Konsep yang ada di nalar: apa gunanya raih gelar tinggi, dan bertahun-tahun di pesantren tapi kehidupannya tidak kunjung makmur. Lantas apa ukuran sukses belajar? Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan konsep Imam al-Ghazali, ulama’ ensiklopedis, yang menguasai banyak bidang keilmuan.
Berdasarkan pengalaman selama mengajar, kesimpulan yang saya tangkap adalah; para siswa belajar semata-mata demi mendapatkan ijazah saja. Kesuksesan dan kepintaran diukur dengan mendapatkan pekerjaan mapan dan kekayaan melimpah. Akibatnya adalah, cara belajar siswa cenderung pragmatis dan halalkan segala cara. Untuk dapatkan ijazah, misalnya, seorang mahasiswa ada yang membeli gelar atau ijazah.
Belajar tidak lagi untuk hilangkan kebodohan, tapi ingin meningkatkan status sosial. Akibat berikutnya, munculnya pemimpin-pemimpin yang gaya memimpinnya pragmatis, materialis – meskipun tak punya ilmu. Belakangnan ini pun beberapa calon dalam pilkada di daerah-derah tersangkut kasus ijazah palsu.
Ulama dan Tradisi Ilmu
Para ulama kita telah menuangkan konsep ilmu yang luar biasa. Salah satunya yang kita kaji kali ini adalah konsep Ilmu al-Ghazali. Dalam Ihya Ulumuddin dan Bidaya al-Hidayah al-Ghazali menguraikan secara mendalam pentingnya memahami konsep ilmu dengan baik.
Hujjatul Islam imam al-Ghazali pernah mengatakan, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga macam: pertama, orang yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang belajar dengan niat mencari sesuatu untuk menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta jabatan hormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-banggahan dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul Hidayah).
Golongan pertama adalah golongan orang-orang yang memahami konsep ilmu dengan benar. Sehingga tujuan mencari ilmu pun tidak pernah kosong dari niat untuk menghilangkan kebodohan dalam diri dan mencari ridlo Ilahi. Golongan kedua dan ketiga adalah kelompok penuntut ilmu yang materialis, mencari ilmu untuk duniawi. Jika konsep materialisme tertanam dalam diri thalabul ilmi, maka al-Ghazali memastikan ketika ia menjadi ulama, ia akan menjadi sosok ulama suu’ (ulama’ jahat). Yakni ulama yang tidak beradab.
Dalam beberapa kasus dalam pendidikan Indonesia, barangkali di antaranya sudah terhegemoni dengan konsep materialisme itu, atau menurut al-Ghazali masuk kategori golongan kedua dan ketiga. Motivasi belajar terwarnai dengan tujuan-tujuan duniawi belaka.
Sehingga, ketika sebuah perguruan tinggi atau sekolah kejuruan membuat brosur, selalu diselipkan kata-kata jaminan manis untuk bisa bekerja. Seperti “Buat apa gelar kalau nganggur, kuliah aja di…”,” Kuliah singkat, kerja cepat” adalah slogan-slogan manis yang ditawarkan lembaga pendidikan. Akibatnya, ada kampus dibuka hanya untuk melayani pembelian ijazah, karena model perkuliahnya tidak serius, yang penting membayar kemudian lulus. Kenyataan ini, meyakinkan kita, betapa pola pikir pragmatisme menguasai cara kerja lembaga pendidikan.
Niat belajar yang salah akan memproduksi manusia-manusia bermasalah. Rasulullah SAW dalam sabdanya telah memberi peringatan keras bahwa orang yang belajar dengan tujuan Untuk berbangga-bangga menjadi ulama’, berkompetisi, menyaingi teman, mencari nama dan mengumpulkan harta dunia akan menjadi manusia yang celaka (HR. Ibnu Majah).
Peringatan itu kemudian dita’kid dalam kitab Bidayatul Hidayah oleh Imam al-Ghazali, bahwa bila tujuan mencari ilmu seperti tersebut di atas, maka ia termasuk golongan yang berusaha merobohkan agama, membinasakan diri, dan menjual agama. Orang-orang dengan ciri sperti inilah oleh Imam al-Ghazali disebut ulama’ suu’, atau dalam konteks saat ini bisa kita sebut ilmuan/cendekiawan jahat. Disebut jahat karena menyalahpahamkan ajaran dan mendakwahkan kesesatan.
Ilmu dan ilmuan dalam hal ini menjadi prioritas paling utama. Karena sebagaimana dalam hadis: ”Dua macam golongan dari umatku (yang memegang peran penting). Bila mereka baik, maka baiklah umat manusia, dan bila mereka rusak maka rusakklah umat manusia. Ingatlah, mereka adalah pemimpin pemerintah dan ulama (HR. Ibn Abdil Barr dalam Ihya Ulum al-Din). Imam Hasan r.a mengatakan: ”Barang siapa yang bertambah ilmunya, kemudian bertambah pula ketamakan kepada dunia, maka tiada yang bertambah kecuali bertambah jauh dari Allah”.
Cukup menarik kita menengok pendapat Prof. Sayyid M. Naquib al-Attas, profesor yang menduduki “Kursi al-Ghazali” di kampus ISTAC Malaysia, tentang problem ilmu ini. Menurut beliau tantangan besar yang dihadapi umat ini adalah tantangan ilmu pengetahuan. Problem itu bemula dari kesalahan mendefinisikan ilmu. Bagi, al-Attas, demikian sang profesor ini akrab dipanggil, ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Maka, pendefinisian ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia menjadi sangat penting.
Urgensinya, profesor yang juga pakar pemikiran-pemikiran al-Ghazali ini mengatakan, bahwa metafisika pendidikan memiliki implikasi-implikasi yang mendalam, baik pada dataran teoritis maupun praktis. Kebingungan intelektual (intelctual confusing) dan kekeliruan menangkap ilmu adalah disebabkan kekeliruan persepsi mengenai ilmu, dari kekeliruan persepsi ini selanjutnya melahirkan ketiadaan adab (the lose of adab) pada seorang pemimpin. Uraian-uraian al-Attas ini sebenarnya artikulasi dari pemaparan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din dan Bidayatul Hidayah.
Pada awal babnya di kitab Ihya ulum al-Din al-Ghazali mendahului uraiannya yang panjang mengenai ilmu. Konon, salah satu faktor utama al-Ghazali menulis kitab itu adalah karena keprihatinan al-Ghazali melihat kelesuan umat saat itu yang sedang menghadapi perang salib. Kekalahan umat Islam dalam perang itu oleh al-Ghazali tidak dilihat dari sisi kelemahan militer tentara Islam.
Namun, dengan cerdas beliau melihat sisi terdalam dari kelesuan itu, yakni kelemahan umat Islam dalam bidang ilmu. Sehingga, lahirlah orang-orang hedonis, materialistik dan pragmatis. Kitab itu ditulis, untuk menghidupkan kembali tradisi salaf dalam mengkaji ilmu. Ia ingin membangun kesadaran umat terlebih dahulu dari sisi keilmuan. Karena, menurut al-Ghazali dari kesadaran dan pentradisian ilmu inilah akan lahir generasi-generasi militan yang mencintai din-nya lebih dari segalanya.
Selanjutnya al-Ghazali menerangkan tipologi ilmu ketika dipelajari, ilmu akan mengkristal menjadi dua fenomena besar, menurut niatnya masing-masing. Pertama, ilmu yang dipelajari tidak karena Allah (li ghari lillah) memiliki karakteristik zann dan syakk (keragua-raguan). Orangnya akan puas dengan tujuan-tujuan eksternal, fisik atau material. Akibatnya, timbul kegelisahan dalam jiwa:khawf (takut pd prasangka yang tidak diketahui); huzn; khusr; (kesempitan hidup, derita dalam diri dan akal, depresi); hamm (risau pada bencana yang akan menimpa); ghamm; ‘usr; khasrah (penyesalan tanpa kesudahan). Kedua, ilmu yang dipelajari semata karena Allah (lillah). Ilmunya akan menanamkan i’tiqad imani yang kuat dalam hati. Sehingga orang dengan niat ini memiliki semangat yang tinggi, tidak cepat puas dalam pencapaian ilmunya. Hasilnya adalah yaqin, sukun nafs (ketenangan jiwa) , khasyatullah (takut pada Allah).
Oleh karena itu, ukuran kesuksesan belajar menurut Imam al-Ghazali tidak dipandang dari sisi kemampuan menghasilkan harta dan meraih kehormatan jabatan, akan tetapi orang yang belajar – apapun ilmu yang dipelajari, baik ulum al-din (ilmu-ilmu syari’at) atau ilmu-ilmu terapan sains – dikatakn sukses bila dia semakin sadar tanggung jawab terhadap dirinya sebagai manusia dan kepada Allah sebagai Sang Maha Pencipta, serta takut kepada-Nya.
Sumber ilmu hakikatnya satu, yaitu wahyu. Maka sebenarnya tidak perlu ada dikotomi antar ilmu agama dan ilmu umum. Kedua-duanya adalah sarana untuk menuju kepada-Nya. Tujuan Pencarian ilmu adalah sebagai perhiasan batin dan memperindahnya dengan keutamaan-keutamaan untuk meningkatkan kualitas bertaqarrub kepada Allah. Penekanan pada suatu ilmu, hendaknya dimaknai memasang skala prioritas, dan prioritas mesti diukur dari sisi kepentingan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sangat penting kita mengkaji konsep ilmu para ulama. Ulama kita ternyata kaya dengan filsafat ilmu, semoga kita ada kesempatan mengkaji khazanah ‘emas’ ini.Amiiiin.
Penulis adalah peneliti InPAS, alumni PKU ISID Gontor