Zamzam dan Muhammad Yunus- adalah dua di antara sahabat karib Surkati. Bung Karno juga sahabat Surkati.
A. Hassan memperkenalkan Surkati pada Bung Karno, ketika Bung Karno berada dalam pembuangan di Ende. Caranya? Lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Surkati. Kelak, ketika telah bebas dari Ende, Bung Karno sering bertandang ke rumah Surkati.
Teladan yang Patut
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS Ali-‘Imraan [3]:185). Pada 6/9/1943 -tepat 29 tahun setelah mendirikan Al-Irsyad- Surkati wafat di Jakarta. Kita rasakan, jasa dia sangat banyak. Semoga riwayat ringkas Surkati yang disarikan dari www.alirsyad.net ini bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi. []
Last modified: 27/11/2012