Metodologi Studi Agama di Indonesia: Refleksi Wajah Peradaban Barat

Sejak Mukti Ali menduduki jabatan Menteri Agama (1971-1978), maka upaya memodernisasi IAIN sebagai lembaga akademis dilakukan secara sistematis. Disiplin ilmu baru diperkenalkan, misalnya Perbandingan Agama (diperkenalkan pada tahun 1960 dan pada tahun 1971 menjadi salah satu kajian utama Post Graduate Program).[1] Modernisasi tersebut hingga kini menimbulkan dampak yang signifikan terhadap wacana Pluralisme. Atas nama kerukunan umat beragama, Mukti Ali meluncurkan konsepsi pemikiran Pluralisme yang terangkum dalam lima poin utama[2] :

Pertama, dengan jalan sinkretisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari Substansi yang satu, dan sebagai ombak dari Samudera yang satu. Aliran Sinkretisme ini disebut juga Pan-theisme, Pan-kosmisme, Universalime, atau Theo-panisme. Maksud istilah-istilah ini adalah bahwa semua (pan) adalah Tuhan dan semua (pan) adalah kosmos. Salah seorang juru bicara sinkretisme yang terkenal di Asia adalah S. Radhakrishnan, seorang ahli pikir India. Jalan sinkretisme yang ditawarkan di atas, menurut Mukti Ali, tidak dapat diterima. Sebab dalam ajaran Islam, Sang Khalik (Sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Antara Khalik dan makhuk harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi.

Kedua, dengan jalan rekonsepsi (reconception). Pandangan ini menawarkan pemikiran  bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain. Tokohnya yang terkenal adalah W.E.Hocking, yang berpendapat bahwa semua agama sama saja. Obsesi Hocking yang menonjol adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dengan cara rekonsepsi tadi dapat terpenuhi rasa kebutuhan akan satu agama dunia. Dengan demikian, kelak akan muncul suatu agama yang mengandung unsur-unsur dari berbagai agama. Misalnya, kandungan itu bisa berupa ajaran kasih sayang dari agama Kristen, pengertian tentang kemuliaan Allah dari agama Islam, perikemanusiaan dari agama Kong Hu Cu dan perenungan dari agama Hindu. Paham ini menekankan bahwa orang harus tetap menganut agamanya sendiri, tetapi ia harus memasukkan unsur-unsur dari agama-agama lain. Mukti Ali berpendapat, cara ini pun tidak dapat diterima karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan produk pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental diyakini sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya.

Ketiga, dengan jalan sintesis. Yakni menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tadi. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa toleransi dan kerukunan hidup antarumat beragama akan tercipta dan terbina. Pendekatan dengan menggunakan sintesis ini, dalam pandangan Mukti Ali, juga tidak dapat diterima. Agama sintesis itu sendiri tidak bisa diciptakan, karena setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.

Keempat, dengan jalan penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa agamanya sendirilah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan jalan ini, ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama dapat dicipta dan dikembangkan. Terhadap cara yang keempat ini, Mukti Ali tidak bisa menerima karena adanya kenyataan bahwa sosok kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Pluralisme kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan beragama, sudah menjadi watak dan realitas masyarakat itu sendiri. Cara-cara penggantian sudah pasti tidak akan menimbulkan kerukunan hidup umat beragama, tetapi sebaliknya justru intoleransi dan ketidakrukunan yang akan terjadi; karena cara-cara tersebut akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk berupaya keras dengan segala cara (entah cara yang baik atau yang tidak baik) untuk menarik orang lain menganut agama yang dia peluk.

Kelima, dengan jalan atau pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa agama yang dia peluk, itulah yang paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui, di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan-perbedaan juga terdapat persamaan-persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa kepada suatu pengertian yang baik yang dapat menimbulkan adanya saling menghargai dan sikap saling menghormati antara kelompok pemeluk agama-agama yang satu dengan yang lain.

Mukti Ali menyepakati konsepsi pemikiran yang kelima. Namun, tentu saja tidak sesederhana itu menyepakati sebuah konsepsi pemikiran, jika tidak dirunut pemikirannya, sehingga dapat diketahui pada siapa pemikiran tersebut mengekor, karena seseorang tidak akan bisa menggagas sebuah pemikiran jika tidak ada rujukan berupa konsep, teori atau paradigma yang menjadi sumber inspirasi.

Pemikiran Mukti Ali tentang pluralisme terutama terinspirasi oleh gurunya di Universitas McGill, Wilfred Cantwell Smith. Pengaruh Smith yang besar dalam dirinya adalah sikap toleransi yang besar terhadap agama lain. Hal ini pula yang menggerakkan Mukti Ali untuk memasukkan mata kuliah Perbandingan Agama di IAIN Jakarta dan Yogyakarta. Kedua IAIN tersebut dijadikan semacam pilot project bagi IAIN yang lain.

Smith menaruh perhatian yang besar terhadap wacana pluralisme agama kendati tidak secara eksplisit dinyatakan dalam buku-buku karangannya; namun substansi pemikirannya mengarah kepada pluralisme.

Smith mengajak perlunya melepaskan terminologi “agama” sebagai kata benda –bukan sebagai kata sifat– secara sepenuhnya, bukan selamanya. Sebagai gantinya, ia mengusulkan dua terminologi baru, yaitu cumulative tradition dan faith. Cumulative tradition merupakan tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan anasir keagamaan dan budaya yang hidup –seperti keyakinan-keyakinan, ritus-ritus, ritual-ritual, teks-teks suci dan tafsir-tafsirnya, mitos-mitos, seni-seni, dan sebagainya– sehingga membentuk suatu sistem tersendiri yang khas yang kemudian disebut tradisi Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Muslim, dan lain sebagainya.[3]

Kedua terminologi alternatif ini, demikian ia berargumen, secara diametral merupakan kebalikan yang pertama dalam hal kejelasan dan akurasinya; sebab maknanya jelas, definitif, spesifik, distinctive, dan realistis, dapat diketahui, diobservasi dan dikaji secara historis dan empiris. Dan yang menjadi poin penting adalah, menurut Smith, teori alternatif ini bisa mencakup orang beriman, tak beriman, dan skeptik, Muslim, Buddhis, Kristen, Katolik, Freudian, Marxis, Sufi, dan sebagainya.[4]

Gagasan dan teori inilah yang dibentangkan Smith secara detail dalam berbagai karyanya, khususnya buku yang berjudul Towards A World Theology, dan yang ia sebut sebagai the theology of comparative religion, suatu hal yang menegaskan betapa besar kegelisahan Smith terhadap fenomena pluralitas agama. Karakter pemikiran Smith dalam bidang teologi dan study of religion secara umum adalah kepiawaiannya dalam melontarkan gagasan-gagasan yang “inovatif” dan provokatif, baik dalam hal metodologi maupun teori, dan mengemasnya dengan cara yang menarik dan menggelitik pula.[5]

Maka, jadilah sosok serta pemikiran Smith ini berpengaruh besar dalam mengarahkan dan mewarnai kajian-kajian teologi, filsafat agama, dan religionswissenschaft (ilmu perbandingan agama). Pendekatan empiris kemanusiaan yang digunakan Smith untuk mempelajari Islam membuat kagum seorang Mukti Ali sehingga pada tahun 1960 dia memasukkan mata kuliah Perbandingan Agama dalam kurikulum IAIN. Sedangkan Harun Nasution, yang pada tahun 1973-1984 menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta memasukkan mata kuliah Pengantar Ilmu Agama Islam, Filsafat, Sufisme, Teologi, Sosiologi, dan research methodology ke dalam kurikulum IAIN. Orientalisme dan Oksidentalisme kemudian diperkenalkan pada tahun 1990.[6]

Kemudian dalam upaya untuk memperkuat penyemaian demokrasi di Indonesia, maka mata kuliah Civic Education juga dimasukkan sebagai salah satu mata kuliah umum (kompetensi dasar) yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa IAIN. Awalnya UIN Jakarta yang mempelopori mata kuliah ini pada tahun 2002, pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra[7].

Seluruh kontroversi yang melanda Perguruan Tinggi Islam seperti yang telah dijabarkan di atas merupakan gunung es dari kesalahan memilih paradigma pendidikan. Para “pembaharu” studi Islam telah mengubah paradigma pendidikan dari titik pandang tradisional menjadi paradigma atau pendekatan historis.

Pendekatan historis awalnya diperkenalkan oleh para orientalis. Wilfred Cantwell Smith pertama kali memperkenalkan pendekatan ini pada tahun 1963, kemudian diikuti oleh para orientalis lainnya. Smith memahami Islam sebagai suatu agama melalui model hubungan antara agama komunal atau personal dan tradisi keagamaan tertentu. Definisi-definisi tersebut tidak bisa tidak secara mendasar berpengaruh terhadap studi Islam, baik pada tingkat metodologi maupun riset, sehingga penelitian tentang Islam tidak bertolak dari sudut agama.[8]

Dalam sebuah buku berjudul Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar[9], semua penulis menggunakan paradigma orientalis dan ilmuwan Barat dalam merumuskan metodologi apa yang tepat untuk penelitian agama. Mukti Ali secara lugas menyatakan sebagai berikut:

 

“Pertanyaannya adalah apakah metode yang paling baik itu? Dalam mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode-metode orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode naturalistik, psikologis, dan sosiologis. Kita harus mencoba metode baru dalam memahami Islam. Sudah barang tentu kita perlu mempelajari metode-metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, walaupun akan merupakan suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu”.[10]

 

Kesalahan fatal lain yang dilakukan Mukti Ali adalah dengan menyamakan antara Islam dengan agama-agama lain. Dari perbandingan itu, Mukti Ali menarik kesimpulan, bahwa Islam merupakan agama sejarah (historical religion), sama seperti agama lain. Kesimpulan yang diperoleh Mukti Ali tersebut tidak terlepas dari metode tipologi yang digunakan Mukti Ali untuk memahami Islam. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Ironisnya, pendekatan ini digunakan sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia, namun oleh Mukti Ali digunakan untuk memahami Islam. Konsekuensinya, tentu saja, Islam disejajarkan dengan agama lain; Islam tidak lebih sebagai agama yang berevolusi karena dibandingkan dengan agama lain yang tidak berdasarkan wahyu. Mukti Ali bahkan menulis bahwa Nabi Musa adalah pembawa agama Yahudi dan Nabi Isa atau Yesus adalah pembawa agama Nasrani. Pendapatnya ini jelas keluar dari nash Al-Qur’an yang dengan tegas menyatakan bahwa yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa adalah millah bapak para Nabi yakni Ibrahim a.s.; tiada lain adalah millah Islam.  Kata Mukti Ali :

 

“Salah satu jalan yang paling pokok dan fundamental untuk mempelajari esensi, jiwa, dan realitas Islam, adalah dengan mempelajari Nabi Muhammad dan membandingkannya dengan nabi-nabi pendiri-pendiri agama lain, seperti Nabi Isa, Nabi Musa, Zoroaster, dan Budha”.[11]

 

Kemudian jika menilik pada artikel yang ditulis oleh M. Dawam Rahardjo[12], maka akan terlihat jelas pemihakan Dawam pada metode yang digunakan orientalis dan para sarjana Barat yang berkelindan di sekitar ilmu sosiologi. Artikel Dawam yang berjudul Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan dimulai dengan penegasan bahwa pendekatan keagamaan yang didasarkan kepada iman, tidak sejalan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi khususnya. Menurut Dawam, jika ingin menghasilkan sebuah penelitian keagamaan yang mampu menjawab tantangan pemikiran kontemporer, maka pendekatan keagamaan harus disesuaikan dengan pendekatan ilmu sosial pada umumnya, yang tidak bisa disandarkan pada iman.[13]

Prof. Al-Attas menyatakan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut dengan proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual. Ilmu adalah kepercayaan yang benar, dan kepercayaan yang benar itu dalam perspektif Islam bukan hanya suatu proposisi, melainkan juga sesuatu yang bersifat intuitif, yaitu salah satu aspek dari kapasitas spiritual akal manusia. Lebih jauh Prof. Al-Attas mengatakan bahwa:

 

“Ilmu adalah kesatuan antara orang yang mengetahui dan makna, bukan antara orang yang mengetahui dan sesuatu yang diketahui. Unsur-unsur makna dikonstruksikan oleh jiwa dari objek-objek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa itu menerima iluminasi dari Allah SWT, dan ini berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam objek-objek yang ada.”[14]

 

Dari penjabaran tentang pencapaian ilmu dan pemikiran yang diberikan oleh Prof. Al-Attas, jelas sudah bahwa dalam Islam, ilmu dan iman adalah hal yang integral. Umat Islam tidak bisa mengkaji Islam tanpa melibatkan iman, meskipun yang mereka teliti adalah fenomena keberagamaan yang sering hanya dibingkai dalam frame sosiologi serta antropologi.

Ketika dimensi sosiologi dan cabang-cabang ilmu sosial yang lain masuk dalam kajian Islam, maka kebenaran yang dicari harus berangkat dari wahyu yang memberikan makna pada individu yang mengetahui, bukan berpatokan pada fenomena atau objek yang menjadi sumber penyelidikan. Misalnya, ketika seseorang melakukan penelitian tentang praktek keberagamaan umat Islam di kawasan Asia Tenggara, maka realitas keberagamaan itu tidak boleh dan tidak bisa dijadikan standar kebenaran. Si peneliti tetap harus menyandarkan kebenaran pada wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Artinya, wahyu harus diposisikan sebagai postulat atau aksioma; yakni sesuatu yang dianggap benar dan dipakai sebagai titik tolak kerja atau aktivitas serta pemikiran umat Islam; sesuatu yang dianggap benar (dan tidak perlu dibuktikan lagi).

Di bilik lain, M. Amin Abdullah, dalam buku Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? menekankan perlunya dijalin kerjasama yang erat antara pendekatan teologis, antropologis, dan fenomenologis terhadap keberagamaan manusia untuk memecahkan problema realitas pluralisme agama yang cukup pelik dalam era globalisasi budaya seperti sekarang[15].

Konsepsi Amin Abdullah di atas berasal dari hasil rumusannya yang jitu dan tajam mengenai struktur fundamental pemikiran posmodernisme[16]. Setidaknya ada tiga ciri dasar postmodernisme: Pertama, Deconstructionism[17]. Secara ringkas, Amin Abdullah merumuskan bahwa era posmodernisme ingin melihat suatu fenomena sosial, keberagamaan, realitas fisika; apa adanya, tanpa harus terlebih dahulu terkungkung oleh anggapan dasar dan teoris baku dan standar yang diciptakan pada masa modernisme. Konstruksi atau bangunan keilmuan yang telah dengan susah payah dibangun oleh generasi modernisme, yakni era post-enlightenment, ingin diubah, diperbaiki, disempurnakan, dibongkar, oleh para pemikir posmodernis. Upaya dekonstruksi atau pembongkaran ini ingin mempertanyakan ulang adagium-adagium yang sudah mapan, standar, yang dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan guna memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan dan realitas alam berkembang saat ini jauh dari masa ketika teori-teori yang sudah standar tersebut dibangun. Amin Abdullah juga menyebutkan, bahwa prototip pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuwan yang bersifat positivistik adalah Thomas Kuhn, namun istilah ‘deconstructionism’ pertama kali diperkenalkan oleh Jaqcues Derrida, filosof terkenal Prancis. Model pendobrakan dan pembongkaran semacam ini nantinya dijadikan “landasan filsafat” oleh para pemikir Islam untuk melakukan “pembongkaran teks Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik para ulama”.

Kedua, Relativism. Sesuai dengan “terobosan” yang dilakukan oleh Thomas Kuhn, maka keterlibatan faktor historis dalam pengaplikasian hukum-hukum yang dianggap universal adalah suatu keniscayaan. Maka, berdasarkan analisa Amin Abdullah, manifestasi pemikiran posmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lain-lain) tergambar dalam teori-teori budaya yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dan yang lain. Pemikiran yang demikian itu berimplikasi terhadap bangunan tata nilai secara luas. Nilai-nilai budaya bersifat relatif; dalam arti tidak dapat disamasebangunkan seperti perhitungan matematis. Dengan begitu, menurut alur pemikiran posmodernisme, wilayah agama dan cara berpikir sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan budaya masing-masing sehingga sulit untuk ditarik garis lurus yang dapat menyamaratakan antara yang satu dan yang lainnya.

Dalam diskursus studi agama kontemporer, hal ini terkait erat dengan subjektivitas. Pengalaman keberagamaan (religious experience) yang bersifat subjektif sangat digarisbawahi oleh para ilmuwan agama. Dalam menghayati agama, kamus objektivitas agak sulit diterapkan kecuali dengan mengesampingkan dan mengorbankan hal-hal kecil yang sangat pokok dalam otentisitas pengalaman keberagamaan seseorang. Pengalaman keberagamaan hampir dapat dipastikan dipengaruhi juga oleh latar belakang keluarga, pendidikan, ekonomi, lingkungan dan begitu seterusnya. Dengan demikian, pemikiran posmodernisme sangat kritis terhadap berbagai uraian atau penjelasan yang berbau objektif, matematis, absolut, universal, seperti yang diidealkan dalam bidang keilmuan dan pemikiran falsafah era modernisme.

Ketiga, Pluralisme. Akumulasi dari berbagai model dan motode berpikir di atas adalah era yang disebut-sebut sebagai era pluralisme. Era pluralisme ini mencakup banyak bidang, baik agama, budaya, maupun teknologi. Di balik ungkapan itu terkandung maksud bahwasannya sangat sulit untuk mempertahankan “paradigma tunggal” dalam diskursus apapun. Semuanya serba beraneka ragam, semuanya serba perlu dipahami dan didekati dengan multidimensional approaches.[18] Paradigma tunggal pada era posmodernisme ini telah digugat sehingga setiap umat beragama harus menerima pluralitas keberagamaan di dunia.

Pluralitas keberagamaan tidak menjadi masalah jika diskursus keberagaman kemudian meluas menuju kepada pluralisme agama.[19] Pluralisme agama itu sendiri merupakan istilah baku yang dipakai dalam dunia akademik. Saat membincang pluralisme, para intelektual tidak bisa tidak merujuk kepada definisi populer pluralisme agama yang dirumuskan John Hick—seorang teolog Kristen–yang intinya ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama merupakan manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama sama dan tak ada yang lebih baik daripada yang lain. Ringkasnya, semua agama dianggap benar.

Rumusan ini menurut Dr. Anis Malik Thoha –penulis buku Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritisberangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

Secara eksternal, corruption of knowledge[20] yang terjadi di Perguruan Tinggi Islam (dan kini sudah merambah pesantren) terjadi akibat gelombang liberalisasi oleh negara Barat yang diaktualisasikan lewat pemikiran dan gerakan para ilmuwan mereka; sedang secara internal, kerusakan ilmu pengetahuan tersebut terjadi karena kesalahan umat Islam sendiri. Umat Islam enggan mendalami khazanah kelimuan Islam sehingga tidak mampu memahami mana yang hakekat dan mana yang bukan hakekat.

Corruption of knowledge merupakan dampak terbesar dari ketiadaan adab (loss of adab). Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas yang telah diindonesiakan oleh Mizan, yaitu mengenai ta’dib.

Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.

Naquib cenderung lebih memakai ta’dib daripada istilah tarbiyah maupun ta’lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang[21].

Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.[22]

Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta’dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).

Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi ‘dalang’ dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian para pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.

Tiga puluh tujuh tahun lalu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memberikan solusi terhadap fenomena corruption of knowledge ini lewat sebuah konsep orisinil; Islamisasi ilmu pengetahuan. Konsep ‘Islamisasi’ digagas oleh Prof. Al-Attas demi mengeluarkan keilmuan Islam dari belenggu sekularisme.

Masyarakat Muslim atau umat Islam adalah pihak yang paling dirugikan akibat penerapan konsep sekularisme ilmu pengetahuan. Ketika mengikuti arus sekularisme Barat, mereka secara sadar maupun “terpaksa” harus mengganti nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekular yang secara epistemologis sangat kontras.

Prof. al-Attas mengatakan bahwa Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular, dan makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekular.[23]

Sekularisme telah menjauhkan umat Islam dari epistemologi Islam. Epistemologi merupakan inti setiap world-view manapun juga. Epistemologi Islam memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam karena epistemologi merupakan alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan.

Selain itu, epistemologi Islam juga bisa dimanfaatkan untuk meluruskan para ilmuwan Muslim agar tidak lagi terjebak dalam kesesatan akibat mengikuti epistemologi Barat yang sekular. Tanpa suatu “cara mengetahui”, yang dapat diidentifikasi sebagai ilmu, para intelektual atau peneliti tidak mungkin dapat mengelaborasi world-view Islam pada isu-isu kontemporer.[24]

Kemudian, salah satu murid Prof. al-Attas, Dr. Adian Husaini[25], secara jeli menyoroti kemungkaran ilmu dengan merusak metodologi studi agama. Ranah epistemologi diacak-acak sehingga metodologi mendapatkan kebenaran – bahkan kebenaran itu sendiri – menjadi terbengkalai. Paradigma historis yang telah resmi dipakai di Perguruan Tinggi Islam telah membongkar hakekat Islam hingga ke akar-akarnya. Maka proyek liberalisasi tidak akan dikatakan berhasil jika tidak menyentuh aspek kesucian Al-Qur’an. Mereka berupaya keras untuk meruntuhkan keyakinan umat Islam bahwa Al-Qur’an itu Kitab Suci, Kalamullah, dan otentik. Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Qur’an”. Salah satu isinya menyatakan:

“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Al-Quran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Al-Quran.”[26]

Bagi kaum dekonstruktif ini, Al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai wahyu sehingga syari’at tidak lagi memiliki legitimasi. Mereka ingin menciptakan “Islam yang baru”, karena menurut anggapan mereka, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, episteme, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.

Paradigma baru yang diadopsi Perguruan Tinggi Islam kembali mendapat kritik tajam dari Dr. Adian Husaini, seorang intelektual Muslim yang concern melakukan counter terhadap sepak terjang sekularisme dan liberalisme di Indonesia.

Dalam salah satu artikelnya di salah satu jurnal Islam terkenal di tanah air; ISLAMIA[27], Dr. Adian secara kritis menganalisa, bahwa pola kajian Islam historis sebenarnya suatu upaya untuk menundukkan Islam pada konteks waktu, tempat, dan budaya tertentu. Konsekuensinya, Islam akan terus digiring serta dipaksa untuk mengadopsi nilai-nilai peradaban yang dominan yakni Barat, dengan mengabaikan segala perbedaan epistemologi yang ada pada peradaban Barat dan Islam.

Para pengusung liberalisme di Perguruan Tinggi Islam tidak pernah menganggap perbedaan pada tataran epistemologi sebagai sebuah perbedaan yang hakiki serta signifikan. Umumnya mereka mengukur kemajuan yang telah dicapai Barat hanya dari segi fisik saja, tanpa meninjau apakah secara epistemologi Barat sudah berhasil mencapai kebenaran hakiki; apakah selama ini Barat telah berhasil membangun sebuah peradaban berbasis akidah dan moral, atau justru menjadi peradaban yang meruntuhkan nilai-nilai akidah dan moral.

Ukuran keberhasilan dalam Islam, sejatinya tidak hanya diukur dari pembangunan infrastruktur atau fisik semata, namun jauh lebih penting dan tinggi dari sekadar infrastruktur, adalah pembangunan akidah dan akhlak sebagai tujuan utama agama Islam diturunkan ke muka bumi. Al-Quran sudah mengingatkan bahwa kemajuan bangsa yang sejati adalah dengan aqidah Islam, bukan dengan harta benda semata. Allah SWT berfirman:

         “Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Anfal 63). []

* Penulis adalah peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam)

 


[1] Fuad Jabali dan Jamhari (ed.), IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 33.

[2] Ibid., hal. 79-81.

[3] Teori Smith berlaku untuk semua agama, termasuk Islam. Menurut Smith, “Islam” sebagai kata benda pun harus dilepaskan. Selanjutnya Smith menjelaskan Islam mengalami reifikasi pada era modern. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa untuk mendukung tesisnya, ia menggunakan Islam sebagai kata sifat, yakni “Islami” atau “Muslim”. Lihat Anis Malik Thoha, “Konsep World Theology dan Global Theology : Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick, Jurnal ISLAMIA, Thn I No. 4, Januari-Maret 2005, hal. 51.

[4] Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, hal. 156-157, dikutip dari Jurnal ISLAMIA, Thn I No. 4, Januari-Maret 2005 di halaman yang sama dengan footnote di atas.

[5] Ibid.,

[6] Adian Husaini, Pemikiran Modern Ala Barat: Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia, http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=138:pemikiran-modern-ala-baratparadigma-baru-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=1:adian-husaini, diakses 26 September 2010 dan Fuad Jabali dan Jamhari (ed.), IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 33.

[7] Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 45.

[8] Lihat Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion: A New Approach to the Religious Traditions of Mankind, (New York: Mcmillan Company, 1963), hal. 6-8 dan Dr. J. Waardenburg, “Islam Dikaji Sebagai Simbol dan Signifikansi”, dalam Herman Leonard Beck dan Nico Kaptein (ed.), Studi Belanda Kontemporer Tentang Islam: Lima Contoh, (Jakarta : INIS, 1993), hal. 89-90.

[9] Buku ini terbit pertama kali tahun 1989 atas kerjasama dengan PP Muhammadiyah Majelis Diktilitbang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Kumpulan tulisan di dalamnya membahas tentang metodologi apa yang tepat untuk melakukan penelitian dalam studi Islam. Di dalamnya tercantum nama-nama yang terkenal di dunia pemikiran Islam dan akademik seperti Taufik Abdullah, M. Mukti Ali, M. Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rahmat, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Muhammad Quraish Shihab, Mattulada, Noeng Muhadjir, Nourouzzaman Shiddiqi, Abdullah Fajar, dan Ahmad Azhar Basyir.

[10] M. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 46.

[11] Ibid., hal. 53.

[12] Dawam Rahardjo masuk dalam jajaran cendekiawan Muslim Indonesia. Lulusan Fakultas Ekonomi UGM ini pernah bekerja di Bank of America. Ia kemudian aktif di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan menjadi direkturnya selama dua periode (1980-1986). Selepas dari LP3ES, Dawam kemudian mangkal di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) yang antara lain menerbitkan jurnal ‘Ulumul Qur’an’. Lihat profilnya di jurnal Islamika, No.1, Juli-September 1993, hal. 33.

[13] M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan”, Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 15.

 

[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 149.

[15] Konsepsi Amin Abdullah ini pada akhirnya mengantarkan pada titik temu antarumat beragama dengan menggunakan penolakan terhadap konsep truth claim sebagai pendekonstruksi aqidah Islam yang salah satunya berlandaskan pada Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam”. Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan IV, 2004), hal. 29. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya”: Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama”, Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV, Tahun 1993, hal. 94-96. Namun, proyek dan agenda sekularisasi dan sekularisme di Dunia Islam tidak berjalan dengan mulus. Mengutip Ernest Gellner, salah satu faktor penting mengapa sulit melakukan hal itu adalah karena sifat dasar Islam sendiri hampir tidak memberikan ruang bagi sekularisasi dan sekularisme yang menyeluruh. Islam, seperti pernah dikemukakan Ernest Gellner, merupakan agama yang “secular resistant”. Kenyataan ini berkaitan erat dengan paradigma tawhidic Islam yang menekankan “keserbamenyatuan” (integratedness) dan “keserbamenyeluruhan” (wholeness) wacana dan praksis kaum Muslimin. Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas, (Jakarta : PT. RajaGrafindo persada, 2002), hal. 6.

[16] Lihat M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 97-106. Tulisan Amin Abdullah mengenai postmodernisme bisa dibilang mengagumkan, sebab dia menuliskannya pada tahun 1995, masa dimana arus posrmodernisme bisa dibilang masih baru dan masih malu-malu menampakkan taringnya dalam jagat pemikiran agama dan budaya di tanah air. Namun, tulisan Amin Abdullah tersebut jika kita baca pada masa sekarang; era dimana struktur fundamental postmodernisme sudah diaplikasikan dalam segenap sendi kehidupan akademis dan juga masyarakat luas, maka kita sadar, bahwa tulisan Amin Abdullah tersebut mencerminkan sebuah rancang bangun pemikiran Islam di masa depan; yang mau tidak mau menjadi tantangan terberat para cendekiawan Muslim di era globalisasi seperti sekarang ini. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tantangan terberat umat Islam saat ini adalah postmodernisme”, yang disampaikan pada workshop “Tantangan Pemikiran Kontemporer terhadap Dunia Islam”, Kamis, 24 Juni 2010 di Aula Fadjar Notonegoro, Universitas Airlangga, Surabaya.

[17] Istilah “deconstructionism” dimunculkan ke permukaan oleh filosof Prancis Jacques Derrida. Istilah tersebut berhubungan erat dengan persoalan tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Untuk memahami teks secara baik, orang harus ‘berani’ melakukan “pembongkaran” (dekonstruksi) terhadap teks-teks keagamaan. Dalam ranah pemikiran Islam, Mohammed Arkoun (1928-2010) mencoba mempraktikkan metodologi pembongkaran teks keagamaan Islam, baik tafsir, fiqh, maupun kalam. Hassan Hanafi juga disebut-sebut seorang pemikir Muslim yang hendak mengaplikasikan metode pembongkaran teks.

[18] Untuk pendalaman, bisa dibaca artikel Amin Abdullah, “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No. 1, Vol IV, th. 1993, hal. 88-96.

[19] Terdapat perbedaan yang fundamental dan signifikan antara definisi ‘Pluralitas’ dan ‘Pluralisme’. Dalam fatwanya tahun 2005, MUI menghalalkan ‘Pluralitas’ dan mengharamkan ‘Pluralisme’. MUI memberi definisi terhadap term ‘pluralisme’ berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Dr. Anis Malik Thoha, satu-satunya ahli pluralisme di kawasan Asia Tenggara. Pembahasan detail seputar ‘Pluralisme’ bisa dilihat di buku Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis oleh Anis Malik Thoha, (Penerbit Perspektif, Jakarta : 2005).

[20] Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Syed Naquib al-Attas, pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization).

[21] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung : Mizan, 1998).

[22] Ibid.,

[23] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: 1978), bab I, II, dan V.

[24] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Erlangga: Jakarta, 2005), hal. 165.

[25] Dr. Adian Husaini adalah intelektual Islam yang aktif menulis buku seputar pemikiran dan peradaban Islam. Tidak kurang dari 25 buku telah dia tulis. Pergulatannya dengan pemikiran Islam dan liberalisme mendorongnya untuk melanjutkan kuliah di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM). Kini aktivitas rutinnya adalah sebagai dosen pemikiran Islam di sejumlah universitas. Tahun 2010, Dr. Adian diamanahi oleh Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, untuk mengetuai Program Studi Pendidikan Islam – Program Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Dunia pendidikan Islam saat ini menjadi perhatian utamanya. Di tahun yang sama pula, Dr. Adian meluncurkan novelnya yang pertama kali; Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat, sebagai bentuk perhatian dan kepeduliannya terhadap masa depan pendidikan Islam, khususnya pendidikan pesantren, yang secara terang-terangan diserbu oleh gelombang liberalisasi.

 

[26] Taufik Adnan Amal, Edisi Kritis Al-Qur’an, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78.

[27] Dr. Adian Husaini, “Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender”,  jurnal Islamia, Volume V No.1 Tahun 2009, hal. 20.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *