Sayangnya, kita tampaknya sulit mengharapkan perubahan yang revolusioner akan terjadi jika suguhan kota hanya berkisar pemuasan kebutuhan mata dan konsumsi perut. Dari sini saja kita sudah bisa menyimpulkan bahwa taman bunga dan pusat kuliner tidak cukup untuk membuat sebuah kota dan pertumbuhannya menjadi ideal.
Lalu, apa yang kurang? Mari kita tilik sejenak kota megapolitan Tokyo. Saya memang belum pernah kesana, namun saya sering membaca atau mendengar dari cerita teman, bahwa Tokyo, selain terkenal dengan taman-tamannya yang indah dan pusat perbelanjaannya yang megah, juga menaruh perhatian serius terhadap keberadaan toko buku. Ya, toko buku! Di Tokyo terdapat toko buku terbesar di dunia yang terdiri dari sembilan lantai. Perpustakaan-perpustakaan bermunculan hampir di setiap daerah. Kalau kita berjalan-jalan di kota Tokyo, kita akan lihat hampir di setiap waktu luang, orang-orang Jepang membaca buku.
Tampaknya saya terlalu tinggi mengambil contoh. Masyarakat Jepang sudah gemar membaca sejak zaman ‘jebot’, sedangkan masyarakat Indonesia sampai sekarang masih tertatih-tatih mengurangi jam nonton televisi dan membuat anggaran khusus untuk beli buku, di tengah godaan tawaran diskon besar-besaran untuk produk baju, tas dan sepatu oleh mall-mall besar. Jelas tidak bisa dibuat perbandingan.
Baiklah, kita menyeberang sedikit saja. Mari kita berkunjung ke kota Jogja dan Bandung. Diakui oleh Abdul Muiz Nahari, Ketua Ikapi Surabaya, kebanyakan warga kota Surabaya lebih memilih ke tempat hiburan dari pada ke toko buku. Berbagai acara musik digelar, di ruangan terbuka maupun klub-klub malam yang kian hari kian banyak peminat. Kini promosi program-program hiburan di night club merajai iklan-iklan di jalanan Surabaya.
Mengapa buku begitu penting bagi kehidupan? Melalui bukulah peradaban diwariskan. Kualitas sebuah peradaban tentu tidak bisa dilepaskan dari seberapa tinggi budaya literasi yang dimiliki peradaban tersebut. Melalui bukulah dunia ini menuju kemajuannya. Buku selalu menjadi katalisator bangkitnya sebuah peradaban. Dapat dibayangkan bagaimana dunia saat ini bila buku tak ada. Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam sedikit banyak tidak bisa dilepaskan dari peran Baytul Hikmah, perpustakaan yang menyimpan ribuan literatur di masa dinasti Abbasiyyah.
Buku-buku yang tersimpan di Baytul Hikmah ini kemudian menarik minat ribuan pelajar dari Barat untuk memburu literatur dan menerjemahkannya ke dalam bahasa negara mereka masing-masing.Dan seandainya bangsa Mongol yang menyerang kota Baghdad mengerti arti penting buku bagi peradaban, tentu mereka tidak akan membuang ribuan bahkan mungkin jutaan buku yang ditulis oleh para ulama ke Sungai Eufrat. Jika mereka membaca jutaan buku tersebut, niscaya bangsa Mongol menjadi bangsa berperadaban terbesar di dunia. Kita masih ingat tentang peristiwa tragis yang melanda peradaban Islam ketika air sungai Eufrat menghitam kena lunturan tinta dari buku-buku yang dibuang ke sungai oleh pasukan Khubilai Khan.
Kultur buku di Surabaya yang kalah jauh dibandingkan Jogja dan Bandung diakui oleh Budi Darma sastrawan kawakan dari Surabaya, tak lepas dari sejarah intelektual masa lalu di dua daerah tersebut. Jogja maupun Bandung sejak dulu sudah dikenal sebagai sentra pendidikan dan kesenian. Sementara Surabaya dikenal sebagai pusat perniagaan dan industri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengamatan saya sejauh ini. Masyarakat Surabaya cenderung konsumtif untuk barang-barang selain buku. Dan kecenderungan ini makin terbentuk dengan maraknya pameran yang tidak berhubungan dengan dunia perbukuan. Dalam setahun, dua kali penyelenggaraan book fair saja sudah bagus untuk kota sebesar Surabaya.
Memang, di beberapa titik di Surabaya sudah terbentuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Namun keberadaannya dirasa masih kurang efektif dan dari segi jumlah masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat; ditambah lagi ada TBM yang malah ditutup. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat pemerintah rela membangun serta memperjuangkan keberadaan taman bunga namun terkesan mengabaikan eksistensi taman bacaan, yang keberadaannya – jika dikelola secara serius – mampu menjadi katalisator menuju Surabaya berperadaban buku.Wallahu ‘alam bishshawwab
Last modified: 28/05/2011