Arti penting penelitian ini – menurut penulisnya -, bahwa dengan mengetahui teologi kontekstual Sadrach, maka kita dapat mengetahui secara baik tentang kekristenan orang Jawa, dengan harapan dapat disumbangkan bagi usaha kontekstualisasi gereja-gereja di seluruh dunia.
Menurut pendeta Soeparman Soediman Partonadi, bentuk dan pola baru kehidupan gereja dan misinya yang relevan dengan dunia yang multi aspek dan dengan perubahannya yang terus-menerus sangatlah diperlukan. Sekarang ini telah banyak usaha dilakukan untuk “menerjemahkan” injil dari satu budaya ke budaya lain. Karena pada dasarnya, melakukan misi berarti mengkomunikasikan injil sedemikian rupa sehingga dengan budaya yang berbeda mereka dapat memahaminya dalam “bahasa” mereka sendiri. Singkatnya, gereja sangatlah memerlukan teologi kontekstual. Teologi yang tidak kontekstual – yakni suatu ekspresi iman yang tidak memperhitungkan faktor-faktor sosial, sejarah, dan kebudayaan kontemporer dianggap salah.
Kontekstualisasi – sebagaimana halnya istilah-istilah inkarnasi, pembauran pribumi, inkulturasi, akomodasi – mengandung arti mencari teologi lokal, situasional atau teologi yang relevan. Teologi relevan senantiasa memperhitungkan situasi dan kebutuhan para pendengar, karenanya bersifat situasional (berbeda dari waktu ke waktu) dan lokal (berbeda dari satu tempat ke tempat lain). Komisi Misi dan Penginjilan Dunia (Commission on World Missions and Evangelism = CWME) dari Dewan Gereja-gereja Dunia berkumpul di Bangkok (1973) yang bertema “Salvation Today” menekankan bahwa :
Teologi yang benar adalah refleksi pengalaman jemaat Kristen di suatu tempat tertentu dan pada waktu yang tertentu pula. Jadi teologi yang benar sudah pasti harus merupakan teologi yang kontekstual, relevan, dan yang hidup tidak begitu saja mudah dijadikan universal, karena teologi semacam itu berbicara kepada dan muncul dari situasi nyata yang khas.
Kalau pembauran pribumi menekankan unsur-unsur lokal, agama tradisional dan budaya, maka kontekstualisasi tanpa mengabaikan unsur-unsur tersebut memberikan lebih banyak perhatian pada situasi sosial politik. Dewan Gereja se-Dunia menyebutnya sebagai “memperhitungkan proses sekularisasi, teknologi, dan perjuangan untuk keadilan”. Aspek yang ditekankan di sini adalah kebutuhan akan pembebasan, yang merupakan gambaran paling menonjol untuk konteks Dunia Ketiga. Kebutuhan akan kontekstualisasi dalam gereja-gereja Dunia Ketiga muncul bukan dari keharusan teoritis, melainkan dari keharusan praktis, dan oleh karenanya merupakan theologia praxeos (teologi aksi). Teologi semacam itu menekankan karya pembebasan Allah[2] dalam bidang ekonomi, politik, dan dari penindasan serta ketidakadilan sosial.
Stephen Bevans menyimpulkan bahwa suatu teologi akan disebut kontekstual apabila mempertimbangkan empat aspek, yaitu berita rohaniah tentang injil, tradisi orang-orang Kristen, kebudayaan bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan sosial dalam kebudayaan tersebut sejalan dengan kemajuan teknologi serta perjuangan demi keadilan dan kebebasan. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa kontekstualisasi sebagai pendekatan teologis bersifat komprehensif.
Sadrach sebagai pemimpin sekaligus jemaat yang dia bangun merupakan gejala luar biasa yang menimbulkan banyak isu misiologis di kalangan De Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging (Organisasi Misi NGZV) dan ZGKN (Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland), yang bertanggung jawab terhadap wilayah-wilayah misi di Jawa Tengah sesudah 1894. sejak pertengahan kedua abad XIX, Sadrach Surapranata – seorang pelopor penginjil Jawa yang menjadi pemimpin kharismatis orang-orang Kristen Jawa di seluruh Jawa Tengah – sangat menyita perhatian para pejabat kolonial Belanda, ZGKN dan orang-orang Kristen Jawa. Dia memiliki pengaruh besar bagi para pengikutnya dan sangat dihargai sebagai bapak spiritual mereka.
Sekalipun demikian, pemerintah lokal Belanda menganggap Sadrach sebagai seorang pemimpin pemberontak yang mengancam kestabilan ketenteraman dan ketertiban umum. Sedangkan misionaris Belanda pada umumnya menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap sebagai orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen. Karenanya, F. Lion Cachet[3] mengganti Karangjasa[4] yang berarti ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi Karangdosa, yang artinya ‘batu karang dosa’.
Jemaat yang muncul di sekeliling Sadrach mula-mula berasal dan tumbuh terpisah dari gereja colonial yang ada, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (selanjutnya disebut Indische Kerk) dan dari jemaat yang dibangun oleh gereja Gereformeerde Belanda. Sementara orang menyebutnya Sadrach’s Kring (Kelompok Sadrach) dan sebagian lainnya menamakan kelompok orang-orang Kristen Jawa. Namun, mereka memilih menamakan diri sebagai Golongan Wong Kristen Kang Mardika (Kelompok orang-orang Kristen yang bebas).
Jemaat Sadrach merupakan gejala keagamaan yang unik, sebab jemaat ini muncul bukan dari pelayanan misi Indische Kerk atau dari salah satu organisasi pekabar injil yang bertugas di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XIX, melainkan merupakan hasil karya para pekabar injil awam Kristen Indo Eropa yang merasa terpanggil untuk menginjil orang-orang Jawa. Karena jemaat dilahirkan dari budaya Jawa yang dipelihara, dikembangkan, dan dibangun oleh mereka yang menghargai budaya tersebut, maka muncullah suatu jemaat pribumi berpenampilan Jawa. Karena alasan inilah, para pekabar injil Belanda menaruh curiga pada jemaat Sadrach.
Kecurigaan ini dikarenakan ada sebuah asumsi yang dimiliki oleh para pekabar injil yang bekerja di Jawa pada abad XIX, bahwa orang-orang Jawa yang baru saja bertobat[5] harus melepaskan budaya lamanya supaya menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.
Sadrach dan Jemaatnya
1. Siapa Sadrach?
Sosok Sadrach sendiri sangatlah unik. Dia adalah seorang pribumi dari strata sosial bawah yang memiliki harga dan kepercayaan diri besar melebihi generasi sesukunya. Seorang pribumi dari strata sosial bawah seperti Sadrach duduk bersama dengan bangsawan dan orang Belanda dalam konteks masyarakat feodal-kolonial pada abad XIX merupakan hal yang sangat luar biasa, karena di mata masyarakat Jawa dianggap menyalahi tata krama yang harus dijunjung tinggi, dan di mata Belanda dapat ditafsirkan sebagai “pambalelo” (sikap menantang) terhadap supremasi kuasa kolonial. Itulah sebabnya ketika sebuah foto yang memperlihatkan J. Wilhelm (zendeling Belanda) dan Sadrach duduk bersama sebagai rekan sepelayanan yang dibuat 14 Juli 1885 dan dirilis di majalah zanding Heidenbode edisi November 1886 ternyata sangat menghebohkan kalangan zendeling di Jawa dan masyarakat zending di negeri Belanda. Sebuah foto yang pada waktu itu tentu dianggap memiliki nilai jurnalistik tinggi yang merupakan berita besar bagi masyarakat feodal dan kolonial.
Siapa sebenarnya Sadrach ini? Apa latar belakang keluarga dan pendidikannya? Hal ini sangat menarik untuk disimak. Tanggal dan tempat kelahiran Sadrach serta kedua orang tuanya tidak diketahui. Menurut berbagai sumber yang dapat dipercaya, ia dilahirkan sekitar tahun 1835, dari keluarga petani yang sangat miskin di dekat Jepara, Demak, atau di desa Luring dekat Semarang. Kesemua tempat ini terletak di daerah pantai Jawa Tengah bagian utara, tempat Islam pertama kali berpijak. Banyak Muslim santri dan haji yang tinggal di daerah ini.
Sadrach diberi nama Radin. Akhiran ‘in’ menjadi petunjuk di Jawa, bahwa ia berasal dari desa. Tetapi, petunjuk ini tidak berarti bahwa orang tuanya sangat miskin sehingga membiarkan Radin muda mengemis makanan, seperti yang dijelaskan Adriaanse.[6]
Radin muda belajar membaca Al-Qur’an di sekolah Al-Qur’an[7] yang juga berfungsi sebagai “sekolah umum”. Membaca Al-Qur’an dan sunat merupakan kewajiban resmi yang ikut membentuk identitas Jawa bagi setiap orang.[8] Gaya pengajaran bersifat informal dan individual.[9]
Tujuan utama sekolah Al-Qur’an ini adalah mempersiapkan anak-anak agar dapat memenuhi persyaratan minimum menjadi “orang Jawa”.[10] Untuk mencapai tujuan itu, murid diperkenalkan pada pelajaran dasar agama Islam dan kewajiban orang Jawa. Tuntutan mendasar yang diperoleh dari sekolah Al-Qur’an cukup memadai, tetapi bagi mereka yang tertarik dengan pelajaran lanjutan dapat meneruskan ke pesantren atau dengan guru ngelmu (ilmu) Jawa.[11]
Radin kemudian melanjutkan pendidikan agama ke pesantren di Jawa Timur. Namun sebelum ke pesantren, Radin terlebih dulu belajar si bawah bimbingan guru ngelmu Jawa, yaitu Pak Kurmen atau Sis Kanoman di Semarang. Tidak jelas berapa lama ia menjadi murid Pak Kurmen.[12]
Untuk memperoleh gambaran tentang pesantren pada abad XIX, pendeta Partonadi merujuk pada penelitian Brumund Het Volksonderwijs; Sartono, the Peasant’s Revolt; dan KA. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah. Setelah mengetahui riwayat pendidikan Radin, pendeta Partonadi menyimpulkan bahwa kepribadian Radin dibentuk oleh ajaran Muslim Jawa.[13] Namun, pendeta Partonadi memiliki hipotesa bahwa selama Radin nyantri di Jawa Timur, dia sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan beberapa jemaat Kristen Jawa. Tetapi kontak pertamanya ini belum membawanya ke pertobatan. Radin bertobat setelah ia pindah ke Semarang.
Di Semarang, Radin yang sempat tinggal di Kauman, bertemu dengan bekas guru ngelmu-nya, Pak Kurmen. Tetapi Pak Kurmen ternyata sudah menjadi Kristen, setelah dikalahkan oleh penginjil Jawa Tunggul Wulung dalam debat umum. Melalui Pak Kurmen inilah, Radin diperkenalkan dengan Tunggul Wulung. Agaknya kontak ini merupakan hal yang menentukan dan Radin menjadi sangat tertarik pada iman Kristen. Ia sangat terkesan oleh Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tidak harus diartikan meninggalkan adat Jawa.[14] Menurut P. Jansz, Tunggul Wulung pernah menegaskan keyakinannya bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi diri mereka sendiri.[15]
Pada tahun 1866, Radin memutuskan pergi ke Batavia, ditemani Tunggul Wulung, untuk menemui Anthing.[16] Anthing menyambutnya dengan hangat dan menerimanya sebagai pembantunya. Selama tinggal dengan Anthing, Radin mengambil keputusan yang sangat penting, yaitu dibaptis. Untuk persiapan pembaptisan, ia menerima katekisasi dari Mattheus Teffer, seorang pekabar Injil NZG dan teman dekat Anthing.[17] Pada tanggal 14 April 1867, Radin dibaptis oleh Rev. Ader, pendeta dari Indische Kerk, Buitenkerk. Nama Sadrach diambil dari Al-Kitab, disebutkan dalam Daniel 3 bersama Mesakh dan Abednego.
Ciri-Ciri Khas Jemaat Sadrach
Ketika membicarakan jemaat Sadrach sebagai “lembaga gereja”, terdapat anomali; tidak seperti lembaga gereja lainnya, bisa dikatakan Sadrach tidak menerapkan manajemen organisasi dengan rigid, meski keanggotaan jemaatnya di Jawa Tengah meningkat pesat. Perhatian utamanya terfokus pada menyebarkan ngelmu baru dengan mengajar mereka yang tertarik. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan aspek spiritualitas dibanding kelembagaan gereja. Model pengelolaan gereja semacam ini terbentuk pasca periode Stevens-Philips[18]
Setiap jemaat bersifat mandiri karena memiliki imam sendiri yang merupakan pemimpin yang menggembalakan jemaat setempat. Selain imam, jemaat setempat juga mempunyai carik yang bertanggung jawab atas urusan-urusan administratif. Meskipun demikian, kemandirian jemaat setempat tidak menyebabkannya terpisah dari hubungan persekutuan jemaat yang lebih luas. Mereka secara keseluruhan terpadu dalam satu “keluarga besar” yang melampaui batas-batas geografis. Hal ini merupakan prestasi yang berarti mengingat bahwa pada abad XIX, transportasi yang buruk nyaris mengisolasi desa-desa di Jawa. Banyak jemaat yang berada di dataran tinggi yang hanya dapat dicapai dengan berkuda atau berjalan kaki.
Bagaimana jemaat-jemaat setempat tersebut dapat mempertahankan kesatuannya dalam kondisi pedesaan yang semacam itu, kiranya penjelasan di bawah ini mampu menjawab keheranan tersebut :
Pertama, hubungan guru-murid yang kental dalam masyarakat Jawa, suatu sifat khas masyarakat pedesaan, merupakan factor pemersatu yang sangat berarti. Sadrach dikenal sebagai seorang guru dari suatu “ngelmu” tertentu. Sebagaimana guru-guru lainnya yang membentuk kelompok-kelompok murid, “ngelmu” ini mempersatukan mereka secara spiritual. Sesungguhnya, banyak orang luar yang memandang jemaat Sadrach sebagai “paguron”[19] biasa. Murid-murid Sadrach tidak menampilkan diri sebagai orang-orang Kristen yang telah membangun jemaat yang unik dan eksklusif seperti gereja misi, tetapi mereka dianggap tidak ada bedanya dengan komunitas Jawa pada umumnya.
Pada tahap awal, jemaat Sadrach dapat dibandingkan dengan jemaat Kristen Perjanjian Baru yang mulanya hanya dianggap suatu sekte Yahudi. Residen Lightvoet pernah menyatakan bahwa jemaat Sadrach merupakan suatu sekte kekristenan baru yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam dan mirip dengan jemaat Muslim Jawa.[20] Pada pihak lain, orang-orang Islam menganggapnya sebagai sekte Islam dengan warna Kristen. Hal inilah yang barangkali dapat menjadi pembenaran bagi pernyataan Heyting bahwa orang-orang Islam bersikap sangat toleran terhadap jemaat Sadrach. Lebih jauh, Adriaanse menggambarkan jemaat Sadrach bagaikan dibangun di atas dasar sistem kekeluargaan Jawa yang luas, dengan penekanan pada hubungan emosional dan personal.
Sebagaimana seorang guru Jawa, Sadrach menjadi tokoh pemersatu dalam jemaatnya. Kesetiakawanan dan persatuan dibangun atas dasar keadaran telah menerima “ngelmu” yang sama dari guru yang sama (istilah Jawanya : “nunggal guru lan ngelmu”). Dalam kaitan ini, Heyting menyatakan bahwa jemaat bersatu ibarat satu tubuh dengan Sadrach sebagai kepalanya. Para pengikut menyebutnya “gembala agung” dan “guru imam”. Kedudukan Sadrach dalam hubungan semacam itu menjadi actor kuat yang menjaga kesatuan jemaat.
Kedua, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat juga berperan besar dalam menjaga persatuan. Dalam masyarakat pedesaan Jawa, para pendiri dan pemimpin desa biasanya mempunyai kekuasaan yang besar dan karenanya juga memiliki hak-hak istimewa. Sebagai pendiri jemaat, Sadrach melaksanakan haknya menunjuk para imam dengan hati-hati.
Ketiga, rapat rutin para sesepuh dan rapat tahunan yang diadakan di Karangjasa menjadi factor yang sangat mendasar dalam menjaga persatuan. Karena Karangjasa, tempat tinggal Sadrach menjadi pusat kekristenan Jawa, maka pertemuan rutin ini mempunyai andil yang sangat besar dalam menggalang perasaan persatuan kesatuan dan kesetiakawanan di antara para anggota. Para sesepuh dari jemaat-jemaat setempat mengikuti pertemuan yang bersifat informal dan personal – bagaikan guru-guru (imam-imam setempat) dengan guru-guru mereka yang lebih tinggi (Sadrach). Para sesepu ini melaporkan segala permasalahan yang dihadapi oleh jemaat setempat, seperti hubungan dengan penguasa setempat, pertumbuhan jemaat, pendirian gereja baru, mengusulkan calon-calon imam. Pendeknya, segala hal yang berkaitan dengan kehidupan jemaat secara keseluruhan dibicarakan dan masalah-masalah dipecahkan.
Belakangan, pertemuan ini berangsur-angsur mendapat tempat di hati jemaat sebagai pengejawantahan kesatuan mereka. Pertemuan raya tahunan, yang disebut kumpulan gedhe, tidak hanya dihadiri oleh para sesepuh, tetapi juga oleh anggota-anggota lain yang berbondong-bondong ke Karangjasa. Heyting mengibaratkannya tempat suci umat Roma Katholik yang menarik banyak peziarah. Pertemuan itu lalu ditambah oleh acara perayaan – pesta iman. Orang-orang Kristen Jawa datang ke Karangjasa dari segala penjuru dan membawa makanan sendiri untuk perayaan tiga hari itu. Acaranya meliputi upacara kebaktian yang dipimpin oleh Sadrach yang dilanjutkan dengan duduk lesehan sambil santap bersama. Hal ini mengingatkan akan tradisi Jawa “slametan”, perjamuan syukur yang bersifat keagamaan.
Keempat, persatuan jemaat terpelihara berkat kerja sama wakil-wakil Sadrach. Ia memilih tiga orang sebagai pembantu utamanya dan mempercayakan beberapa tanggung jawab tertentu. Heyting menyebutkan ketiga pembantu itu adalah Yohanes Kramawijaya, Markus Bangsareja, dan Musa Wirawijaya. Menurut Heyting, Yohanes bertindak sebagai wakil imam dan memimpin jemaat selama Sadrach dipenjara. Ia sangat dihormati. Selanjutnya Musa berfungsi sebagai carik dalam jemaat. Ketiga orang itu memiliki latar belakang ngelmu dan ditobatkan oleh Sadrach. Yohanes pernah menjadi murid seorang guru terkenal, Kesanmetaram. Sedangkan Markus, saudara Yohanes, menjadi pengikut guru Wira Mohammad. Yohanes dan markus sering sekali disebut-sebut dalam buku harian Wilhelm karena pekerjaan mereka saling berhubungan. Mereka adalah dua di antara dua puluh sesepuh yang menyetujui pengangkatan Wilhelm menjadi pendeta jemaat. Markus dan Musa adalah guru Injil. Sedangkan Yohanes merupakan ketua para sesepuh di Karangjasa. Wilhelm mencatat bahwa ketiga orang itu juga merupakan anggota sinode yang terdiri atas tujuh orang dan Musa menjadi sekretarisnya. Menurut Kalender resmi 1891, ketiga orang tersebut berada dalam daftar sepuluh guru agama. Yohanes dan Markus adalah guru agama dari Karangjasa dan Musa dari Karangtalun.
Jelaslah bahwa posisi para wakil sangat penting dan diakui wibawanya baik oleh jemaat setempat maupun seluruh jemaat. Kepemimpinan mereka diterima karena mereka telah bekerja dengan Sadrach sejak lama sekali. Mereka banyak melakukan kunjungan pastoral dan penginjilan secara sendiri-sendiri dan bersama-sama. Menurut Heyting, tugas mereka sebagai wakil adalah mendorong para pengikut untuk mencintai iman mereka yang baru, menjelaskan sikap dan pendapat Sadrach terhadap hal-hal yang sulit, melakukan penginjilan, menetapkan wilayah pekabaran Injil, memenuhi kebutuhan jemaat, mencari calon-calon pemimpin jemaat setempat, dan melaksanakan keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan para sesepuh di Karangjasa.
Jemaat setempat memperoleh dukungan dan kemudahan dari system tersebut. Selain dari sesepuh setempat, para anggota mendapatkan informasi yang lebih baik selain dari para sesepuh setempat. Komunikasi terjalin antara lokal dan “supra lokal”, pinggiran dan pusat, melalui para sesepuh dan para wakil. Antara keinginan jemaat keseluruhan dan jemaat setempat tercapai keseimbangan, sehingga setiap jemaat mendapat keuntungan dari system tersebut.
Struktur asli jemaat Sadrach dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1) Organisasi jemaat tumbuh dan berkembang segaris dengan budaya Jawa. Strukturnya sangat sederhana – mirip dengan system paguron atau pesantren tradisional. Yang ditekankan adalah hubungan personal dan emosional, sehingga lebih menitikberatkan aspek-aspek spiritual daripada aspek kelembagaan (organisasi) gereja. Jemaat dibentuk menurut model kekeluargaan.
2) Seiring dengan perkembangan jemaat yang pesat, kebutuhan pun meningkat. Oleh karena itu, suatu bentuk organisasi sangat diperlukan. Maka, ditunjuklah para pembantu di tingkat lokal sebagai imam dan tiga orang wakil di tingkat “supra lokal”, yang wibawanya diakui dan diterima oleh semua jemaat setempat.
3) Pertemuan rutin dihadiri oleh semua pemimpin jemaat setempat dan anggota-anggota lain yang ingin hadir. Pertemuan ini mempunyai fungsi mempersatukan jemaat. Persatuan dapat dipertahankan dengan model hubungan guru-murid, dengan wewenang Sadrach mengangkat imam setempat, pertemuan rutin di Karangjasa, dan kerja sama tiga wakil Sadrach.
Kemampuan jemaat Sadrcah untuk tetap dekat dengan budaya Jawa sangatlah penting jikalau ditinjau dari kenyataan bahwa kekristenan dalam abad XIX dipandang oleh masyarakat umum sebagai agama kolonial. Para pekabar Injil Belanda dianggap sebagai bagian dari rezim colonial dan kekristenan sebagai kaki tangan asing dengan cap Barat. Jenis budaya imperialis semacam ini cenderung menyebabkan aliansi dalam banyak hal, tetapi jemaat Sadrach dapat mengatasi konotasi negatif ini dan mampu menghadirkan kekristenan dalam terang yang baru dan lebih bersifat Jawa.
*Penulis adalah Peneliti InPAS
[1] Di sini pendeta Partonadi menggunakan term ‘kiai’, karena Sadrach menjadi tokoh sentral dalam kehidupan jemaat. Perannya mirip dengan guru atau ‘kiai’ Jawa di tengah para pengikut dan santrinya. Lebih jelasnya lihat di halaman 150-178.
[2] Di sini pendeta Partonadi menggunakan term ‘Allah’ untuk mengidentifikasi ‘tuhan’ dalam Kristen, meskipun term itu sangat bermasalah ketika dipakai oleh umat Kristiani sebab hanya Islam-lah satu-satunya yang berhak menggunakan term ‘Allah’ sebab term ‘Allah’ ada dalam Al-Qur’an dan Allah sendiri yang memberi nama bagi diri-Nya.
[3] F. Lion Cachet adalah penulis buku Een jaar op reis in dienst der Zending, yang di dalamnya diuraikan jemaat Kristen Jawa selama dia melakukan pengamatan. Persepsinya merefleksikan pandangan sosok yang berkuasa besar yang berasal dari negara yang memiliki peradaban tinggi. Norma yang dipakai untuk mengukur situasi di Jawa Tengah bersifat kebarat-kebaratan dan etnosentris serta sikapnya yang superior tercermin dalam keseluruhan buku tersebut. Pendapatnya mengenai orang-orang Jawa secara umum sangat kasar – dia memandang mereka sebagai orang-orang primitive dan kurang beradab. Pendapatnya tentang orang Kristen Jawa bahkan lebih kasar lagi – dia memandang Sadrach sebagai pembohong dan jemaatnya sebagai orang-orang non-Kristen. Lihat hal. 10 bagian Pendahuluan.
[4] Karangjasa adalah sebuah desa terpencil di bagian selatan Bagelen, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan abad XIX desa ini sangat dikenal oleh para pejabat pemerintah colonial Belanda, ZGKN dan orang-orang Kristen Jawa. Desa ini menjadi sangat terkenal karena di sanalah Sadrach memimpin jemaatnya sampai-sampai Karangjasa menjadi pusat kekristenan orang Jawa. Lihat hal. 1.
[5] ‘Bertobat’ diartikan sebagai masuk ke dalam agama Kristen. Di kalangan para pekabar injil gereformeed yang bekerja di Jawa pada abad XIX, orang-orang Jawa yang masuk Kristen harus menjalani proses “pem-Belanda-an”, dalam artian mereka tidak hanya menerima iman Kristen tetapi sekaligus juga merasuk “kultur Kristen” dengan meninggalkan ke-Jawa-annya. Apalagi dengan motto zendeling gereformeed yang ingin memberitakan injil semurni dan seasli mungkin (loutere en zuivere vekondiging) menambah legitimasi “tuntutan” membelandakan orang-orang Jawa yang masuk Kristen. Pada waktu itu berkembang anggapan bahwa agama Kristen adalah agama Belanda. Dengan sendirinhya menjadi Kristen berarti sama saja dengan menjadi Belanda dan akan “terasing” dari koneksi kulturnya sendiri. Proses pembelandaan orang-orang Jawa ini kemudian melahirkan “poros baru” yang bisa dikatakan “floating mass” atau dalam ungkapan Jawa Landa wurung, Jawa tanggung, yang artinya batal menjadi orang Belanda, tetapi juga tidak lagi menjadi orang Jawa sepenuhnya. Lihat hal. xv-xvi bagian Sekapur Sirih.
[6] L. Adriaanse adalah penulis buku Sadrach’s Kring (1899), yang merefleksikan pandangan seorang pekabar injil Belanda, tetapi dari posisi yang lebih lunak. Adriaanse yang bekerja dan tinggal di Jawa Tengah berusaha memahami jemaat Sadrach dari “dalam”. Dia tidak hanya mengenal Sadrach secara pribadi, tapi juga mengenali kehidupan orang Jawa dan budayanya. Dia memiliki tujuan yang berbeda dengan Cachet, yakni bekerja sama dengan Sadrach dan jemaatnya dengan harapan bahwa ia dapat menjembatani jemaat tersebut dengan organisasi pekabar injil Belanda. Pendekatannya yang tergambar dalam bukunya itu terlihat sangat simpatik. Meskipun dia sudah berulang-ulang melakukan usaha, Adriaanse tetap berhati-hati dalam pendekatannya kepada Sadrach. Namun demikian, ia menganggap Sadrach sebagai seorang penginjil Jawa yang pengetahuan kekristenannya tidak memadai dan karenanya dalam bidang tertentu bimbingan dan kepemimpinannya tidak tepat. Dia merasa bahwa Sadrach salah menafsirkan beberapa pokok doktrin Kristen dan sebagai akibatnya pemahaman jemaat tentang kebenaran Kristen sangat lemah. Seperti halnya para pekabar injil Belanda lainnya, L. Adriaanse tidak berhasil memahami jemaat Sadrach sebagai suatu ekspresi iman kristiani yang berakar pada berbagai sumber yang berasal dari pekabar-pekabar injil Belanda dan organisasi misi pada umumnya memuat kegagalan jemaat Jawa dalam upaya menjadi jemaat Kristen yang benar.
[7] Pada masa sekarang, sekolah Al-Qur’an ini disebut TPQ/TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an).
[8] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Islam telah berurat-berakar dalam diri orang Jawa pada umumnya bahkan tradisi Islam ini diadopsi oleh masyarakat Jawa. Tapi pendeta Partonadi gagal mengidentifikasi hal ini sehingga mengira tradisi membaca Al-Qur’an dan sunat adalah identik dengan identitas Jawa, padahal itu semua adalah ajaran Islam. Sebelum Islam datang, tidak ada orang Jawa yang membaca Al-Qur’an dan sunat.
[9] Mungkin yang dimaksud gaya pengajaran bersifat informal dan individual ini adalah sistem pengajaran talaqqi
[10] Sekali lagi, pendeta Partonadi gagal mengidentifikasikan Islam. Dia tidak bisa membedakan ajaran Islam dengan ajaran Jawa, sehingga menyangka belajar membaca Al-Qur’an adalah salah satu syarat menjadi orang Jawa.
[11] Di buku ini tidak dijelaskan secara mendetail apa itu ngelmu Jawa. Apa saja yang dipelajari dan apa tujuan ngelmu Jawa, dan mengapa ngelmu Jawa ini tidak disebutkan sebagai syarat menjadi orang Jawa seutuhnya? Pendeta Partonadi malah menyebutkan bahwa salah satu syarat minimum menjadi orang Jawa seutuhnya adalah belajar membaca Al-Qur’an. Lihat halaman 64.
[12] Interaksi Radin dengan Pak Kurmen bisa jadi juga turut andil dalam membentuk kepribadian Radin.
[13] Istilah ‘Muslim Jawa’ ini sendiri sangat rancu dan berbahaya. Hal ini seolah menyiratkan bahwa ‘seorang Islam tetaplah seorang Jawa’. bukan sebaliknya. Dalam konteks Radin, antara menjadi orang Islam dengan menjadi orang Jawa itu berbeda. Hal ini dibuktikan dengan proses pendidikan yang dia jalani mengambil dua tempat yang sangat berbeda, dari segi tujuan, metode, serta kurikulum. Radin mungkin sadar, bahwa untuk menjadi seorang Jawa, dia tidak bisa hanya belajar di pesantren. Dia harus ngelmu Jawa. Arti penting menjadi orang Jawa akan Radin buktikan dalam memimpin jamaahnya. Radin melakukan sinkretisme antara ajaran Kristen, Islam, dan Jawa. Sinkretisme ini Radin lakukan demi mencapai sebuah kontekstualitas. Pada abad XIX, masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam, dengan pembagian Islam putihan dan Islam abangan. Sebenarnya, pembagian tersebut menyesatkan, mengingat para da’i, termasuk para pengajar pesantren yang santer dituduh melakukan sinkretisme – dan tuduhan ini terbukti salah alamat – melakukan purifikasi sejak pertama kali mereka datang (keterangannya bisa dilihat pada buku Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia karya Abdul Qadir Djaelani, penerbit Bina Ilmu, 1994). Jadi yang disebut Islam abangan itu sebenarnya adalah pengusung sinkretisme, sehingga yang harus kita jadikan rujukan tentunya golongan Islam putihan yang berhasil melakukan Islamisasi – bukan sinkretisme – dalam dakwahnya.
[14] Hal ini membuktikan bahwa para da’i serta pengajar di pesantren-pesantren di Jawa saat itu melakukan pemurnian ajaran Islam, dengan memisahkan antara ajaran Islam dengan ajaran Jawa. Mereka tidak melakukan sinkretisme seperti yang selama ini menjadi anggapan umum. Bahwa menjadi orang Islam, berarti harus meninggalkan adat Jawa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itu merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima setiap orang Jawa yang telah memeluk Islam.
[15] Laporan zendeling Jansz pada tanggal 7 April 1862 kepada Pengurus Yayasan Zending DZV.
[16] Anthing adalah seorang Kristen fanatik yang merasa dipanggil tuhan untuk menjadi pendeta.
[17] Coolsma, De Zendingseeuw, hal. 838-840; Adriaanse, Sadrach’s Kring, hal. 50; Muller Kruger, hal. 140; Guillot, L’Affaire Sadrach, hal. 122; Kiai Sadrach, hal. 61.
[18] Stevens-Philips merupakan pelopor berdirinya “House Church” yang tidak mengikuti pola gereja yang sudah ada, tetapi mengembangkan karakternya sendiri yang unik. Dalam “House Church” tersebut, Stevens-Philips sangat dihormati dan menjadi tokoh sentral dalam jemaat tersebut. Dia berperan sebagai guru dan memperlakukan para anggota sebagai murid-murid dan “cucu-cucunya”. Pada tahap ini, jemaat merupakan model “primitif” dari sistem “paguron” Jawa dengan organisasi dan kepemimpinan yang sangat sederhana.
[19] Paguron Jawa yang muncul di sekitar seorang tokoh guru pada dasarnya merupakan komunitas guru atau kiai dengan para muridnya. Penekanannya pada ide persaudaraan. Hubungan guru dan murid ditandai oleh sumpah setia para murid terhadap guru mereka. Komunitas semacam ini sangat menekankan kasih satu sama lain dan karena itu sangat kondusif bagi terciptanya solidaritas di antara para anggota.
[20] Lightvoet, Laporan, tertanggal 27 Maret 1882.