Antara Tradisi-Kultur Sunni dan Adu Domba Syiah

Oleh: Kholili Hasib

 maulidStrategi dakwah Syiah saat ini yang perlu diperhatikan adalah, klaim-klaim Syiah terhadap tradisi sebagian penganut Ahlussunnah dan indikasi adu domba antar kelompok. Isu tentang tradisi atau kultur yang berlaku di kalangan NU, misalnya menjadi semakin marak, ketika Syiah mengklaim sebagian tradisi diamalkan. Tradisi-tradisi yang menjadi isu di antaranya; pembacaan maulid Nabi Saw, diba’an, metode membaca harakat tulisan arab di kalangan orang Jawa dan lain sebagainya. Selain itu, Syiah juga ‘bermain’ dengan memunculkan wacana seoalah-olah keturunan ahlul bait (Alawiyyin) itu representasi Syiah. Polemik makin serius, sebab pada satu sisi, sebagian tradisi tersebut dipersoalkan oleh satu kelompok dari kalangan Sunni, dan pada sisi lain Syiah tampil seakan-akan membela keabsahan tradisi tersebut.

Pada 19 Maret 1996, budayawan Agus Sunyoto, memunculkan isu tersebut di harian Jawa Pos. Waktu itu, mucul istilah ‘Syiah kultural’ untuk menyebut kaum nahdliyyin yang mengamalkan tradisi-tradisi yang ia katakana mirip dengan Syiah. Namun, tulisan Agus Sunyoto tersebut baru sebatas spekulasi. Bahkan lebih mengedepankan mitos-mitos.

Beberapa waktu lalu, di sejumlah kota, seorang tokoh Syiah mengadakan peringatan maulid Nabi Saw sembari mengklaim bahwa tradisi tersebut dari Syiah. Dikatakan, mula-mula dipelopori Dinasti Fatimiyah. Lagi-lagi, klaim ini spekulatif dan ahistoris. Sejarawan Muslim Alwi Alattas membantah klaim tersebut dalam tulisannya “Mencari Asal-Usul Maulid Nabi” dengan data-data ilmiah. Ia menulis:

“Di antara informasi awal yang menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578 H (April 1183) dan Rabiul Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satu-satunya peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair (2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah” (baca Alwi Alattas,Mencari Asal-Usul Maulid Nabi di inpasonline.com).

Klaim Syiah terhadap tradisi membaca diba’ dan barzanji juga tidak tepat. Sebab, di Iran pusat Syiah, tidak pernah ditemukan diba’ . Klaim Syiah makin lemah, sebab di dalam kitab diba’ terdapat syair-syari pujian kepada Sahabat Nabi. Syair tersebut misalnya berbunyi: “Ya Rabbi wardha ‘ani al-Shahabah ya Rabbi wardha ‘ani al-Sulalah” (Ya Allah semoga ridha atas para Sahabat, Ya Allah semoga ridha atas keturunan Nabi).  Padahal, dotkrin utama Syiah mencaci Sahabat. Justru, tradisi membaca sejarah Nabi melalui berbagai macam maulid lebih tepat untuk membetengi Ahlussunnah.

Kitab-kitab maulid yang selalu bertaburan pujan kepada Nabi dan Sahabatnya sesungguhnya merupakan edukasi kepada umat untuk mencintai nabi dan Sahabatnya. Pembentengan-pembentengan hampir sama juga dilakukan para ulama-ulama di tanah Jawa. Sejak dahulu di surau-surau kampung, sebelum di adakan shalat berjamah, para jamaah membaca puji-pujian kepada Saidina Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ini merupakan strategi kultural ulama’ Jawa untuk membentengi dari pengaruh kaum Syiah.

Disebarkan pula isu, bahwa berkembangnya cara mengaji dengan mengeja fathah, kasrah dan dhammah, diklaim dari Persia. Kalau Persia pasti Syiah. Ini juga kesimpulan gegabah dan terburu-buru. Persi tidaklah selalu identik dengan Syiah. Syiah mulai dipeluk mayoritas warga Iran setelah Dinasti Shafawi, yang berakidah Syiah, berkuasaa di daerah Persia dan sekitarnya pada sekitar abad ke-16. Sebelum itu, Persi di bawah kekuasaan raja-raja Sunni. Memang dikenal beberapa seni Islam yang berkultur Persi sejak dahulu. Contoh misalnya model khat Farisi. Namun, harap dicatat, seni-seni Islam yang berasal dari Persi tersebut sudah lama berkembang pada masa kekuasaan Abbasiyah. Pada waktu itu, Persi di bawah kendali pemerintahan Abbasiyah yang Sunni (M. Baharun,Tantangan Syiah terhadap Ahlussunnah, hal. 120). Maka, tidak heran, dahulu banyak ulama-ulama Sunni lahir dari Persi, seperti Imam al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Jadi, Persia ter-Syiah-kan bisa dibilang masih ‘baru’ yakni abad ke-16.

Ada pun kaum Alawiyyin (keturunan ahlul bait) juga memiliki strategi pembentengan terhadap akidah Syiah, yaitu dengan mentradisikan pembacaan wirid ratib al-haddad. Wirid ini ditulis oleh Habib Abdullah al-Haddad, tokoh besar kaum Alawiyyin dan menjadi amalan yang terus dibaca hingga kini oleh para keturunan habaib di Nusantara dan kaum nadhliyyin. Habib Alwi al-Haddad dalam Syarh ratib al-haddad menulis: ‘Ratib yang mulia ini disusun Habib Abdullah al-Haddad ketika beliau mendengar masuknya paham Syiah Zaidiyah ke Hadramaut. Beliau khawatir Syiah Zaidiyah ini akam merubah akidah kaum awam. Maka, pada malam 17 Ramadhan 107 H beliau susun ratib ini. Dalam ratib ini penulis menyebutkan “al-Khairu wa al-Syarru bi Masyiatillah” (Kebaikan dan keburukan itu terjadi atas kehendak Allah). Kalimat ini sengaja beliau cantumkan untuk menolak paham Qadariyah dan kaum Syiah Zaidiyah” (Novel bin Muhammad Alaydrus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarikat Bani ‘Alawi, hal. 49).

Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus, seorang tokoh besar para habaib yang berjuluk ‘arif billah, mengatakan: “Diberitakan kepada kami, bahwa di India telah banyak tersebar berbagai fitnah sehingga berdampak berbagai bencana dan cobaan. Penduduknya pun saling berselisih pendapat beraneka ragam tiada kesatuan. Ini adalah bencana besar! Bahkan lebih jelek dari itu, lebih buruk, dan lebih berbahaya. Sebagaimana diberitakan kepada kami, telah muncul sikap secara terang-terangan membenci al-Shiddiq dan al-Faruq (Abu Bakar dan Umar). Mereka berakidah rafidhah yang tercela. Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun. Ini adalah kedurhakaan yang serius dan kelalaian yang kronis” (Terjemah ‘Uqudul Ilmas, hal. 216).

Kaum Alawiyin ini memang sejak dahulu nenek moyang merek kuat memegang tradisi Sunni. Mereka bermadzhab Syafii dan berakidah Asy’ari. Mereka cukup waspada menghadap fitnah orang Rafidhah. Dalam Adwar al-Tarikh al-Hadrami, dikatakan bahwa cikal-bakal habaib di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, seorang Sunni dari Irak. Ia hijrah dari Irak karena menghindar dari huru-hara politik di Kufah yang diakibatkan oleh fitnah Syiah. Mereka hijrah ke negeri Hadramaut Yaman. Meski tandus, namun Hadramaut Yaman kondusif. Penduduknya berhati halus dan relatif aman dari fitnah.

Maka, tidaklah heran, tradisi-tradisi yang dikembangkan berakar dari ajaran Sunni, yang tidak ada sangkut pautnya dengan Syiah. Kaum Alawiyin di Hadramaut ini, memang dikenal sangat kuat memegang tradisi nenek moyangnya. Sehingga, klaim-klaim Syiah sebetulnya tidak ada artinya.

Ada dugaan, Syiah ‘mendompleng’ tradisi-tradisi Sunni Nusantara untuk membenturkan antar jama’ah Sunni. Syiah memanfaatkan isu pro-kontra tradisi tersebut untuk memecah konsentrasi Sunni menjadi dua kutub yang saling berpolemik.

Karena itu, Ahlussunnah harus bijak dan hati-hati menyikapi isu-isu seputar tradisi dan kultur kaum Syafiiyah ini. Perlu pemahman, bahwa tradisi tersebut bukanlah perkara ushul tapi furu’. Syiah diduga mengambil manfaat dalam polemik masalah furu’ ini. Jangan sampai gara-gara konsentrasi pada isu kecil, sampai menghabiskan energi menghadapi fitnah yang lebih besar. Ukhuwah Sunni harus dikedepankan, daripada perselisihan di bidang furu’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *