Mengenai peradaban Islam di Andalusia, jejak-rekamnya dapat dilacak dalam karya Muhammad Abdullah `Annan, Dawalat al-Islam fi al-Andalus `Ashar al-Muwahhidin (Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-`Ammah li al-Kitab, 2002). Bahkan, mengenai peradaban Islam di Spanyol, orientalis William Montgomery Watt menulis satu buku menarik, Fi Tarikh Isbaniyah al-Islamiyyah, Terj. Dr. Muhammad Ridha al-Mishri (Beirut-Lebanon: Syarikat al-Mathbu`at li al-Tawzi` wa al-Nasyr, cet. II, 1998 M).
Dan kita tengok lebih ke Timur, tepatnya di Maroko, dapat kita baca bahwa peradaban Islam di sana terkait erat dengan peradaban Islam yang ada di Andalusia. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam kumpulan makalah para sarjana Muslim dalam buku hasil seminar mengenai peradaban Islam di kedua negara tersebut, al-Turats al-Hadhari al-Musytarak bayna Isbaniya wa al-Maghrib (Granada, 1-19 Syawwal 1412 H/21-23 April 1992 M).
Interaksi dengan Turats
Apa yang diulas sedikit di atas menggambarkan bagaimana para ulama kita memberikan rambu-rambu peradaban dan peninggalan historis yang sangat berharga dan perlu dihargai. Cara dan etika menghargai peninggalan tersebut adalah melalui interaksi yang intens dan intim, agar turats peradaban tersebut dapat dicerna, dikunyah, dan dikonsumi dengan baik dan benar. Maka, kita harus kembali melihat turats para ulama kita, yang telah membangun peradaban dunia itu.
Cara tersebut di atas itu lah yang tengah dilakukan dan terus dikembangkan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah, Kuwait. Jika gambaran di atas mengisyaratkan semacam al-Fiqh al-Hadharah (Fikih Peradaban), maka yang ditampilkan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah ini adalah Fiqh al-Wasathiyyah (Fikih Pertengahan).
Alhamdulillah, penulis sangat menikmati revitalisasi turats fikih ini. Modelnya adalah Fikih Wasathiyyah (jangan dipahami dengan moderat atau moderatisme seperti yang sekarang banyak diwacanakan di Indonesia), menyangkut: Fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf (Fikih Harmonitas Pendapat dan Perbedaan Pandangan), Fiqh al-Awlawiyyat (Fikih Prioritas), Fiqh al-Amr bi al-Ma`ruf wa al-Nahyi `an al-Munkar, Fiqh al-Maqashid wa Ahammiyatuh (Fikih Maqashid dan Urgensinya), Ta`addud al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa Manhaj al-Ta`amul Ma`ah (Keragaman Mazhab Fikih dan Metode Berinteraksi Dengannya), dan Fiqh al-Muwazanat (Fikih Komparatif/Pertimbangan).
Dengan revitalisasi turats fikih model ini, diharapkan lahir pandangan yang wasath (tidak ekstrem, tidak liberal, apalagi sekular). Karena fikih dibingkai dengan banyak pertimbangan, berdasarkan konsep-konsep seminal dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma`, dan Qiyas plus pandangan para salaf saleh dari kalangan sahabat, tabi`in, dan tabi` tabi`in. Maka wajar jika kemudian fiqh wasathi ini menjadi konsep dan model wacana yang mudah diterima dan dipraktikkan jika difahami dengan benar.
Revitalisasi fikih ini sangat berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia, misalnya. Di mana mereka juga mengusung konsep fikih, tapi muatannya sudah jauh menyimpang dari konsep fikih yang sebenarnya. Munculnya “Fikih Lintas Agama” oleh kaum liberal Indonesia, (Paramadina & Asia Foundation, 2004) menyiratkan bahwa revitalisasi turats fikih sudah banyak disalahfahami.
Ini lah yang coba diluruskan dan dibenarkan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah (Kuwait) ini. Hal ini dapat difahami dengan baik dan gamblang dari motto yang mereka usung, ‘irtibath bil ashl ittishal bil `ashr’ (mengakar kepada turats, serasi dengan kemodernan). Artinya: fikih tidak dikorbankan – atau menjadi korban – modernitas. Sehingga hal-hal yang qath`i (jelas dan tegas) dalam Islam harus diubah dengan mengatasnamakan fikih. Apa yang diharamkan oleh agama – seperti seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim – tidak bisa “dihalalkan” dengan mengobrak-abrik tatanan syariat yang sudah digariskan.
Meskipun dasarnya adalah turats fikih klasik, namun cakupannya menembus dinding peradaban dan wacana pemikiran masa kini. Namun tidak melanggar rambu-rambu yang sudah jelas dan tegas. Model ini tentunya perlu dikembangkan lebih jauh dan lebih membumi. Apa yang dilakukan oleh al-Markaz al-`Alami li al-Wasathiyyah penting untuk ditiru dan dilanjutkan, terutama di berbagai belahan dunia Islam. Sehingga, suatu saat akan lahir konsep pemikiran yang didasarkan pada konsep fikih, seperti: fikih lingkungan hidup, fikih pemikiran, fikih peradaban, fikih kesadaran umat, dan fikih-fikih lain.
Dan model ini, dalam bentuk karya individual, sudah banyak yang memulainya. Sebut saja Fiqh al-Muwajahah (Fikih Konfrontasi) yang ditulis oleh Dr. Muhammad Imarah (Mesir). Juga Fiqh al-Hadharah (Fikih Peradaban) yang juga ditulis oleh beliau. Ada juga Fiqh al-Awlawiyyat karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. II, 1416 H/1996 M). Disamping Fiqh al-Awlawiyyah yang ditulis oleh Muhammad al-Wakil (Herndon-Virginia: al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr al-Islami, cet. I, 1416 H/1997 M). Tetapi, yang penulis maksud adalah: model fikih-fikih ini lahir dari tangan pemikir dan cendikiawan Muslim di Indonesia. Sehingga, akan lahir dan mengkristal semacam konsep “pemahaman” (al-fiqh) mengenai realitas keumatan (fiqh al-waqi`). Dengan demikian, umat akan maju ke depan dengan mengambil start dari khazanah klasik (turats) yang mereka miliki. Dan pada gilirannya, akan lahir semacam “harmonitas umat dan turats” yang mengubah keadaan kepada yang lebih baik: dari kejahilan akan peradaban menuju kematangan berpikir dan kegemilangan peradaban. Semoga.*
Penulis adalah guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Sekarang tengah menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor-Jawa Timur