Ahmad Khatib, Pembaharu yang ‘Melahirkan’ Banyak Ulama Besar

Written by | Sejarah Peradaban

 Oleh: Anwar Djaelani

Syaikh Ahmad Khatib Al-MinangkabawiInpasonline.com-Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi seorang ulama-pembaharu yang sangat berpengaruh. Sebagai ulama besar, dia ‘melahirkan’ banyak ulama besar lainnya seperti –antara lain- KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Sebagai pembaharu, dia berhasil membuka cakrawala berfikir dari banyak kalangan Islam antara lain tentang bagaimana beraqidah yang benar dan penerapan syariat yang tepat.

Sangat Berpengaruh

Ahmad Khatib lahir pada 26/05/1860 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat kanak-kanak, dia memelajari dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah yaitu Syaikh Abdul Lathif. Lewat sang ayah pula, dia mulai menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Saat berusia 11 tahun, Ahmad Khatib dibawa sang ayah berhaji. Di Mekkah, setelah berhaji, Ahmad Khatib belajar. Dia mendalami Islam ke beberapa ulama seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki.

Pada usia sekitar 16 tahun dia kembali ke Indonesia untuk beberapa bulan. Lalu, pada 1876 dia kembali ke Mekkah untuk lebih mendalami agama. Dia-pun menetap di sana.

Di Mekkah kesadaran Ahmad Khatib tentang pentingnya persatuan Islam terbangun. Dia merasa persatuan Muslim di Indonesia harus diperkuat untuk membebaskan bangsa dari kolonialisme. Pemikiran tersebut disampaikan kepada murid-muridnya. Kelak, ketika para murid itu kembali ke Indonesia, mereka kemudian dikenal sebagai para pemimpin perjuangan kemerdekaan.

Di usia 20 tahun, dia mulai dikenal masyarakat Mekkah karena akhlaq dan ilmunya. Termasuk karena itu pulalah, Ahmad Khatib diambil menantu oleh salah seorang saudagar di Mekkah, Syaikh Saleh Kurdi. Lelaki yang disebut terakhir ini adalah pedagang kitab-kitab keagamaan. Ahmad Khatib dinikahkan dengan Khadijah, anak si saudagar.

Saleh Kurdi yang bermazhab Syafi’i akrab dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Pada sebuah saat, karena diundang, Ahmad Khatib dan mertuanya hadir di ‘Istana’ untuk sebuah jamuan buka puasa bersama. Setelah berbuka, mereka shalat maghrib berjamaah dan Syarif –Sang Raja- menjadi Imam. Ternyata, di salah satu bacaan sang Raja terdapat kekeliruaan dan langsung diluruskan oleh Ahmad Khatib.

Lewat kejadian itu, Raja makin mengerti bahwa Ahmad Khatib adalah seorang pemuda yang pandai. Maka, latar belakang inilah yang mengantarkan Ahmad Khatib menjadi Imam dan Guru Besar dalam mazhab Syafi’i di Masjid Al-Haram.

Ahmad Khatib produktif menulis. Dia menulis sekitar 17 –versi lain menyebut 49- buku, berbahasa Arab atau Melayu. Di antara karya-karyanya adalah Al-Jauharun Naqiyah fil A’mali Jaibiyah (membahas Ilmu Miqat), Hasyiyatun Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat (tentang Ushul Fiqh), Raudhatul Hussab fi A’mali ‘Ilmil Hisab (tentang hisab), ‘Alamul Hussab fi ‘Ilmil Hisab, Dhau-us Siraj (tentang Isra’ Mi’raj), Shulhul Jama’atain bi Jawazi Ta’addudil Jum’atain (berisi sanggahan terhadap sebuah karya Habib ‘Utsman Betawi). Buku-bukunya tersebar hingga Suriah, Mesir, dan Turki (www.republika.co.id 16/01/2012).

Dari buku-bukunya,  tampak Ahmad Khatib tidak hanya ahli dalam masalah teologi saja, tapi juga menguasai di beberapa bidang lain seperti ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu hitung (hisab),  ilmu ukur (geometri), ilmu falak, dan mawarits (ilmu waris). Ilmu yang disebut terakhir itu telah membawa pembaharuan pada adat di Minang.

Walau Ahmad Khatib mukim di Mekkah, dia tetap termasuk tokoh pembaharu di Indonesia di penghujung abad 19 dan di awal abad 20. Pasalnya, pikiran-pikiran dia tersebar luas di Indonesia dengan cara: Pertama, melalui buku-bukunya. Kedua, melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan sekaligus menyempatkan diri belajar kepada Ahmad Khatib. Setelah kembali ke Indonesia, mereka lalu menjadi ulama di daerah asalnya masing-masing. Misal, yang berasal dari Minangkabau antara lain Syaikh Muhammad Djamil Djambek (1860–1947), H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945, ayah dari Buya HAMKA), dan H. Abdullah Ahmad (1878–1933). Sementara, yang berasal dari luar Minangkabau antara lain Syaikh Muhammad Nur sebagai Mufti Kerajaan Langkat, Syaikh Muhammad Zain sebagai Mufti Kerajaan Langkat di Binjai, Syaikh Hasan Maksum sebagai Mufti Kerajaan Deli, dan Syaikh Muhammad Saleh sebagai Mufti Kerajaan Selangor. Adapun yang berasal dari Jawa di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah), dan KH Hasyim Asy’ari (1871-1947, pendiri NU). Sementara, beberapa ulama besar dari Kalimantan pernah juga belajar kepada Ahmad Khatib.

Khusus untuk masalah-masalah yang berkembang di Minangkabau, dia dikenal sangat keras terhadap praktik-praktik thariqat Naqsabandiah dan hukum waris yang berdasarkan adat. Dalam catatan situs www.republika.co.id 16/01/2012, di masyarakat muncul polemik yang hebat setelah Ahmad Khatib secara terbuka menentang Thariqat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah. Dia menyampaikannya dalam buku Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish-Shadiqin yang selesai ditulisnya pada 1906.

              Tak pelak, seluruh pengikut Thariqat Naqsyabandiyah dan penganut tasawuf dari berbagai thariqat lainnya marah dengan tulisan Ahmad Khatib itu. Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka, Guru Besar Thariqat Naqsyabandiyah yang juga sahabat Ahmad Khatib, meresponnya dengan menulis buku berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang rampung ditulis pada 1907.

              Selain pengikut Naqshabandiyah, banyak pula guru agama yang tidak menyetujui pendirian Ahmad Khatib yang dinilai tidak kenal kompromi itu.           Tapi, hikmahnya, perbedaan pendapat yang muncul pada masa itu malah disebut-sebut telah melahirkan gerakan di Tanah Minang untuk berkembang dan maju meninggalkan keterbelakangan.

              Begitu juga di soal warisan. Kritik Ahmad Khatib terkait harta waris, misalnya, malah menumbuhkan kesadaran masyarakat Minangkabau bahwa tradisi matrilineal tidak dapat disejajarkan dengan hukum agama.

Banyak Kader

              Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada 13/03/1916 dalam usia 56 tahun. Dia meninggalkan banyak kitab yang berharga. Dia juga banyak meninggalkan kader yang dia didik secara langsung. Kader-kader itu lalu melahirkan juga kader-kader berikutnya, dan seterusnya. Subhanallah! []

Last modified: 20/04/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *