Optimalisasi Pesantren dalam Membangun Peradaban

Written by | Sains Islam

Sadar Ilmu

Peradaban Islam bukanlah peradaban yang memuja materi, tetapi peradaban pecinta ilmu. Islam menepis tujuan-tujuan materialistis (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 100). Bukan berarti peradaban Islam membuang materi atau antimateri. Sains, teknologi, sistem politik dan ekonomi, seperti kata Ibn Khaldun, merupakan bagian dari anasir peradaban yang tidak bisa ditinggalkan.

Maka, yang perlu dipersiapkan adalah memaksimalkan komunitas-komunitas pecinta ilmu yang ada. Pesantren merupakan lembaga yang perlu dioptimalkan.

Pesantren sebagai ‘kantong’ penyuplai dan penegak ilmu perlu ditingkatkan perannya. Aktifitas keilmuan setidaknya mampu berkontribusi besar terhadap proses penegakan peradaban. Oleh sebab itu, bergerak pada segmen Islamisasi sains tampaknya sangat relevan untuk dilakukan.

Tentu saja hal itu tidak mudah. Komunitas pesantren perlu melakukan terobosan epistemologis. Salah satu caranya, menggali dan menemukan konsep-konsep dasar yang syar’i yang diperlukan dalam ilmu-ilmu terapan. Tantangannya adalah, epistemologi ilmu harus dibenahi dahulu.

Epistemologi yang perlu dikenalkan – setidaknya dalam konteks dunia pesantren – adalah proses pengajaran yang perlu didasari falsafah holistik. Yaitu penyatuan secara hierarkis antar ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardhlu kifayah. Inilah yang disebut kesadaran ilmu dalam membangun peradaban mulia.

Dalam pembangunan peradaban, pembenahan konsep ilmu, menurut Prof. Naquib al-Attas merupakan kerja paling utama. Pembenahannya melalui proses pendidikan. Al-Attas menyebutnya dengan pendidikan konsep ta’dib. Yaitu pendidikan yang bertujuan membentuk manusia beradab melalui integralisasi konsep ilmu fardhu ‘ain dan fardlu kifayah.

Dalam tulisannya, Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat, Dr. Hamid menulis, bahwa klasifikasi ilmu seperti yang dibuat Imam al-Ghazali berupa, fardhu ‘ain dan fardlu kifayah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian.

Ilmu fardlu ‘ain adalah ilmu-ilmu dasar yang asasi dalam agama. Al-Attas menyebut di antaranya adalah ilmu akidah dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan amalan yang akan dikerjakan. Ilmu fardlu kifayah menurut Imam al-Ghazali adalah ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu sejarah dan ilmu bahasa. Klasifikasi hierarkis ini perlu menjadi basis falsafah pengajaran ilmu di pesantren.

Berkaitan dengan itu, falsafah ilmu kontemporer perlu dibenahi. Alasannya, jatuhnya peradaban bukan karena kemunduran ekonomi, tapi krisis keilmuan (epistemologi). Al-Attas menyebut salah satu kerancuan ilmu yang saat ini terjadi adalah, ketimpangan antara ilmu fardhu ‘ain (al-Attas menyebutnya ‘ilmu pengenalan’) dengan ilmu fardhu kifayah (disebut oleh al-Attas dengan ‘ilmu pengetahuan’).

Ketimpangan itu berupa ketidaktepatan penyelenggaraan pengajaran. Kerancuan terjadi pada saat ilmu fardhu ‘ain – yang harusnya terlebih dahulu dikenalkan – didahului oleh fardhu kifayah. Sebaliknya, terdapat pula sistem yang hanya terfokus pada fardhu ‘ain atau hanya fardlu kifayah saja, sehingga mengabaikan salah satunya. Pandangannya adalah dualistik, tidak integratif.

Umumnya kurikulum pesantren terjabarkan dalam bentuk pengajaran kitab kuning. Materinya mulai Fikih, Akidah, Tata Bahasa Arab, Tafsir, Hadis, Tasawwuf, Akhlak dan Tarikh. Hanya, pada pesantren tradisional materinya bersifat fikih oriented (beorientasi pendalaman fikih). Pesantren juga secara umum mengkhususkan diri pada kajian ilmu fardlu ‘ain.

Bangkit

Salah satu tanda bangkitnya peradaban Islam menurut Ibn Khaldun adalah maraknya tradisi intelektual pada suatu kota. Jika pesantren merupakan komunitas penopang peradaban, maka sudah saatnya, pesantren mulai bergerak membuat kerja-kerja integrasi ilmu.

Secara metodologis, pesantren bisa mengembangkan pengajarannya. Pada level tertentu, kerja-kerja integrasi ilmu antar fardlu ‘ain dan fardhu kifayah diorientasikan secara maksimal.

Kajian-kajian ilmu fardhu kifayah seperti logika, filsafat Islam, metafisika, kalam, kedokteran dan matematika sepertinya sangat sedikit. Warisan tradisi intelektual para ulama’ dan cendekiawan terdahulu dapat dipelajari pada level tertentu.

Ilmu fardhu kifayah yang melibatkan kajian-kajian tentang ekonomi Islam, sosiologi Islam, fisika Islam, kedokteran Islam dan kajian tentang alam ditempatkan secara hierarkis, tidak dualis. Artinya, pengajaran itu diperoleh dengan dasar-dasar akidah dan pandangan hidup Islam.

Dalam konteks ini, pendalaman turats berkembang kepada turats karya-karya Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Ruysd, al-Khawarizmi dan lain-lain. Untuk pelajaran matematika -sebagai misal- dapat dilakukan dengan membaca kitab al-Kharizmi. Sementara, untuk kedokteran bisa merujuk kepada Ibn Sina dan Fakhruddin al-Razi.

Tradisi khataman kitab yang berjalan di pesantren tradisional setiap bulan Ramadlan juga menjadi momen penting. Santri senior yang telah mengkhatamkan dasar-dasar akidah, fikih dan bahasa dapat disajikan ‘menu’ turats sains itu.

Tentu saja proses tersebut bukanlah kajian serempak. Artinya, mata pelajaran ilmu-ilmu fardhu kifayah dikaji dengan tetap mengaitkan dengan ilmu ushuluddin. Sebagimana yang pernah dipraktikkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani di madrashnya, al-Qadiriyyah. Semua materi dilandasi oleh akidah dan tasawwuf.

Mata pelajaran Kimia -misalnya- dikaitkan secara dalam dengan ushuluddin. Kedokteran dikaitkan dengan fikih dan tafsir.

Dengan cara ini, sesungguhnya wajah pesantren tampak lebih ‘intelek’. Diupayakan, dengan metodologi ini, pesantren menyumbangkan pemikiran-pemikiran sains. Konsep-konsep baru dapat diaplikasikan dalam sains terapan dengan wajah yang lebih Islami.

Selain itu, alumni pesantren sangat berpotensi menjadi pelopor Islamisasi. Buku-buku sains Islam, Fisika Islam, Kedokteran Islam, sosiologi Islam, Antropologi Islam dan lain-lain sudah semestinya tidak ditulis sarjana non-pesantren, tapi ditulis oleh alumni pesantren.

Pada titik ini, pesantren tidak ketinggalan dengan lembaga-lembaga umum dalam dialektika peradaban. Kemampuan menemukan konsep-konsep Islami yang baru mengangkat pesantren bersinergi dengan pakar-pakar keilmuan.

Pesantren bukan sekadar lembaga pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ain. Akan tetapi menjadi agen-agen pembangun peradaban Islam bermartabat. Seperti disinyalir Ibn Khaldun, tidak tegak suatu peradaban tanpa adanya komunitas-komunitas pengkaji ilmu. Dalam hal ini pesantren sudah saatnya memakismalkan perannya sebagai komunitas yang secara simultan dan konsisten melakukan kerja-kerja integrasi ilmu. Dari kumpulan komunitas itulah peradaban akan bangkit dengan sendirinya.[]

*Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya

 

 

 

Last modified: 18/01/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *