Pers Chaos, Fikih Jurnalistik Bicara

Namun, apa jadinya jika kebebasan pers tidak diatur sehingga mengakibatkan chaos dalam kehidupan masyarakat? Persoalan inilah yang coba didiskusikan oleh Sie Kerohanian Islam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga pada hari Selasa (1/12) dalam acara bedah buku Fikih Jurnalistik. Acara yang berlangsung di ruang 303 Fakultas Ilmu Budaya tersebut menghadirkan Faris Khoirul Anam, Lc (penulis buku) dan Sirikit Syah, MA (praktisi & pengamat media).

Kebebasan pers yang sebebas-bebasnya tentunya melanggar kode etik jurnalistik, terlebih lagi fikih jurnalistik. Atas nama kebebasan pers – yang berbanding lurus dengan kebebasan HAM – majalah porno Playboy bebas melenggang di Indonesia. Belum lagi merebaknya tayangan ghibah, yakni  infotainment, yang selalu mendapat rating yang tinggi, sementara infotainment selalu menyuguhkan berita yang tidak pernah lepas dari kehidupan para selebritis; yang kebanyakan sisi negatifnya yang diangkat, tidak patut serta tidak penting jika harus diungkap ke publik seperti soal perceraian, perselingkuhan, artis ini pacaran dengan artis itu, dan sebagainya. “Wartawan dilarang ghibah (menggunjing, red) kecuali untuk kepentingan amar ma’ruf nahi munkar. Wartawan juga dilarang menyebarkan berita fitnah dan harus objektif. Dalam banyak pembertitaan, wartwan sering tidak akurat sehingga mengakibatkan kerugian pada pihak yang diberitakan. Ketidakakuratan ini menimbulkan firnah,” papar Faris. Ironisnya, atas nama kebebasan pers, wartawan lantas tidak mau disalahkan atas pemberitaan yang tidak benar tersebut.

Menurut Sirikit Syah, kebebasan pers di Indonesia sebenarnya sudah dibatasi oleh rambu-rambu, di antaranya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Undang-Undang (UU Penyiaran, Rahasia Negara, ITE, Pornografi, dll), serta norma masyarakat. “Menurut saya, Undang-Undang Pers sudah selaras dengan fikih jurnalistik, dengan adanya poin-poin yang menyatakan bahwa wartawan tidak boleh melanggar norma agama dan norma masyarakat. Dan Undang-Undang Pers juga tidak mendewa-dewakan kebebasan,” jelas Sirikit Syah yang juga Direktur Media Watch Surabaya ini. Mengamini pernyataan Sirikit, Faris mengatakan bahwa norma yang berlaku umum di masyarakat – dalam kaidah Ushul Fiqih disebut Urf  (etika umum/adat kebiasaan yang berlaku) – bisa menjadi instrumen penggalian hukum.

Buku Fikih Jurnalistik ini merupakan salah satu buku jurnalistik terbaik yang ada di Indonesia. Proses kreatif penulisan buku ini berawal dari keinginan penulis – yang juga dosen di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya – untuk “mengawinkan” disiplin keilmuan yang dia pelajari dengan hobi jurnalistik yang dia geluti. Saat Faris kuliah S1 di Fakultas syari’ah Al-Ahgaff University, Hadhramaut, Yaman, Faris mengambil judul skripsi Fiqhu al-Shahafah atau Fikih Jurnalistik. Hobi jurnalistiknya dia salurkan dengan menjadi kontributor beberapa media Islam dan situs resmi pemerintah Provinsi Hadhramaut Yaman.

Buku Fikih Jurnalistik ini isinya membahas hukum syari’at yang berhubungan dengan tahap kerja jurnalisme, hingga sampai pada tujuannya. Secara garis besar, buku ini membahas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wartawan. “Islam adalah pedoman lengkap untuk profesi apa pun dan di zaman apa pun. Ketika pers mengalami perkembangan pesat, dan punya kekuatan untuk mengendalikan jalan pikir, gaya hidup, keinginan, bahkan seluruh aktivitas menusia sepanjang hidupnya, syaa yakin, syari’at Islam tidak abstain dalam ranah ini,” tegas Faris. Dan benar saja, ketika Faris membaca buku undang-undang pers berbagai negara dan menelusuri sekitar 60 literatur keislaman, dia menemukan kebenaran itu. Berbagai kegiatan jurnalistik yang meliputi kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, semua tuntunannya sudah dibahas oleh Al-Qur’an , hadits, dan kitab-kitab yang ditulis ulama Muslim sekian rtus tahun lalu. “Buku ini membahas sesuatu yang belum dibahas di buku jurnalistik lain, dan saya sangat senang karena orientasinya tidak ke Barat. Bahkan saya bisa katakan bahwa buku ini lebih lengkap dari buku-nya Bill Covach (9 Elemen Jurnalisme, red) dalam pembahasan mengenai penggunaan hati nurani oleh wartawan,” kata Sirikit mengomentari buku yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar tersebut.

Satu suara ditunjukkan oleh Faris dan Sirikit saat mengulas tentang pemberitaan konflik Palestina-Israel. Jika Faris salut pada diksi yang dipilih oleh stasiun TV Al-Jazeera saat memberitakan konflik Palestina-Israel, Sirikit mengkritik sebagian besar media massa yang hanya membebek kantor berita asing sehingga mereka malah menjadi corong negara-negara Barat yang masih memakai term ‘teroris’ untuk Palestina dan term ‘korban’ untuk Israel. “Al-Jazeera menggunakan kalimat ‘Seorang warga Palestina gugur sebagai syuhada’ untuk orang Palestina yang dibunuh saat bentrok dengan tentara Israel, dan menggunakan kalimat ‘Seorang tentara Israel mati’ untuk tentara Israel yang terbunuh saat terjadi bentrok,” kata Faris. Sedang Sirikit menjelaskan bahwa 90% praktisi media massa termasuk Pemred-nya adalah orang Islam, tapi kalau bicara masalah Terorisme, suaranya persis seperti Amerika. Mereka melansir berita tentang konflik Palestina-Israel dari kantor berita asing, tapi tanpa melakukan perubahan pada judul dan lead-nya,” jelas Sirikit.

Di akhir acara, Sirikit Syah berpesan agar para peserta bedah buku rajin menulis untuk menjelaskan Islam secara benar serta meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam. “Dakwah tidak harus lewat ceramah. Mneulis bisa menjadi sarana dakwah yang bagus,” imbau Sirikit. (Kar)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *