Sikap Anti-FPI: Resistensi Menuju Negara Beradab

Kehilangan Adab

Muslim Indonesia mencita-citakan negeri ini menjadi negeri beradab. Yakni Negara yang masyarakatnya beriman. Islam tidak mengajarkan kekerasan, Islam juga tidak mentolelir budaya-budaya amoral; seperti minuman keras (miras), perzinahan, aksi penyesatan akidah, pemurtadan dan lain-lain. Ketika ada usaha dari masyarakat muslim untuk menata budaya-budaya amoral tersebut kita harus mendukungnya. Bukanya memfitnah sebagai kelompok yang melanggar HAM, dan berlaku tindak kekerasan, tanpa terlebih dahulu mendalami duduk perkaranya.

Kita terkadang terlalu bernafsu dan gegabah memvonis yang mengakibatkan terjadi kerancuan dan pandangan yang parsial. Akibatnya, yang beradab dianggap biadab, yang biadab disebut pejuang adab.

Salah satu contoh yang bisa kita potret adalah, demo menolak FPI yang dilakukan oleh aktivis Liberal, feminisme, penganut homoseks, lesbian dan waria pada Selasa 14/02/2012 di bundaran HI Jakarta. Kelompok yang menamakan “Koalisi Rakyat Indonesia Tanpa FPI” itu memajang poster menuntut pembubaran ormas prokekerasan. Aksi ini sekaligus dalam rangka merayakan hari Valentine, yaitu momen yang biasa menjadi ajang seks bebas anak-anak tidak beradab. Namun, kekerasan yang dimaksud di sini masih rancu. Seperti rancunya, istilah terorisme.  

Sayangnya, koalisi penganut dan pendukung budaya amoral seperti lesbianisme dan homoseks itu tidak ditolak oleh pejabat tinggi. Justru Mendagri memberi peringatan kepada FPI, ormas yang selama ini bergerak memperjuangkan menutup tempat-tempat yang menjadi ajang  maksiat dan penolak bentuk-bentuk penodaan agama. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan telah mengeluarkan teguran kedua kepada organisasi masyarakat ormas Front Pembela Islam (FPI) (tribunnews.com 15/02/2012).

Peringatan akan membubarkan FPI itu sontak disambut gembira oleh aktivis Islam Liberal dan kaum homoseks. Sebab selama ini FPI menolak keras budaya homoseks dan penyimpangan agama kaum Islam Liberal.

Ada tanda tanya besar di sini? Kenapa pejabat justru mendiamkan aksi-aksi kaum homoseks yang menjadi sumber virus HIV/AIDS dan –sebaliknya- memberi peringatan keras terhadap kelompok yang menolak homoseks? Wajah Indonesia seperti apa yang diinginkan pejabat kita? Pertanyaan ini semakin menjadi misteri ketika aksi menolak FPI itu dilakukan justru pada saat FPI baru saja mengalami teror di Palangkaraya.

 

Kekerasan non-Fisik

Ternyata inti persoalannya sesungguhnya adalah bukan soal kekerasan atau tidaknya sekelompok masyarakat. Buktinya, aksi-aksi kekerasan dan brutal yang dilakukan ormas underbow parpol tertentu tidak pernah diperingatkan keras. Kelompok-kelompok pembakar gedung DPRD pada Pilkada juga didiamkan tidak diusut ke pengadilan. Belum lagi, kekerasan supporter klub sepak bola, tak terhitung lagi. FPI justru digugat pada saat baru saja mengalami kekerasan. Di negeri ini, konsep kekerasan itu kadang terkaburkan.

Harusnya kita cerdas membaca situasi. Sesungguhnya inti persoalannya adalah keberatan sebagian kelompok kecil terhadap dakwah-dakwah Islam yang ingin menata keadaban dengan menolak budaya homoseks, mencegah kemaksiatan dan meluruskan penyesatan agama. Mereka yang berpaham liberal bercita-cita mengegolkan halalnya homoseks dan lesbianisme.

‘Perang’ itu, terjadi antara pro-budaya liberal dengan kelompok yang mencita-citakan budaya beradab religius. Ketika kelompok proliberal mengkampanyekan bolehnya lesbianism, homoseks, penyesatan tafsir al-Qur’an, bolehnya menghujat Sahabat Nabi SAW dan lain-lainnya, ini dapat ditafsirkan sebagai aksi kampanye kekerasan non-fisik. Kekerasan bentuk ini jauh lebih besar mudlaratnya. Memang, secara fisik pelegalan homoseks, lesbi dan penistaan agama itu tidak tampak menunjukkan ‘wajah menyeramkan’. Namun akibatnya, justru menciptakan manusia-manusia yang biadab (tidak beradab).

Ada analisis menarik soal ini. Mereka yang terlalu konsentrasi pada kekerasan fisik daripada kekerasan non-fisik mirip seperti mindset Barat sekuler yang epistemologinya mempercayai kebenaran fisik, menolak yang metafisik. Orang yang ber-mindset sekular akan mengatakan; ‘pemikiran liberal (baca: kekerasan non-fisik) itu bukan problem, tidak mengancam nyawa manusia. Justru yang diperangi itu ‘kekerasan fisik’. Mindset ini adalah warisan Sosiolog August Comte yang pernah mengatakan kebenaran metafisik itu tidak ada, ilusi. Comte membuat parameter bahwa kebenaran itu hanya jika bisa dibuktikan secara fisik. Inilah logika sekular. Terlalu menyederhanakan persoalan, logikanya tidak berasas.

Logika tersebut kemudian ditambah dengan frame pemikiran sekular yang benci terhadap hal-hal yang berbau agama. Sedikit saja agama berbuat, langsung dicurigai. Seperti kata Charles Kimballs: ”Kata agama itu menampilkan gambaran perilaku destruktif (merusak) atau bahkan menjengkelkan” (Charles Kimballs, Kala Agama Jadi Bencana, hal. 50). Ia sinis menyebut agama itu sumber masalah. Pandangan ini populer dalam mindset orang Barat sekuler.

Jika frame tersebut dianut masyarakat kita, maka otomatis mereka sangat sensitif dengan dakwah agama. Apapun bentuk gerakan dakwah pasti akan dicemooh dan dicurigai sebagai orang fanatik. Istilah fanatik pada agama pun menjadi negatif. Walhasil, jika pemikiran masyarakat kita masih seperti itu, cita-cita menjadikan negeri ini beradab masih jauh dari harapan.

Maka, jika negarawan menjadikan Pancasila sebagai pedoman dasar menjalankan Negara, mestinya yang dibubarkan itu kelompok yang melakukan kekerasan non-fisik itu. Sila pertama Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan sila kedua berbunyi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pertama, Negara ini harus dijalankan sesuai aturan religius. Negara berketuhanan yang Maha Esa. Semestinya, dasar menjalankan kenegaraan kita ini adalah konsep ketauhidan. Konsep ketauhidan ini yang mendasari sila selanjutnya. Untuk menjadi manusia adil dan beradab.

Sungguh, manusia menjadi cerdas pada saat landasan berpikirnya tauhid. Pikirannya religius, perilakukanya beradab. []

 

*Peneliti di InPAS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *