Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Siapa tidak kenal Hujjatul Islam Imam al-Ghazali? Beliau hidup di masa Perang Salib. Jasanya memperbaiki kerusakan ilmu yang berbuah kemenangan Islam patut dijadikan ibrah kita semua saat ini.
Beliau hidup antara tahun 1058 M-1111 M. Ketika kesultanan mengalami kekacauan, baik politik maupun akhlak, Imam al-Ghazali menarik diri dan melepas jabatan dari guru besar madrasah Nidzamiyah. Imam Al-Ghazali mengamati segenap tujuan dan perilaku pejabat dan ulama yang makin menjauhi adab.
Sementara itu, pada pihak yang lain umat dirasuki fanatisme berlebihan terhadap kelompok dan gurunya. Sehingga terjadilah afiliasi kepada madzhab tidak lebih dari alat untuk memperoleh jabatan politis dan keuntungan duniawi. Dua faktor ini dilihat sebagai penyebab matinya ilmu. Dan matinya ilmu merupakan tanda matinya peradaban Islam. Matinya peradaban zaman itu salah satunya, ditandai dengan kekalahan dalam Perang Salib I dan perang saudara antar penguasa Muslim.
Dalam kitabnya Faishul Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah mendeskripsikan kondisi umat dengan pengkafiran terhadap pengikut madzhab lain. Antar pengikut madzhab saling berseteru dengan sangat emosional. Atas keadaan umat yang saling berpecah-belah ini, imam al-Ghazali mengajukan kritik keras terhadap ulamanya.
Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II beliau mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Dalam perjalanan keilmuannya, imam al-Ghazali sampai pada satu kesimpulan penting bahwa perpecahan umat disebabkan umat terjangkiti penyakit fanatisme. Penyakit ini lahir karena umat lemah dalam metodologi dan frame kajian keislaman. Umat juga menjadi cinta dunia takut mati disebabkan bodohnya terhadap ilmu-ilmu akhirat.
Intinya, beliau menjadikan ilmu dan ulama sebagai poros kebangkitan Islam. Kita lihat beliau menulis kitab dengan judul Ihya Ulumuddin, yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Kitab itu dibukan dengan bab ilmu dan keutamaannya.
Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang luas dan lengkap. Ia menemukan, kelemahan kaum Muslimin ternyata bermuara kepada kelemahan moral dan jiwa. Krisis politik dan militer disebabkan rusaknya jiwa kaum Muslimin. Dan kehancuran jiwa diakibatkan kekacauan ilmu.
Memang atas pilihannya tersebut, imam al-Ghazali sempat diragukan bahkan dikritik karena tidak membahas panjang lebar dalam kitabnya itu tentang bab jihad. Padahal saat itu, sedang berkecamuk perang Salib dimana kaum Muslimin mengalami kekalahan demi kekalahan.
Namun, siapa sangka panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi lahir dari generasi didikan imam al-Ghazali. Sehingga tidak salah dikatakan the key to Jerussalem is Ihya Ulumuddin. Semoga akan lahir generasi-generasi al-Ayyubi yang membawa panji Islam di atas semangat ukhuwah Islamiyah.