Bagaimana umat Islam menanggapi globalisasi yang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan mereka?
1. Optimis : Globalization from Below sebagai Sebentuk Perlawanan
Pihak yang optimis melihat globalisasi sebagai peluang bagi umat Islam untuk memberikan kontribusi sumbangan pemikiran agar Islam bisa diterima oleh peradaban global yang kini dominan. Akber S. Ahmed, adalah representasi dari sikap optimis semacam ini. Ahmed menguraikan temuannya ini dalam kapasitasnya sebagai intelektual Muslim yang banyak terlibat dengan media Barat sehingga tidak heran kalau realitas posmodernisme baginya adalah realitas media. Dalam hal ini, Ahmed memposisikan diri sebagai seorang posmodernis afirmatif.
Hal ini bisa terlihat dari kegirangannya untuk menyambut semangat pluralisme-posmodernisme yang gaungnya di Barat sudah sangat kuat. Bila diterjemahkan dalam kontes hubungan Barat dan Islam, Ahmed membayangkan bahwa pluralism posmodernisme menjanjikan situasi yang lebih dialogis.
Dalam analisis Ahmed, globalisasi media yang disokong jaringan korporasi modal internasional telah menembus batasan kultural, geografis, dan negara sedemikian rupa sehingga beragam cara pandang bertemu dalam tingkat yang intensif. Dengan dukungan ajaib teknologi, media audio-visual bahkan mampu menghadirkan secara serentak beragam wacana menjadi satu paket sajian media. Dalam media; ide filsafat, khotbah, agama, fakta sejarah, science-fiction, dan budaya pop berkelindan menjadi satu.
Dalam Islam in the Age of Postmodernity, Ahmed menegaskan bahwa posmodernisme telah menyentuh sisi terdalam agama Islam; meliputi studi-studi Islam dan cara pandang para intelektual Muslim. Para intelektual Muslim yang menularkan perubahan drastis dalam paradigma studi Islam ini mayoritas berdiam di negeri-negeri Barat. Perubahan drastis ini, menurut Ahmed, dinisbatkan kepada fenomena yang disebut ‘globalisasi’. Merujuk definisi yang diberikan Anthony Giddens, Ahmed memaknai globalisasi identik dengan perkembangan secara di ranah teknologi, transportasi, serta informasi yang menyebabkan ujung dunia sekalipun bisa dijangkau dengan mudah.
Sebagai seorang intelelektual Muslim yang mengalami fase-fase awal perkembangan posmodernisme, Ahmed mengetengahkan contoh yang bagus dari proses globalisasi dengan mengamati kontroversi seputar Salman Rushdie yang terjadi di akhir tahun 1980-an di Inggris akibat penyebaran buku The Satanic Verses. Dalam waktu beberapa jam saja, perkembangan yang terjadi di Inggris langsung mendapat respon dari orang-orang Muslim yang hidup di belahan benua lain; mereka yang ada di Islamabad dan Bombay. Pada akhirnya, orang-orang Muslim yang memprotes tersebut rela mati demi mengutarakan protes keras mereka terhadap buku Salman Rusdie yang isinya menghina figur suci umat Islam, yakni Rasulullah Muhammad SAW. Timbul reaksi dari berbagai kalangan; pemerintah mengeluarkan pernyataan, media berbicara, editorial, ketegangan dan protes mewarnai perdebatan di media cetak maupun elektronik. Tidak pernah ada dalam sejarah sebuah peristiwa berkembang dan mendapat respon begitu cepat serta luas seperti kasus Salman Rusdie ini.
Bagaimana dengan internet? Menilik fenomena worldwide world atau yang populer dengan nama internet, sangat menarik ketika fenonema ini dihubungkan dengan keberadaan umat Islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Internet memunculkan apa yang dinamakan “globalizing the local”, yakni memasukkan wacana Islam normatif ke wacana Barat melalui teknologi informasi. Konteks ini berbicara tentang diaspora umat Islam, terutama yang berimigrasi di Eropa dan Amerika Utara. Mereka membangun komunitas Muslim yang solid di negara-negara Barat, yang oleh Benedict Anderson disebut “creole” dari information superhighway; aktor-aktor politik yang kekuatan politiknya terletak pada adopsi yang mereka lakukan terhadap teknologi yang memungkinkan mereka untuk mencetak secara elektronik dan mentransfer informasi. Internetlah yang telah menjadikan diaspora umat Islam di negeri Barat mampu mengekspresikan keyakinan agama mereka dengan sangat masif. Hal ini semakin menguatkan identitas mereka sebagai Muslim.
Lebih dari itu, Karim H. Karim memandang ‘encounter’ atau persentuhan diaspora umat Islam dengan internet di negara-negara Barat – terutama di Amerika Utara, Eropa dan Australia; sekaligus memunculkan fenomena baru yang dinamakan ‘diasporic faithful’. Fenomena ini menarik untuk dicermati karena ‘diasporic faithful’ telah menjadi salah satu aspek dari gerakan perlawanan yang disebut ‘globalization from below’. Ide mengenai ummah melingkupi seluruh dunia namun bersatu dalam beberapa ide dasar, prefigure sifat dasar diaspora yang mengglobal. Diaspora Muslim transnasional (yang dihubungkan oleh kelompok, asal negara, dan/atau aliansi politik) menggunakan teknologi yang menjadi bagian dari top-down globalization seperti telepon, fax, handphone, digital broadcasting satellite, dan internet. Uniknya, diaspora Muslim transnasional menggunakan teknologi ini untuk mengembangkan komunikasi alternatif dengan network yang mensupport sebuah globalization from below. Dalam beberapa kasus, network-network semacam ini mampu melakukan counter terhadap pembatasan yang dilakukan pemerintah negara-negara Muslim, misalnya the Kurdish MED-TV dan televisi yang dimiliki oleh Ahmadiyyah Internasional.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Giddens, globalisasi pada pokoknya berarti proses interkoneksi yang terus meningkat di antara berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah negara mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Dunia yang terglobalisasi adalah dunia dimana peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, budaya, dan sosial semakin terjalin erat dan merupakan dunia dimana kejadian-kejadian tersebut berdampak secara besar. Dengan kata lain, kebanyakan masyarakat dipengaruhi secara ekstensif dan lebih intensif oleh peristiwa yang terjadi di masyarakat lain. Peristiwa itu pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut IMF (International Monetary Fund) sebagai salah satu institusi pilar globalisasi, globalisasi ekonomi adalah sebuah proses historis. Globalisasi merujuk pada integrasi ekonomi yang terus meningkat di antara bangsa-bangsa di muka bumi, terutama lewat arus perdagangan dan keuangan.
Sementara itu institusi pilar lain dari globalisasi, yakni Bank Dunia (World Bank), menyatakan bahwa inti globalisasi ekonomi adalah proses sharing kegiatan ekonomi dunia yang berjalan melanda semua masyarakat di berbagai negara dengan mengambil tiga bentuk kegiatan, yakni perdagangan internasional, investasi asing langsung dan aliran pasar modal.
2. Kritis : Globalisasi Sarat dengan Worldview Barat
Pihak yang pesimis memandang curiga pada globalisasi dengan beberapa alasan; antara lain :
Pertama, istilah ’globalisasi’ perlu ditelaah secara teliti. Ia bukanlah istilah yang bisa dimaknai secara subjektif. Artinya, globalisasi membawa agenda yang penuh dengan world-view Barat.
Dalam diskusi seputar globalisasi, jelas sudah bahwa istilah ‘globalisasi’ tidak melulu menjadi milik bidang ilmu bisnis namun menjadi diskusi interdisipliner dalam bidang ilmu sosial. Dalam konteks ini mungkin ada sebuah argumen yang menyatakan bahwa masing-masing definisi mengindikasikan istilah dari perspektif tertentu, namun pada akhirnya, seluruh definisi menggiring kepada globalisasi Anglo Saxon; yang pada akhirnya akan menuju ke satu bentuk comprehensive globalization yang melibatkan seluruh kekuatan yang akan mengarahkan dunia kepada sebuah desa buana (global village), mempersempit jarak, menghomogenkan budaya, mereduksi kedaulatan nasional dan batas-batas hubungan politik. Dalam konteks ini, para intelektual sepakat dengan Ali Mazrui serta intelektual-intelektual lain yang memiliki argumen bahwa ‘globalisasi’ merupakan “desanisasi dunia (villagization of the world)”. Bagaimanapun juga, konsep desanisasi dunia tidak dimaknai sebagai sebuah kulminasi positif dimana seluruh penduduk bumi akan bisa terlibat, sejajar, dan bahkan terintegrasi secara harmonis, namun globalisasi lebih mengacu kepada proses homogenisasi global yang dengan sengaja dikonstruk oleh kepentingan Amerika dan negara-negara Barat lainnya.
Mark Levine mengatakan bahwa pengalaman umat Islam terkait globalisasi dimaknai sebagai sebuah ‘a post-modern culturalism’, yang berkaitan erat dengan apa yang disebut kulturalisasi politik dan ekonomi, sebagai momen yang menegaskan terjadinya globalisasi kontemporer. Mensikapi diskursus semacam ini, para intelektual Muslim meminta apa yang dinamakan ‘hak untuk berbeda’ secara kultural. Fokus para sarjana Muslim pada hak untuk berbeda secara kultural ini menjadi sangat krusial, sebab globalisasi dimaknai sebagai dasar pikiran atau legitimasi bagi semakin tingginya tingkat kemiskinan serta kesenjangan di antara negara-negara di dunia.
Kedua, para intelektual Muslim sepakat, bahwa globalisasi menandai sebuah kontinuitas dominasi dan hegemoni Barat yang telah berlangsung selama ratusan tahun, dimana sekarang ini Amerika memanfaatkan globalisasi untuk meruntuhkan norma-norma politik, ekonomi, dan budaya yang eksis di negara-negara non Barat. Dalam konteks ini, Amerika menggunakan yayasan-yayasan budaya/ideologi globalisasi. Lewat yayasan-yayasan ini, Amerika ingin merealisasikan tujuan-tujuan imperialismenya tanpa menyebabkan reaksi-reaksi revolusioner, seperti yang pernah dilakukan oleh imperialisme Barat pada masa lalu. ‘Fine power’ (kekuatan yang menyenangkan), merupakan istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan pemanfaatan yayasan-yayasan milik Amerika tersebut.
Pesimisme para sarjana Muslim seperti yang dijelaskan Mark Levine di atas, mendapatkan momennya ketika globalisasi tiba pada fase ketiga perjalanannya, yakni pasca Perang Dingin. Setelah Uni Soviet runtuh, praktis gravitasi politik internasional terpusat ke Amerika sehingga muncul istilah ’center’ dan ‘periphery’ yang dipopulerkan oleh Barry Buzan. Dominasi dan hegemoni politik kebijakan luar negeri Amerika Serikat semakin signifikan manakala peristiwa WTC 9/11 terjadi. Secara sepihak, George W. Bush yang kala itu menjabat sebagai presiden, mengeluarkan frase “axis of evil” yang ditujukan kepada siapapun yang berani menentang politik kebijakan luar negerinya.
Jika menilik pada latar belakang penolakan umat Islam terhadap globalisasi, maka globalisasi di sini diasosiasikan dengan Westernisasi, yang mereduksi bahkan mendekonstruksi nilai-nilai (values) non Barat. Westernisasi, secara spesifik dikatakan sebagai ghazwul fikri (perang pemikiran). Istilah ini mulai popular sejak tahun 1990. Buku pertama yang mengulas tentang ghazwul fikri adalah buku yang ditulis oleh A.S.Marzuq berjudul “Ghazwul Fikri” terbitan Pustaka al-Kautsar tahun 1990.
Istilah Westernisasi sendiri menandakan terdapatnya proses pengadopsian budaya Barat dalam bidang industri, teknologi, hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, abjad, agama, filsafat, serta nilai-nilai.
Terlepas dari ketidaksepakatannya terhadap pihak-pihak yang melihat globalisasi sebagai sarana menyebarkan Westernisasi, serta menjadi semacam ”kutukan Barat” terhadap budaya serta nilai-nilai non Barat; Amartya Sen mengakui bahwa globalisasi merupakan world heritage (warisan dunia), bukan sekedar kumpulan dari budaya lokal yang berbeda.
Globalisasi sebagai ’world heritage’ ditanggapi secara kritis oleh S.M.Mohamed Idris. Dalam makalahnya yang berjudul Menyanggah Globalisasi-Agenda Bertindak Dunia Islam’, S.M. Mohamed Idris mengemukakan analisanya, bahwa gloabalisasi adalah suatu proyek yang khusus, dicetuskan, dirancang, dan diperkenalkan oleh negara-negara kaya yang konon maju serta canggih. Negara-negara kaya ini kemudian memaksa negara-negara lain yang sedang berkembang dan miskin agar turut aktif terlibat dalam proses globalisasi tanpa kekritisan. Imbas negatif globalisasi juga melanda Dunia Islam. Globalisasi menjadi ancaman serius bagi umat Islam; tidak hanya terbatas dalam bentuk eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, namun ia juga mengikis keyakinan, nilai, budaya, dan tradisi Islam.
Westernisasi yang dihantarkan secara masif oleh globalisasi, telah menimbulkan problem yang semakin serius ketika filsafat posmodernisme dilaunching oleh para pemikir Barat kontemporer anti modernisme semacam Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Thomas Samuel Kuhn, Jacques Derrida, Michele Foucault, Jean Francois Lyotard, Richard Rorty, Jean Baudrillard, dan Fredric Jameson. Posmodernisme menawarkan sebuah konsep yang tidak terstruktur dan berbasis relativisme. Posmodernisme menghancurkan icon, struktur, cara berpikir lama untuk diganti dengan cara berpikir baru.
Filsafat posmodernisme yang membawa konsekuensi globalisasi dikritik dengan keras oleh Ziauddin Sardar. Dalam bukunya Posmodernism and Other, Sardar mengemukakan keberatannya atas posmodernisme yang tidak lebih dari kelanjutan episode dalam peradaban Barat yang dimulai dengan kolonialisme dan perluasan pengaruh guna menjajah pemikiran orang-orang dan masyarakat non-Barat.
Ketika merasuki pemikiran umat Islam, posmodernisme meruntuhkan bangunan Islam sebagai agama dan worldview. Doktrin relativisme mendekonstruksi konsep kebenaran. Tidak ada kebenaran absolut sebab kebenaran itu relatif. Konsekuensinya, tafsir kitab suci menjadi relatif. Pada akhirnya, keyakinan terhadap agama menjadi tidak ada artinya lagi.
Hamid Fahmy Zarkasyi mempunyai tesis yang secara tepat mampu menjelaskan posisi agama dalam dunia posmodernisme. Menurutnya, agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah diformulasikan oleh para filosof. Jadi, agama dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak memiliki kebenaran absolut. Oleh sebab itu agama mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat dalam pengertian tradisional.
Transendensi agama di era globalisasi dihadapkan pada ketegangan-ketegangan dialektis, antara implikasi-implikasi globalisasi dengan keharusan agama untuk tetap mempertahankan aspek transendetal.
Bagaimana globalisasi mampu mereduksi Islam sedemikian dahsyatnya? Dalam hal ini Akbar S. Ahmed dengan brilian mampu memberikan analisasnya mengenai ciri-ciri posmodernisme yang menimbulkan konsekuensi globalisasi. Dalam bukunya yang fenomenal, Postmodernism and Islam : Predicament and Promise, dijelaksan bahwa media merupakan ciri pendefinisi, dinamika sentral, Zeitgeist dari posmodernisme. Media menjadi instrumen yang kuat dalam memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global.
*Penulis adalah peneliti InPAS