Prestasi Cemerlang
Dia adalah Imam Al-Ghazali yang lahir di Thus pada 1058. Dia tokoh terkemuka dan memiliki pengaruh luas. Pemikirannya menyebar ke segenap penjuru dunia Islam.
Menukil Thabaqat Asy-Syafi’iyah 6/194, www.muslim.or.id 10/5/2008 menulis bahwa ayah Al-Ghazali adalah seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya sebagai pembuat pakaian kulit. Sang ayah, suka mengunjungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka. Saat di majelis itu, sang ayah kerap menangis dan berdoa agar diberikan anak yang faqih dan ahli memberi nasihat.
Al-Ghazali belajar sejak kecil. Dia memelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar-Radzakani di Kota Thus. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al-Isma’ili dan menulis buku At-Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thus.
Dengan mengutip Adz-Dzahabi –Siyar A’lam Nubala’ 19/323- dan As-Subki –Thabaqat Asy-Syafi’iyah 6/191- situs yang sama menulis bahwa Al-Ghazali mendatangi Kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al-Juwaini. Diapun berhasil menguasai fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Di periode ini dia dapat menyusun tulisan yang membuat kagum sang guru.
Pada tahun 484 H dia ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah. Kala itu usianya tiga puluhan tahun. Di sinilah dia berkembang, mencapai kedudukan tinggi, dan terkenal.
Pada tahun 489 H Al-Ghazali pergi ke Damaskus dan tinggal beberapa waktu. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di Menara Barat Masjid Jami’ Damaskus. Dia tinggal di sana dan menulis sejumlah kitab termasuk Ihya’ Ulumuddin.
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, Al-Ghazali diminta tinggal di Naisabur. Al-Ghazali-pun datang ke Naisabur dan mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah.
Di bagian akhir kehidupannya, Al-Ghazali kembali memelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahabi, bahwa di saat itu Al-Ghazali “Menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat”.
Al-Ghazali yang wafat pada 1111 dikenal cerdas, teliti, dan kuat hafalannya. Dia sangat dikenal menguasai fiqh mazhab Syafi’i. Sementara, di bidang teologi, tafsir, tasawuf, filsafat, dan syair Arab dia pun tak kalah ahli. Dia termasuk tokoh Islam yang berprestasi mengagumkan, antara lain karena dia tergolong sebagai penulis yang produktif. Ada dua ratusan karya tulisnya, termasuk Ihya’ Ulumuddin.
Ilmu, Ilmu!
Al-Ghazali punya peran cukup besar dalam menentukan kemenangan umat Islam di Perang Salib. Di “babak awal” Perang Salib, kaum Muslim kalah. Lalu, Al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa kekalahan pada saat itu diakibatkan aqidah plus akhlaq umat Islam rusak.
Dengan cara apa memerbaikinya? Al-Ghazali menilai, bahwa hanya dengan menghidup-hidupkan kembali ilmu-ilmu agama sajalah, kebaikan dan kemenangan bisa diraih. Al-Ghazali merekomendasikan agar sesegera mungkin membenahi keilmuan. Dalam konteks ini, maka yang harus terlebih dulu dibenahi adalah para ulama.
Melalui Kitab Ihya’ Ulumuddin –yang bermakna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”- kita menjadi tahu bahwa Al-Ghazali memang benar-benar meyakini bahwa langkah paling tepat mengangkat derajat umat hanyalah lewat pembenahan keilmuan mereka. Dia kobarkan semangat berilmu lewat bab pertama dari buku legendaris tersebut.
Bukalah buku itu! Maka, kita akan dengan mudah mendapatkan bahasan tentang “Ilmu” di bagian awal. Bab I berjudul “Tentang Keutamaan Ilmu, Mengajar, Belajar dan Dalil-dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Akal”.
Ayat-ayat yang dijadikan hujjah Al-Ghazali, secara sendiri-sendiri sebenarnya telah cukup sering kita baca. Tapi, yang membedakan adalah saat dia hubung-hubungkan dengan landasan hujjah yang lain. Misal; “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)(QS Ali-‘Imraan [3]: 18).
Apa catatan Al-Ghazali atas ayat itu? Dia bilang, “Lihatlah bagaimana Allah memulai dengan diri-Nya. Lalu, dengan malaikat. Lantas, dengan ahli-ahli ilmu. Dengan ini, cukuplah bagi Anda untuk mengetahui tentang kemuliaan, keutamaan, kejelasan, dan kelebihan orang-orang ahli ilmu”.
Lalu, Al-Ghazali menggandengkan ayat itu dengan ayat ini: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).
Ulama berada di level paling tinggi dalam hal keutamaan dan kemuliaan di antara berbagai ‘strata’ orang yang berilmu pengetahuan. Maka, untuk menggambarkan seperti apa kedudukan ulama yang sangat mulia itu, Al-Ghazali-pun mengutip Ibnu Abbas RA, bahwa: “Para ulama memeroleh beberapa derajat di atas kaum mukminin dengan tujuh ratus derajat yang mana antara dua derajat itu perjalanan lima ratus tahun .”
Tentu, halaman ini sangat terbatas untuk sekadar ‘memindah’ bab tentang “Ilmu” ini. Tapi, yang layak segera kita carikan relevansinya adalah pengaruh positif buku itu. Dan, fakta di Palestina di saat Perang Salib, bisa menjadi bukti. Semangat umat tersulut hebat dalam berilmu. Kaum Muslimin di Palestina pulih ghirah keagamaannya. Mereka bisa bangkit dari keterpurukannya selama puluhan tahun.
Ketika kaum beriman menjadikan aktivitas berilmu dan -pada saat yang sama- beramal yang sesuai dengan ilmu itu, maka –sungguh- derajat tinggi akan bisa dicapainya. Dan, Perang Salib yang kemudian dimenangkan kaum beriman adalah sebagian dari bukti itu. Di titik ini, Al-Ghazali akan selalu tercatat sebagai pengobar semangat berilmu. []