Telaah Kritis Aqidah Syiah

Karena ia merupkan pokok ajaran Islam, sepanjang umat Islam meyakini aqidah yang lurus dan benar, sepanjang itu pulalah agama yang haq ini menjamin keselamatan pemeluknya di dunia dan di akhirat. Karenanya, setiap Muslim punya tugas dan tanggung jawab menjaga aqidah yang lurus tersebut. Sebab pada faktanya terdapat beberapa kelompok atau kaum yang memiliki aqidah yang dianggap menyimpang oleh jumhur ulama seperti aqidahnya kaum Syiah.

Berkaitan dengan aqidah yang dipegang teguh oleh kaum Syiah, para ulama Sunni telah memberikan kritik yang tajam. Aqidah kaum Syiah, terhadap beberapa hal dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam oleh para ulama Sunni. Di antara keyakinan kaum Syiah yang dinilai menyalahi Islam antara lain:  

 

Pertama, keyakinan tentang Imamah yang diwasiatkan secara nash.

Kaum Syiah meyakini bahwa eksistensi para Imam telah ditentukan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya secara nash. Seorang ulama Syiah, Muhammad Ridha al-Muzhaffar, mengatakan “Kami (Syiah Imamiyah) percaya bahwa Imamah, seperti kenabian, tidak wujud kecuali dengan nash dari Allah melalui lisan Rasul-Nya, atau lisan Imam yang diangkat dengan nash, yaitu dia akan menyampaikan dengan nash Imam yang bertugas sesudahnya. Hukum (sifatnya) ketika itu sama dengan kenabian tanpa perbedaan. Karena itu, masyarakat manusia tidak punya wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan Allah sebagai pemberi petunjuk dan pembimbing bagi seluruh manusia, sebagaimana mereka (manusia) tidak mempunyai hak untuk menetapkan, mencalonkan atau memilihnya.”[2]

Kemudian mereka mempercayai bahwa wasi (penerima wasiat) Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Ali mewasiatkan kepada Hasan dan Hasan mewasiatkan kepada Husein sampai Imam Dua Belas yaitu Al-Mahdi Al-Muntadhar.[3]

Keyakinan ini mereka sandarkan pada hadits Rasulullah di Ghadir Khum yang berbunyi:

 

من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهم والى من واله وعادى من عاداه

                                                                                                   

”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”[4]

Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa ’Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam.

Tentu saja klaim kaum Syiah bahwa hal itu berkaitan dengan masalah khilafah tidak tepat. Seandainya memang benar Nabi SAW bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataan-Nya/janji-Nya.

Karena keyakinan seperti ini tidak memiliki dasar yang kuat sehingga semua Sahabat berijma’ bahwa tidak ada wasiat dari Rasulullah mengenai hal itu. Tidak ada nash dari al-Qur’an maupun hadits yang shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam kekhalifahan. Kaum Sunni memahami hadits tersebut -jika itu shahih- sebagai kepemimpinan dalam spiritual. Karena itulah para Sahabat sepakat menunjuk Abu Bakar setelah Rasulullah wafat.

 

Kedua, keyakinan bahwa Imam ma’shum.

Kaum Syiah meyakini bahwa para Imam mereka adalah orang yang ma’shum dan mereka mengetahui hal ghaib. Dinukil oleh Al Kulaini dalam Usulul Kafi: “Telah berkata Imam Ja’far as Shodiq: “Kami adalah perbendaharaan ilmu Allah, kami adalah penerjemah perintah Allah, kami adalah kaum yang maksum, telah diperintahkan untuk menta’ati kami, dan dilarang untuk menentang kami, kami adalah hujjah Allah yang kuat terhadap siapa yang berada di bawah  langit dan di atas bumi”[5].

Al Kulaini meriwayatkan di Al Kafi: Bab “Sesungguhnya para imam, jika mereka berkehendak untuk mengetahui, maka mereka pasti mengetahuinya”. Dari Jafar ia berkata: “Sesungguhnya Imam jika ia berkehendak mengetahui, maka ia pasti mengetahui, dan sesungguhnya para Imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali dengan pilihan mereka sendiri.”[6]

Keyakinan seperti ini sama sekali tidak berdasar. Sebab dalam al-Qur’an maupun hadits yang shahih menyatakan bahwa hanya para Rasul dan Nabi yang ma’shum.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

 

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى  

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [7]

Demikian juga dalam ayat lain Allah berfirman:

 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[8]

Ayat itu ditujukan kepada Rasulullah sebagai seorang Rasul.  

Demikian juga para Imam Syiah sendiri juga mengakui bahwa mereka tidak ma’shum sebagaimana yang diklaim oleh Syiah. Imam Ali pernah berkata:

 فلا تكفوا عن مقالة بحق أو مشورة بعدل ,فاني لست في نفسي  بفوق أن اخطئ ولا آمن ذاك من فعلي

“Maka janganlah kalian menahan diri dari berkata yang benar, atau bermusyawarahlah dengan cara adil, maka sesungguhnya aku tidak merasa pada diriku lebih daripada aku melakukan kesalahan, dan aku tidak merasa aman itu terjadi dari perbuatanku.[9]

 

 

 

Ketiga, keyakinan tentang al-Bada’. 

Al Badaa’ maksudnya tampak (muncul) setelah sembunyi, atau bermakna timbulnya pandangan baru. Al Badaa’ sesuai dengan kedua makna itu, harus didahului oleh ketidaktahuan, serta baru diketahui. Dengan kata lain, ilmu Allah itu akan berubah dan menyesuaikan fenomena yang terjadi. Allah akan berubah kehendak-Nya terhadap suatu perkara sesuai dengan kondisi yang berlaku.

Telah diriwayatkan dari Ar Rayaan bin Al Sholt, ia berkata: “Saya telah mendengar Al Ridha berkata: “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali mengharamkan khamar, dan mengakui bahwa Allah itu memiliki sifat Al Badaa'”[10].  Dan dari Abi Abdillah ia berkata: “Tidak pernah Allah diibadati dengan sesuatu apapun seperti (mengibadatinya dengan) Al Badaa’[11].

Tentu pemahaman seperti ini menyalahi al-Qur’an karena mengganggap Allah memiliki sifat jahil (ketidaktahuan), sedangkan Dia mengatakan tentang diri-Nya :

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah! Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang tahu ghaib kecuali Allah.”[12] Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

رَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

 

“Demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.

 

Keempat, keyakinan tentang Raj’ah

Yang dimaksud Raj’ah menurut Syiah yaitu bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim pada akhir zaman. Ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuh politiknya, dan mengembalikan kepada syiah hak-hak mereka yang dirampas oleh kelompok-kelompok lain sepanjang masa (yang telah berlalu)[13]

 

Kaum Syiah meyakini bahwa Allah akan menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati dari kalangan mereka ke dunia ini bersama-sama Imam Mahdi untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan kdhaliman. Mereka yang dianggap dhalim termasuk para Sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Usman.

Al Mufid berkata: “Telah sepakat mazhab Imamiyah atas wajibnya terjadi Raj’ah di kebanyakan dari para orang yang telah mati”[14].

Berkata Sayid Al Murtadho di dalam kitabnya “Al Masail An Nashiriyah”: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar disalib pada saat itu di atas suatu pohon di zaman Al Mahdi -yakni imam mereka yang kedua belas- yang mereka beri nama Qaaim Ali Muhammad (penegak keluarga Muhammad), dan pohon itu pertamanya basah sebelum penyaliban, lalu menjadi kering setelahnya[15].

Berkata Al Majlisi dalam Kitab “Haqul Yakin” dari Muhammad Al Baqir (berkata): “Jika Al Mahdi telah keluar, maka sesungguhnya ia akan menghidupkan ‘Aisyah Ummul Mukminin dan ia melaksanakan (menjatuhkan) hukum had (hudud) atas diri Aisyah”[16]

Konsep Raj’ah ini mereka sandarkan pada firman Allah dalam surat al-Mu’min ayat 11 yang berbunyi:

 قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ

Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?”

Pengambilan ayat ini sebagai dasar adanya konsep Raj’ah jelas tidak tepat sasaran. Sebab ayat ini menjelaskan dialog antara orang-orang kafir dengan Allah di akhirat dimana mereka ingin mencari jalan keluar dari siksa api neraka dengan memohon Allah agar diberi peluang hidup kembali di dunia. Mereka mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat dahulu. Pengertian ini diperkuat oleh ayat lain, yaitu:

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? “[17]

Ayat ini menjelaskan adanya hari kebangkitan di Padang Mahsyar dimana Allah yang akan memberikan hukuman, bukan para Imam Syiah. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Kafi.

وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. “[18]

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada konsep Raj’ah sebagaimana yang diyakini kaum Syiah. Mereka telah salah memahami ayat al-Qur’an atau memang sengaja melakukan itu sebagai rasa dengki yang tersembunyi di dalam diri mereka terhadap para Sahabat dan orang yang mengikuti. Kedengkian itu mereka ungkapkan dengan cerita dongeng seperti ini. Dan ini merupakan sarana (jembatan) yang diambil oleh orang-orang Sabaiyah untuk mengingkari hari akhirat.

 

Kelima, Taqiyah

Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama Syiah, Muhammad Jawaad Mughniyah,  sebagai berikut: “Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu”[19]

Keyakinan seperti ini mereka akui sebagai ajaran Rasulullah tatkala beliau melakukannya (Taqiyah) saat seorang pemimpin orang-orang munafik, Abdullah bin Ubai bin Salul meninggal dunia. Rasul datang untuk menyolatkannya, lalu Umar berkata kepadanya: Tidakkah Allah telah melarangmu dari hal itu? -yakni berdiri di atas kuburan munafik ini, lalu Rasulullah menjawabnya: “Celaka kamu, kamu tidak tahu apa yang saya ucapkan: Sesungguhnya saya mengucapkan: Ya Allah isilah perutnya dengan api, dan penuhilah kuburannya dengan api dan jadikanlah api selalu membakar dirinya “[20]

Al Kulaini menukilkan di Usul al-Kafi, berkata Abu Abdillah: ”Wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah.  Taqiyah ada pada setiap sesuatu kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada menyapu khuuf (kaus atau kulit).” Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia berkata: “Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah.”[21]

Berdasar dalil di atas, Syiah memandang Taqiyah itu sebagai  fardu (wajib), sebab tidak akan berdiri mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakan taqiyah saat kondisi sulit mengepung mereka.

Keyakinan Syiah ini jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Islam dengan tegas melarang umatnya berbuat nifak, yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik.

Dalam hal ini Allah berfirman:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”[22] 

Demikian juga dalam ayat lain Allah berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

”Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.[23]

Adapun riwayat mengenai Rasulullah yang melaknat Abdullah bin Ubai dalam do’anya jelas sebuah kedustaan. Tidak mungkin Rasulullah berdo’a untuk melaknat seseorang, sedang beliau mengajarkan salah satu adab berdo’a yaitu tidak berdo’a yang jelek. Apalagi dalam riwayat yang shahih mengenai hal di atas, yaitu Rasulullah mendoakan rahmat untuk Abdullah bin Ubai.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada konsep Taqiyah dalam ajaran Islam. Yang ada yaitu masalah rukhsah, yaitu seseorang boleh berbohong jika dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kafir, namun hatinya tetap beriman kepada Allah sebagaimana yang terjadi pada Ammar bin Yasir, sehingga turun surat an-Nahl 106 yang mengakui tindakannya. []

 


[1] Dr. Nasir Abdul Karim  Al ‘Aql, Mabahits fii Aqidah Ahlis Sunnah wal Jamaah, Darul Wathan li Nasr,  hal. 9-10

[2] Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqaid al-Imamiyah, Markaz Abhas Al Aqoid, Iran. Cetakan II th. 1424 H.  hal.72

[3] Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita’, Aslu Al-Syiah wa Usuluha, hal. 136

[4] HR. Ahmad no. 915

[5] Abi Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, Ushulul Kafi, Darul Kutub al-Islamiyyah, Teheran,    hal : 165

[6] Usulul Kafi, Kitab Hujjah: 1/258

[7] An-Najm 3-4

[8] Al-Ahzab 21

[9] Muhammad Baqir Al-Majlisi, Biharul Anwar, Mausu’a Al Wafa’, Beirut Libanon,  27/253

[10] Ushulul Kafi, hal :40

[11] Ushulul Kafi, Kitab Tauhid: 1/133

[12] An-Naml: 65)

[13] Muhibbudin Al Khatiib, Al Khuthuthul ‘Ariidhah, hal : 80

[14] Al Mufid,, Awaailul Maqaalaat, hal : 51

[15]  Ibid hal : 95.

[16] Muhammad Al Baqir Al Majlisi, Haqul Yakiin, hal : 347

[17] Al-Baqarah; 28

[18] Al-Kafi; 47

[19] Muhammad Jawaad Mughniyah, As Syi’ah fil Mizaan,  hal : 48

[20] Furuu’ul Kafii, Kitab Al-Janaaiz, hal: 188

[21] Usuulul Kafi, hal: 482-483

[22] Al Imran; 28

[23] An- Nahl; 106

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *