Melawan dengan Tak Menonton Filmnya

Kini, seorang yang konon keturunan Yahudi dan berwarganegara AS berhasil memprovokasi kemarahan umat Islam sedunia dengan membuat film yang sangat menghina Islam, kemudian dia bersembunyi (sebelum akhirnya ditangkap). Sebagian dari kita tentu penasaran dan sangat ingin menonton filmnya. Menurut saya, jangan tonton filmnya. Kalau kita menonton filmnya, kita membantu popularitas sang pemfitnah. Apalagi kalau kita kemudian marah-marah, kita berhasil dipancing olehnya.

 

 

Apakah The Innocence of Muslim film yang bagus dan layak tonton? Tentu saja tidak. Film itu dibuat dengan itikad buruk, lalu prosesnya penuh tipu muslihat. Para aktor dan pekerjanya dibohongi. Bahkan setelah shooting selesai, proses editing penuh manipulasi gambar dan narasi, bahkan dubbing. Saat ini, para awak film sedang dalam depresi berat: karena merasa dibohongi, dan karena terancam oleh kemarahan umat Muslim. Sementara, sang dalang sempat bersembunyi karena dia seorang pengecut.

Saya berharap, mudah-mudahan fakta bahwa si pembuat film adalah pembohong, manipulatif, dan tukang fitnah, mulai disadari utamanya oleh awak filmnya sendiri. Perasaan tertipu, terancam, tertekan, akan membuat mereka kehilangan respect terhadap pembuat film, bahkan mungkin akan menggugat. Lebih jauh dari itu, masyarakat luas yang menyadari bahwa film ini dibuat dengan tipu muslihat, bertentangan dengan kaidah karya seni yang harus penuh kejujuran, akan berbondong-bondong bersimpati kepada Islam sang korban fitnah. Mungkin masyarakat dunia kemudian akan belajar lebih dalam tentang Islam. Mereka akan menemukan bahwa bukan Islam yang mengacaukan dunia: tidak membunuhi kaum Indian, tidak memperbudak bangsa Afrika, tidak membasmi orang Yahudi, tidak menyingkirkan kaum Aborigin, tidak memulai perang di manapun. Bahkan, Jerusalem ketika di bawah penguasaan Islam adalah kota multietnik dan multiagama yang damai. Orang akan belajar bahwa Islam tidak pernah menciptakan musuh. Namun bila musuh datang, memang Islam tidak pernah lari, tetapi melawan dengan gagah berani.

Menurut saya, umat Islam di seluruh dunia berhak marah, meskipun tak harus dengan vandalisme atau kekerasan. Bangsa Yahudi juga boleh marah ketika dikatakan bahwa Holocaust cuma khayalan, dan siapapun yang berani berkata demikian di negara-negara Eropa, akan dihukum karena menyebarkan kebencian dan kabar bohong.

Umat Islam memang tak seharusnya memperluas rasa kemarahan kepada segala sesuatu yang berbau Amerika. Sekali lagi, menurut saya, bangsa Amerika juga menjadi korban fitnah dari film ini. Warganya, bahkan seorang duta besarnya, telah menjadi korban. Sang pemfitnah ingin menegaskan teori Huntington bahwa ada clash between civilizations, dalam hal ini antara budaya Barat versus budaya Islam. Lebih konkretnya, antara bangsa Amerika dengan kaum Muslim. Baik umat Muslim maupun bangsa Amerika tidak perlu terprovokasi.

Hal termudah melawan rasa kebencian (hatred) adalah dengan tidak mempedulikannya. Tidak usah menonton filmnya. Namun, saya juga kecewa pada Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS, yang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi perlu dilindungi. Si pembuat film tukang fitnah, dan karyanya, menurut teori Hillary, harus dilindungi. Lalu, mengapa hak media massa yang mengabarkan fakta (bukan fantasi) tentang perilaku tak patut pangeran Inggris, harus dikebiri? Ada imbauan agar ekspose gambar telanjang sang pangeran dihentikan, demi rasa hormat. Padahal itu fakta, bukan khayalan. Suatu bukti standar ganda yang tak adil terhadap Islam. Pangeran Inggris tak boleh dilecehkan, tetapi Nabi Muhammad Saw dan Quran boleh.

Hillary Clinton juga lupa bahwa hate speech yang dilarang dalam hukum Amerika termasuk dalam hal karya seni. Ursula Owen, dalam artikelnya di website Media Watch, The Speech that Kills (2001), menyimpulkan bahwa hate speech, pernyataan kebencian, dapat menghina, menyerang, melecehkan, dan bahkan menyebabkan orang saling membunuh. Hate speech kills, demikian tulisnya. Oleh sebab itu, harus ada batasan atas free speech, dan batasan itu adalah toleransi dan rasa hormat pada sesama.

Kita -kaum Muslim di seluruh dunia- berharap agar bukan hanya umat Muslim yang marah yang diimbau untuk bersabar, tetapi akar persoalan harus diselesaikan. Akar persoalannya adalah: ditoleransinya rasa phobia dan prasangka terhadap Islam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *