Orientalis-missionaris ini telah terbiasa dengan kritis Bibel mereka, misalnya menghimpun varian bacaan Perjanjian Baru, seperti John Mill yang mengkaji kritis teks (textual criticism) perjanjian Baru dengan cara menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat menghimpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus recepetus dalam versi bahasa Yunani kuno.[ix]

Persoalannya ialah, adanya adopsi oleh cendekiawan muslim mengenai varian bacaan pada Perjanjian, khusunya di Indonesia. Dalam buku Metodologi Studi Al-Qur’an misalnya, menjelaskan bahwa, sebelum al-Qur’an dikodifikasi dan distandarisasikan Utsman, tidak banyak isu ragam bacaan yang muncul. Hal ini bisa dimaklumi karena ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dihafal ketimbang ditulis. Tapi, setelah ada penyeragaman, isu keberbagaian versi al-Qur’an tidak bisa lagi dibendung.[x] Pemahaman mengenai qira’at ini jelas keliru. Padahal adanya kodifikasi dan standarisasi yang dilakukan Utsman bin Affan ra bukan menjadi penyebab munculnya qira’at.

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai sebab-sebab lahirnya keragaman qirâ’at dan lahirnya huruf tujuh (ahrufu sab’ah) dalam perspektif orientalis, Qira’ah dengan Makna: Versi Orientalis, distorsi qirâ’at dalam mushaf utsmani: pandangan orientalis, serta dampak dari kajian orientalis mengenai qirâ’ah.

B. Lahirnya Keragaman Qira’at dalam pandangan Orientalis

Di antara kajian utama yang dilakukan Orientalis terhadap al-Qur’an dari aspek qirâ’atnya adalah mengenai lahirnya keragaman qirâ’at. Dalam pandangan Noldeke misalnya, tulisan arab menjadi penyebab perbedaan qirâ’ah. Mengadopsi gagasan Noldeke, Ignaz Goldziher, seorang Yahudi asal Hungaria dan pernah menjadi mahasiswa di al-Azhar Mesir, menjelaskan dengan mendetail mengenai penyebab perbedaan qirâ’ât. Goldziher menyatakan:

“lahirnya sebagian besar perbedaan (qirâ’at) tersebut dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vokal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Demikian halnya pada ukuran-ukuran suara (vokal) pembacaan yang dihasilkan . perbedaan harakat-harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab yang asli memicu perbedaan posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalâlah). Dengan demikian, perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qirâ’at dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas.”[xi]

Untuk memperkuat gagasannya, Goldziher mengajukan sejumlah contoh yang ia bagi ke dalam dua bagian.[xii]

Pertama, perbedaan karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis.

  1. [xiii]ونادى أصحاب الأعراف رجالا يعرفونهم بسيماهم قالوا ما أغنى عنكم جمعكم وما كنتم تستكبرون Menurut Goldziher, sebagian sarjana (ulama) qirâ’at membaca lafadz تستكبرون yang tertulis dengan huruf ba’ (dengan satu titik) dengan bacaan  تستكثرونyaitu dengan huruf tsa’ (bertitik tiga).
  2. وهو الذي يرسل الرياحبشرا بين يدي رحمته[xiv]. Kata بشرا dibaca dengan huruf nun sebagai ganti dari ba’, sehingga menjadi نشرا.
  3. [xv]ياأيها الذين أمنوا إذا ضربتم في سبيل الله فتبينوا ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمنا Mayoritas ulama qirâ’at terpercaya (tsiqat) membaca lafadz فتبينوا dengan lafadz فتثبتوا

Kedua, perbedaan karena harakat, salah satu contoh

ما ننزل الملائكة إلا بالحق وما كانوا إذا منظرين[xvi]

Goldziher menjelaskan dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara sarjana qirâ’at pada lafadz yang menunjukan turunnya malaikat, apakah itu نُنَزّل atau تنزل atau diturunkan تُنزل maka secara praktis menunjukan bahwa sebuah pengamatan yang obyektif mengenai perbedaan harakat, turut berperan dalam menyebabkan munculnya perbedaan qirâ’at.

Senada dengan Goldziher, Arthur Jeffery berpendapat bahwa kekurangan tanda titik dalam mushaf Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia fahami.[xvii] Lebih jelasnya ia mengatakan:

“Dihadapkan dengan teks konsonantal yang gundul, qâri’ pasti harus menafsirkannya. Ia harus menentukan apakah sebuah sin tertentu itu adalah shin atau sin, sad atau dhad, qaf dan lain sebagainya; dan ketika ia telah menetapkan itu, ia selanjutnya harus menentukan apakah membaca bentuk kata kerja sebagai aktif atau pasif, apakah memperlakukan sebuah kata tertentu sebagai kata kerja atau kata benda. Karena ia mungkin keduanya dan sebagainya.”[xviii]

Menurut Abdul Halim al-Najar, qira’at dari Surat al-A’raf ayat 48 yang menjadi justifikasi Goldziher di atas sama sekali tidak bisa menjadi pedoman, baik dalam qirâ’at tujuh maupun qirâ’at empat belas. Menurutnya, qirâ’at tersebut merupakan qirâ’at yang mungkar dan tidak diketahui secara definitif siapa yang membacanya. Sedangkan qirâ’at Surat al-A’raf ayat 57, Abdul Halim menegaskan bahwa qirâ’at ini telah pasti, dengan men-dlamah-kan nun dan men-sukun-kan syin (Nusyran) dari jalur Ibnu Amir, salah seorang sarjana qirâ’at tujuh. Dan dengan men-dlamah-kan nun dan syin (Nusyuran) dari jalur Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Abu Ja’far dan Ya’qub. Sarjana yang sejalan dengan mereka adalah Ibnu Mahisin dan Yazidi, sedangkan Hamzah, Kisa’i dan Khalaf membaca dengan nun yang berharakat fathah dan syin yang disukunkan (Nasyran) dengan berkedudukan sebagai masdar yang menempati tempatnya hal. Dari sini jelas, bahwa acuan dalam hal itu adalah kemutawatiran riwayat, bukan keadaan tulisan.[xix]

Membantah pendapat Goldziher dan Jeffery mengenai lahirnya qirâ’at, Muhammad Musthofa al-A’zami mengatakan bahwa “ketika perbedaan muncul-hal ini sangat jarang terjadi- maka kedua kerangka bacaan (titik dan syakal) tetap mengacu pada Mushaf ‘Utsmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai[xx] atau silsilah yang berakhir kepada Nabi Muhammad Saw.”[xxi] Hal ini senada dengan pendapat Shabur Syahin, menurutnya, “Qiraât pada dasarnya adalah riwayat-riwayat yang berkaitan dengan cara Nabi Saw dalam membaca al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan prinsip-prinsip umum maupun yang berkaitan dengan riwayat-riwayat yang bersifat parsial.[xxii] Jadi, tulisan Arab bukanlah penyebab lahirnya perbedaan qirâ’at. Akan tetapi adanya perbedaan qirâ’at sangat membantu untuk mendalami qirâ’at-qirâ’at yang sahih dengan situasinya pada waktu penulisan mushaf utsmani, misalnya tidak adanya titik dan syakal. Menurut Abdul Halim, Pedoman utama bukanlah tulisan, karena jika demikian maka setiap qirâ’at yang ditoleransi oleh teks pasti akan menjadi pedoman.[xxiii]

Salah-paham tentang rasm dan qirâ’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca walau sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian,  rasm Utsmâni sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.[xxiv]

Dalam pandangan ulama, Qirâ’at (قراءات) secara etimologis merupakan bentuk jama’ dari qirâ’ah (قراءة) yang merupakan bentuk masdar dari qara’a (قرأ) yang berarti membaca.[xxv]Adapun secara terminologi, qirâ’at dalam pandangan ulama memiliki beberapa pengertian. Pertama, qirâ’at berarti salah satu  madzhab (aliran) pengucapan  Qur’an  yang dipilih  oleh salah satu imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah Saw.[xxvi]Kedua, menurut Imam Zarkasyi (W 794 H) qirâ’at ialah “Perbedaan lafadz-lafadz yang tersirat dalam Al-Qur’an, baik mengenai huruf-hurufnya maupun tentang Kaifiyyah nya dalam hal takhfîf, tatsqîl maupun antara keduanya.[xxvii]

Pengertian ketiga, qirâ’at menurut Az-Zarqôni (W 1367 H) ialah, ” madzhab (aliran) pengucapan al-Qur’an  yang dipilih  oleh salah satu imam qurra’  sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya, yang sesuai dengan riwayat dan sanadnya, baik perbedaan yang berkenaan dengan pengucapan dalam huruf ataupun dalam kaifiyahnya.[xxviii]keempat, menurut Al-Bannâ ad-Dimyâtî, qirâ’at ialah “ilmu untuk mengetahui kesepakatan pembaca atau pembawa al-Qur’an dan perbedaan mereka dalam hal hadzaf, itsbât, tahrîk, taskîn, fasal, wasal dan lain-lain yang berkenaan dengan pengucapan, penggantian dan lainnya dari aspek pendengaran.[xxix]

Dari pengertian qirâ’at diatas dapat kita simpulkan bahwa text Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan, dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad Saw, Secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya, kedua-duanya haram untuk bercerai[xxx].

 Jadi, orientalis seperti Goldziher dan Jeffery telah keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings– sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel, serta keliru menyamakan qirâ’at dengan “readings”, padahal qirâ’at adalah “recitation from memory” dan bukan “reading the text”. jadi dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi Saw (“ar-rasmu tâbi’un li ar-riwâyah”) dan bukan sebaliknya.[xxxi]

Kekeliruan ini diakibatkan dari asumsi yang keliru, yakni memperlakukan al-Qur’an sebagai karya tulis; taking “the Qur’an as Text”. Mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism[xxxii], source criticism[xxxiii], form criticism[xxxiv], dan textual criticism.[xxxv]akibatnya mereka menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), sekadar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke 7 dan 8 Masehi.[xxxvi] Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya.[xxxvii]

C. Hadits Tujuh Huruf (ahrufu sab’ah)

Al-Qur’an jelas bukan merupakan karya tulis, oleh karenanya keinginan Orientalis untuk menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible amatlah keliru. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad untuk seluruh umat, kemudahan membaca al-Qur’an merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an. Nabi Saw telah diberi izin untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatnya dengan tujuh huruf.[xxxviii]

Mengenai sabda Rasulullah Saw atas diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, Goldziher berkomentar bahwa

“Dalam maknanya yang shahih mengenai hadits tersebut- para ulama Islam tidak memiliki kesepakatan yang jelas – di kalangan ulama, hadits ini terdiri dari 35 bentuk penafsiran, yang kesemuanya itu sama sekali tidak terkait dengan perbedaan qirâ’at. Hanya saja banyaknya perubahan dalam teks Al-Qur’an pada masa awal mendorong munculnya penafsiran bahwa makna huruf dalam konteks ini adalah qirâ’at, dan penggunaan hadits tersebut menunjukan adanya pembenaran yang terikat dengan sebagian aturan dan syarat-syarat qirâ’at yang berlaku.[xxxix]

Statemen Goldziher di atas menunjukan bahwa tidak adanya penafsiran yang pasti mengenai hadits tujuh huruf menunjukan tidak sepakatnya para ulama. Menurut Abdul Halim, pendapat Goldziher tidaklah tepat. Banyaknya versi penafsiran karena ia secara inheren merupakan sikap yang cukup jelas atas hadits tersebut, oleh karena itu tidak akan di temukan solusinya kecuali memilih salah satu versi penafsiran dengan dalil-dalil yang representatif. Hal ini telah mematahkan asumsi Goldziher, dan juga merupakan hujjah bahwa qirâ’at-qirâ’at ada lebih dahulu daripada tulisan.[xl]

Ada beberapa pendapat soal makna al-ahruf al-sab’ah (tujuh bacaan). Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Sufyan bin ‘Uyainah, Thohawi dan para ulama fiqih-hadits berpendapat, yang dimaksud dengan al-ahruf al-sab’ah (tujuh bacaan) adalah tujuh bahasa atau lahjat dalam satu kalimat. Lahjat ini lafalnya berbeda sedangkan maknanya sama, contoh haluma, aqbil, ta’al, ‘ujjila, asra’a, qashdii, nahwi, ketujuh lafadz diatas maknanya satu, yaitu meminta untuk datang.[xli]

 Al-Sheikh al-Zarqâni memahami makna tujuh huruf atau sab’ati ahruf sebagai tujuh bacaan atau sab’ati awjûhin li al-qirâ’at. Al-Râzî memahami sab’at awjuh, yaitu: pertama, perbedaan dalam al-asmâ dari ifrâd, tathniyyah, jama’, tadzkîr, ta’nîth, mubâlaghah dan lain-lain[xlii]. Kedua, perbedaan dalam tasrîf al-af’al dan apa yang disanadkannya dari kata kerja mâdi[xliii], mudâri’ dan ‘amr, dengan isnâd-nya kepada mudzakkar, mu’annath, mutakallim, mukhâtab, fâ’il, dan maf’ûl bihi. Ketiga, wujuh al-I’rab.[xliv] Keempat, penambahan dan pengurangan atau al-Ziyâdah wa al-ta’khîr.[xlv] Kelima, mengajukan atau mengakhirkan atau altaqdîm wa al-ta’khîr.[xlvi] Keenam, al-qalbu dan al-ibdâl dalam bentuk kalimat dengan kalimat atau huruf dengan lainnya.[xlvii] Ketujuh, perbedaan bahasa dari harakat fath, imâlah, tarqîq, tafkhîm, tahqîq dan lain-lain. Memang lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkan hadits yang mengukuhkan bahwa Al-Qur’an telah diturunkan dalam tujuh huruf. Bahkan Muhammad Musthofa A’zhami menambahkan bahwa ada empat puluh pendapat tentang makna ahruf. Menurutnya, beberapa dari mereka mengartikannya begitu jauh, namun, kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Al-Qur’an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraisy[xlviii].

Karena dispensasi ini, maka muncullah beberapa perbedaan bacaan Al-Qur’an seperti bacaan idhgam, izhhâr, imâlah, dan lain sebagainya.[xlix]Oleh karenanya, tidak diragukan lagi, bahwa para sahabat yang telah memeluk Islam pada periode Makkah mampu membaca Al-Qur’an seperti model bacaan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan mereka yang memeluk Islam sesudah itu mengalami dua hal, lebih jelasnya Syahin mengatakan:

Pertama, mereka berasal dari kabilah-kabilah yang berbed. Mereka berasal dari  beberapa kabilah yang terpencar di semenanjung Jazirah Arabia. Mereka belum bisa berbahasa Arab dengan fasih atau berbahasa dengan dialek Quraisy. Bahasa Arab yang fasih masih asing bagi mereka, kendati mereka mampu mengucapkan sesuai dengan sifat-sifatnya. Kedua, para sahabat yang lebih dulu masuk Islam mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan jelas disebabkan karena peluang mereka untuk belajar langsung kepada Nabi Muhammad Saw sangat banyak dan terbuka lebar. Mereka dapat mengikuti beliau dalam segala hal. Sementara para sahabat yang terakhir masuk Islam tidak mendapatkan peluang semacam. Mereka jarang berhubungan secara langsung dengan beliau. Karena itu, mereka diberi dispensasi untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.  Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan  untuk belajar, berlatih, dan memperbaiki bacaan Al-Qur’an mereka”.[l]

‘Umar Ibn al-Khattâb dan Hishâm bin Hâkim pernah berselisih mengenai Surat al-Furqân, walaupun keduanya pernah bersama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad Saw, ‘Umar bertanya pada Hishâm siapa yang mengajarkannya. Hishâm menjawab, “Nabi Muhammad Saw” kemudian mereka pergi bertemu Rasulullah Saw dan melaporkan permasalahan yang dihadapi. Ketika kedua-duanya menyampaikan bacaan masing-masing, Rasulullah Saw mengatakan bahwa kedua-duanya adalah benar.[li] Kejadian serupa dialami oleh Ubay bin Ka’ab.[lii] Jelasnya, tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad Saw.

Mengenai hadits tujuh huruf, Syahin mengatakan bahwa “Dispensasi mengenai tujuh huruf ini bersifat temporal. Ia berlaku bila alasan yang melatarbelakanginya diberlakukan masih ada”[liii]. Bila tidak, maka dispensasi ini tidak berlaku lagi. Artinya, turunnya tujuh huruf ketika ada kemaslahatan yang mendesak untuk diberlakukannya. Menurutnya, keadaan dan situasi yang menuntut diberlakukannya izin membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf baru terakumulasi di akhir periode Madinah. Pada periode ini, jumlah umat dan teks Al-Qur’an yang sudah turun cukup banyak, jumlah dialek umat beragam, dan fasilitas-fasilitas untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat masih minim dan terbatas. Dengan demikian, alasan untuk memberikan kemudahan ini menjadi logis. Lalu dispensasi ini menjadi tidak berlaku, ketika umat bersatu dalam satu mushaf, yakni mushaf utsmani.[liv] Disini Syahin menyetujui pendapat at-Thabari yang menyatakan bahwa dispensasi ini telah ditiadakan berkat jasa Utsman yang mengumpulkan Al-Qur’an dan menulis beberapa mushaf. Menurut Syahin, dengan usaha ini, Utsman telah menyatukan umat dalam satu huruf dan mengesampingkan enam huruf lainnya.[lv]

Namun Syahin juga menyetujui pendapat yang dikemukakan Dr. Anis. Ia menyatakan, “Bahwa Ruh /semangat dari dispensasi ini masih tetap ada sampai saat ini. Kaum muslimin membaca dalam batas-batas dispensasi ini, kendati bahasa mereka berbeda, baik di masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang”[lvi]. Akan tetapi, Syahin tidak menganggap hal ini sebagai bagian dari tujuh huruf. Menurut Syahin, hal tersebut hanyalah ruh kemudahan yang menjadi ciri khas agama Islam. Sebab, menurutnya, keberadaan tujuh huruf ditinjau dari arti penurunannya telah berhenti sejak kaum muslimin menyepakati mushaf Utsmani.[lvii]

Sekalipun terdapat banyak pendapat mengenai makna huruf, namun mayoritas menyetujui bahwa tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi qirâ’ah al-Qur’an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraish. Akhirnya semua qirâ’ah yang beragam tersebut ditemukan di dalam 5 Mullaf yang resmi yang perbedaannya tidak melebihi 40 karakter. Para Qurra’ dikirim dan diharuskan mengikuti kerangka teks yang mengungkapkan otoritas mana yang harus mereka pelajari dalam qirâ’ah.[lviii]

D. Qira’ah dengan Synonim Kata: Versi Orientalis

Goldziher dan Blachere menganggap bahwa di zaman masyarakat Muslim terdahulu, mengubah sebuah kata dalam ayat Al-Qur’an untuk mencari kesamaan sangatlah dibolehkan. Blacher[lix] mengemukakan pandangannya mengenai hal ini, ia mengatakan,

“Selama rentang waktu yang dimulai dari pembaiatan Ali bin Abi Thalib tahun 35 H, sampai waktu pembaiatan khalifah kelima Dinasti Umawiyah, Abdul Malik bin Marwan, tahun 65 H, semua konsepsi tentang masalah bacaan dengan makna saling bertentangan. Otoritas Mushaf Utsmani telah tersebar di seluruh wilayah Islam. Hal ini diperkuat dan didukung dengan otoritas orang-orang yang ikut terlibat dalam penulisannya. Mereka menduduki jabatan-jabatan strategis di wilayah Syam. Boleh jadi perbaikan yang dilakukan Utsman saat itu menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi, bagi sebagian kaum muslimin, yang penting bukanlah teks al-Qur’an dan huruf-hurufnya, tapi justru ruhnya. Berpijak dari sini, maka pemilihan huruf dalam qirâ’at yang terdiri dari kata-kata sinonim menjadi hal yang diperbolehkan dan tidak menjadi fokus perhatian. Tidak dipungkiri lagi bahwa konsep qirâ’at dengan makna adalah konsep yang paling bebahaya. Sebab, konsep ini menyerahkan kepada kehendak setiap orang untuk menentukan teks. Sementara kita tahu, bahwa kata sinonim itu bukanlah wahyu yang diturunkan kepada pemilik mushaf yang berbeda-beda itu. Hal tersebut hanyalah pendapat pribadi dari si pemilik mushaf-mushaf tersebut. Setelah roda waktu berputar, maka masuklah unsur-unsur non Arab kedalam komunitas Islam. Pandangan-pandangan mereka pun berbeda dan sangat banyak, hingga akhirnya muncullah sekelompok orang yang berpegang teguh pada mushaf utsmani.”[lx]

Yang paling berbahaya dari statemen R. Blachere di atas adalah, ia menganggap kaum muslimin lebih mementingkan ruh Al-Qur’an, bukan huruf dan teksnya. Menurutnya, inilah yang menyebabkan lahirnya qirâ’ah dengan makna selama rentang waktu antara tahun 35-65 H. Faktanya dengan izin ini setiap orang dapat membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah rukhsah (dispensasi) yang bersifat temporal pada masa Nabi,  yang diberlakukan karena faktor kondisi saat itu, sehingga dengan izin ini setiap orang dapat membaca Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya. Kondisi ini telah berakhir berkat jasa Utsman bin ‘Affan yang telah mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu Mushaf.[lxi]

Menurut Blachere, banyak unsur-unsur non Arab yang telah masuk ke dalam masyarakat Islam, sehingga hal ini menambah qirâ’ah dengan makna. Mengenai masalah ini, ia memiliki dua pandangan. Pertama, ia berpandangan bahwa sebagian bacaan Al-Qur’an timbul karena tindakan seseorang terhadap unsur-unsur non Arab. Kedua, Blachere menduga ada sekelompok orang yang menciptakan segi-segi bacaan berdasarkan mushaf utsmani.[lxii]

            Pendapat Blachere di atas sesuai dengan pandangan Goldziher, ia mengatakan:

“Bersumber dari ketetapan Umar, yang menyatakan bahwa sesungguhnya al-Qur’an adalah benar seluruhnya, dan sebuah riwayat yang menyatakan” sesuatu yang cukup memadai selagi ayat rahmat tidak dijadikan ayat azab, dan ayat azab dijadikan ayat rahmat”. Artinya, selama hal ini tidak terjadi perbedaan yang prinsipil dalam makna lafadz. Dengan demikian maka yang lebih dikedepankan dalam tingkatan paling utama adalah makna yang dikandung oleh teks, bukan menjaga secara ketat qirâ’at tertentu. Ini merupakan pendapat terutama yang terkait dengan bacaan Al-Qur’an yang menggambarkan perkara ibadah formal-yang bermuara pada pembolehan untuk membaca teks yang sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya meskipun tidak sesuai secara tekstual (qirâ’at dengan makna)[lxiii].

            Untuk  menjustifikasi pendapatnya, Goldziher memaparkan contoh dari surat al-fatihah, ia menjelaskan bahwa Abdullah bin Mas’ud mengganti lafadz pertama pada ayat اهدنا الصراط المستقيم  dengan sinonim lafadz itu, yaitu ارشدنا الصراط المستقيم , menurut Goldziher, ada pula sebuah statemen yang dikutip dari Abdullah bin Mas’ud sendiri, yaitu: “Aku telah mendengar semua qirâ’at mereka sangat berdekatan, maka bacalah sebagaimana yang kamu ketahui, seperti lafadz هلم dan تعالى (keduanya bermakna “kemarilah”). Diceritakan pula tentang Abdullah bin al-Mubarak, bahwa dia sama sekali tidak pernah menolak satu huruf (yang berbeda dengan qirâ’at masyhurah) dari seorang pun ketika orang tersebut membacakan[lxiv]

Goldziher keliru sebab menurut Abdul Halim al-Najâr jika pendapatnya benar, maka di sana tidak ada keharusan dan alasan untuk membakar mushaf selain mushaf Utsmaniah yang telah disepakati keberadaannya. Sedangkan kaitannya dengan statemen  Ibnu Mas’ud: “Bacalah sebagaimana yang kamu ketahui”, Abdul Halim al-Najâr mengatakan bahwa “Sebenarnya statement itu menjustifikasi ketiadaan kebebasan qirâ’at dan keharusan untuk berpegang pada riwayat sahabat[lxv].

Adapun mengenai statemen Blachere di atas, Abu Syuhbah mengatakan bahwa, “Klaim serta Asumsi Blachere diatas saling kontradiksi dan tidak berdasarkan dengan dalil. Apa yang disampaikan Blachere mengenai motif Utsman dalam pengumpulan mushaf jelas keliru, menurut Syuhbah bagaimana mungkin pendapat ini tidak keliru sedangkan umat Muslim sangat mementingkan teks dan huruf-hurufnya? Kemudian bagaimana pula dengan banyaknya contoh riwayat-riwayat yang shohih[lxvi].

Dengan pandangan Blachere dan Goldziher ini, berarti mereka telah menanam bibit keraguan terhadap bacaan-bacaan yang benar yang sesuai dengan salinan mushaf utsmani. dengan pandangan semacam ini, ia juga telah meragukan fungsi dari salinan mushaf utsmani, padahal salinan mushaf utsmani ini dianggap sebagai parameter bacaan Al-Qur’an. Hasilnya, jika qirâ’ah dengan makna ini diperbolehkan, niscaya akan lahir berbagai macam bacaan Al-Qur’an dikalangan umat muslim dunia. Padahal lafadz yang ada dalam Al-Qur’an berasal langsung dari Allah SWT, bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Ragam qira’ah yang ada itu bukan karena pengembangan/penggunaan sinonim-sinonim setiap kata dalam bahasa arab, walaupun ragam bacaannya banyak, akan tetapi lafdzannya tetap satu.

E. Distorsi Qirâ’at dalam Mushaf Utsmani: Pandangan Arthur Jeffery

Mushaf `Utsmani merupakan mushaf standar yang disahkan oleh para shahabat pada masa khalifah `Utsman bin `Affan radliyallaahu ‘anhu, akan tetapi Orientalis dan para pengikutnya menganggap bahwa unifikasi yang dilakukan otoritas `Utsman ini dituduh secara otomatis telah berusaha meniadakan varian bacaan yang dilegitimasi oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama sendiri, yaitu Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf”. Dengan asumsi bahwa mush-haf `Utsmani tidak mencakup apa yang disebut sebagai “tujuh huruf” secara keseluruhan, berarti Mush-haf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an, Jeffery misalnya mengatakan bahwa “Sebagian besar variasi dialek tidak akan diwakili dalam bentuk tertulis sama sekali, dan sehingga tidak akan mengharuskan adanya teks baru[lxvii].

Mengenai hal ini, terdapat tiga kelompok perbedaan di kalangan ulama. Pertama, At-Thobari dan orang yang sepakat dengannya dalam memandang tujuh huruf mengatakan bahwa mushaf Utsmani hanya mencakup salah satu dari ketujuh huruf, yaitu huruf Quraisy, yang dikumpulkan oleh Utsman Ra dalam masâhif,  Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Fath mengatakan bahwa pendapat Ath-thobari dan orang yang sepakat dengannya dalam memandang tujuh huruf merupakan pendapat yang kuat (Rôjih[lxviii]). Kedua, para ulama fiqih dan mutakallim mengatakan bahwa mushaf utsmani telah mencakup seluruh huruf yang tujuh (sab’atu ahruf), oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi umat muslim mengabaikan sedikit pun dari tujuh huruf tersebut, karena Sahabat ra telah berupaya mengumpulkan tujuh huruf tersebut dalam satu mushaf dari suhuf yang ditulis Abu Bakar ra, dan para sahabat sepakat untuk meninggalkan selain tujuh huruf. Ketiga, mayoritas ulama shalaf dan kholaf mengatakan bahwa mushaf Utsmani mencakup atas apa yang memungkinkan dari tujuh huruf yang terakhir yang di sampaikan nabi kepada Jibril AS, hal tersebut tidak tertinggal satu pun. Ibnu al-Jariri mengatakan bahwa pendapat ini terlihat jelas kebenarannya, karena merupakan pilihan tujuh huruf yang telah disepakati[lxix].

Dalam pandangan Abu Hayyan al-Andalusi kitabnya al-Bahru al-muhith dan al-Banna dalam kitabnya ithaaf Fudhalaa’ al-Basyar fi al-Qirâ’at al-‘Arba’ata ‘Asyr menjelaskan bahwa mushaf utsmani telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qirâ’at yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut:

Pertama, “m-l-k” (QS. 1:4) demi mengakomodasi qirâ’at ‘Âsim, al-Kisa’i, Ya’Qub dan Khalaf (‘maaliki” panjang) sekaligus Qirâ’at Abu ‘Amr, Ibnu Katsir, Nafi’, Abu Ja’far, dan Ibnu ‘Amir (“maliki”-pendek). Kedua,  “y-kh-d-‘-w-n” (QS. 2:9) sehingga memungkinkan dibaca “yukhaadi’uuna” (berdasarkan qirâ’at Nafi’, Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr) dan “yakhda’uuna” (mengikuti qirâ’at ‘Ashim, al-Kisa’i, Ibnu ‘Amir dan Abu Ja’far). Ketiga, “w-‘-d-n-‘ ” (QS. 2: 51) ditulis demikian untuk menampung qirâ’at Abu ‘Amr, Abu Ja’far, Ya’qub (‘wa’adnaa”-pendek, tanpa alif setelah waw) dan qirâ’at Ibnu Katsir, ‘Asim, Al-Kisâ’i serta Ibnu ‘Amir (“waa’adnaa”- waa panjang, dengan alif)[lxx]. Jadi, disatukannya Al-Qur’an dalam satu mushaf bukan berarti Al-Qur’an tidak mewaliki ragamnya qirâ’at yang ada.

F. Dampak Kajian Orientalis Mengenai Qirâ’at

Dampak dari penerapan metodologi Bibel (textual criticism) dalam studi Al-qur’an khususnya aspek qirâ’at adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf ‘Utsmani. Padahal, status teks Bibel dan Al-Qur’an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel ke dalam studi Al-Qur’an akan mengabaikan sakralitas Al-Qur’an. Kalangan Kristen mengakui Bibel sebagai karangan manusia sedangkan Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Nabi Muhammad Saw. Metodologi Bibel sarat dengan sejumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk diselesaikan[lxxi].

Nampaknya hal ini yang menjadi dasar kajian orientalis terhadap Al-Qur’an. Dengan banyaknya ragam qirâ’ah serta dugaan-dugaan mengenai problematika qirâ’at, mereka bermaksud menyusun sebuah Al-Qur’an dengan bentuk yang baru. Al-Qur’an dengan bentuk baru inilah Al-Qur’an edisi kritis. Dalam pikiran Jeffery misalnya, Format Al-Qur’an edisi kritis memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai teks yang diterima (tektus receptus) saat ini. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta laporan varian bacaan (appartus criticus) pada catatan kaki setiap halaman. Segala varian bacaan dari buku-buku tafsir, kamus, hadits, teologis, filologis, dan bahkan dari buku-buku adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai simbol, yang menunjukan nama para qurra’ yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukan apakah para qurra’ yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qirâ’ah sab’.

Menurut jeffery, sekalipun appartus (laporan varian bacaan) criticus tidak dapat diharapkan akan sempurna karena terlalu berserakannya varian bacaan, namun semua sumber-sumber yang lebih penting yang tersedia akan dimanfaatkan. Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca bahasa inggris, edisi ini dalam bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian tersebut perlu dijelaskan lebih mendalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi dan pentingnya qirâ’ah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebatan mengenai sebuah bacaan. Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa menilai. Jilid keempat, berisi kamus Al-Qur’an[lxxii]. Jeffery membayangkan kamus Al-Qur’an tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau kamus Perjanjian Baru Milligan-Moulton. Kamus yang belum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus Al-Qur’an tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam Al-Qur’an[lxxiii]

Selain tujuan diatas, dengan mengkritisi keotentikan mushaf Utsmani, khususnya melalui ragamnya bacaan, orientalis ingin memasukan metode hermeneutika Al-Qur’an, yang pada akhirnya hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relatif. Padahal Otentisitas Al-Qur’an terjaga. Bahasa Al-Qur’an tidak mengalami perubahan. Sedangkan Bibel tidaklah final, tidak tetap dan berubah-ubah.

 

G. Penutup/Kesimpulan

            Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kajian orientalis terhadap qirâ’at jelas merupakan usahaa untuk memberikan keraguan kepada umat islam terhadap otentisitas mushaf utsmani. Berbagai pandangan orientalis mengenai qirâ’at, baik itu pandangan mereka mengenai lahirnya ragam qirâ’at, kemudian qirâ’at dengan makna, maupun mengenai qirâ’at dengan mushaf utsmani jelas dipenuhi dengan kekeliruan.

            Upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keotentikan mushaf utsmani tetap tidak membuahkan hasil yang mereka harapkan. Al-Qur’an dengan segala aspeknya telah Allah jamin keotentikannya, oleh karena itu, usaha orientalis dalam merusak keyakinan umat muslim terhadap al-Qur’an tetap akan sia-sia.

 

Daftar Pustaka

Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî bi sharh Sahîh al-Bukhârî, editor al-‘Azîs ibn ‘Abdullâh ibn Bâz dan Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, 14 Jilid (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1998)

Al-Dausri, ‘Abdullah bin Ibnu Baz bin Ali Dzofar Atsaru Ikhtilâfi al-qirâ’at fi al-Ahkâm al-Fiqhiyyah,  Cet I, (Mesir: Daar al-hadyi al-Nabawi, 2005)

Ahmadi, Ali, ” Al-Qirâ’at dan Orisinalitas Al-Qur’an”, dalam  Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, 2005, Vol. I. No. I. Januari

Al-A’zami,  M. Musthofa, The Histoy of The Qur’anic Text, pen Sohirin solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)

Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I (Jakarta: Gema Insani, 2008)

Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)

Armas, Adnin, 2004 “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an”, dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn I No 2, Juni-Agustus,

Al-Qattân, Mannâ, Mabâhith fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyûrât al-‘ashri al-Hadîts, 1990) cet. II

Az-Zarkasyî, Al-Imâm Badru Ad-Dîn Muhammad bin Abdullâh, Al-Burhan Fî ‘Ulûmi Al-Qurân, Tahqîq Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrâhîm, (al-Mamlakah al-‘Arobiyyah As-Suûdiyyah: Dâr ‘âlimi al-Kutub, 2003) cet I, Juz I,

Az-Zarqônî, As-Syekh Muhammad ‘Abdul ‘Adzîm, Manâhilul ‘Irfân Fî ‘Ulûmi al-Qur’ân, Tahqîq Fawwâz Ahmad Zamarlî,  (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘arobî, 1995/1415), cet I, Juz I

Badawi, Abdurrahman Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat dari Mawsu’ah al-Mustasyriqin (Yogyakarta: LKis, 2003)

Goldziher, Ignaz, Madzaahibu at-taffsir al-Islaamii, Pen. Dr. Abdul Halim A, ( Mesir: Maktabah al-Khanaji, 1995)

Ghazali, Abd. Moqsith, dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia, 2009)

Hanafi, A, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981)

Ismâ’îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhim âli, Ilmu al-Qirâât: Nasy’atuhu, ath wâruhu, atsaruhu fî al ‘ulum as-Syar’iyyah, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1419)

King, Richard, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, pen. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001)

Muslim, Sahîh,

Rauf M, Hasan Abdul. el. Badawiy dan Ghirah, Abdurrahman, Orientalisme dan Misionarisme, pen. H. Andi Subarkah (Bandung: Rosdakarya, 2007)

Syahin, Abdul Shabur, Târîkhu al-Qur’ân, (Kairo: Nahdet Mesir, 2007), cet III

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu, Al-Madkhal li dirâsati al-Qur’âni al-Karîm, Cet ke III, (Riyadh: Dâr al-Liwâ, 1987)

Thowil, Sayyid Rizki, fî ‘Ûlûmi al-Qirâ’at, (Makkah: al-Faisholiyah, 1985) Cet I

Zarkasyi, Hamid Fahmy Liberalisasi Pemikiran Isam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2007)

http://www.newadvent.org/cathen/04503a.htm tgl 18/04/10 pkl 16:57

http://homepage.ntlworld.com/rsposse/sourcrit.htm tgl 18/04/10 pkl 17:06

Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online. 2 Dec. 2007

http://www.earlham.edu/~seidti/iam/text_crit.html tgl 18/04/10 pkl 17:04

[i]Orientalis merupakan segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadat dan ilmu-ilmunya. Lihat A. Hanafi, MA, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), p. 9, dalam The oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, p. 200 seperti yang dikutip oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, bahwa kajian tentang Timur (Orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama Orientalisme baru abad ke 18. menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumnya dipelopori oleh para teolog Kristen. Untuk lebih jelasnya, lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Isam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2007), p. 56, lihat juga Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, pen. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001), p. 162. Bandingkan dengan Dr. Hasan Abdul Rauf M. el. Badawiy dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, pen. H. Andi Subarkah (Bandung: Rosdakarya, 2007), p. 3-4

[ii]Theodor Noldeke lahir pada 2 Maret 1837 di kota Hamburg, sejak 1977 masuk ke dalam wilayah Hamburg. Ayah Noldeke adalah wakil kepala Sekolah Menengah di Hamburg, kemudian diangkat menjadi pengawas sekolah menengah di kota Lingen sejak tahun 1849 hingga 1866. latar belakang pendidikannya, Noldeke masuk Universitas Gottingen pada tahun 1853, kemudian diteruskan di Universitas Kiel. Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia memperoleh gelar tingkat serjananya pada tahun 1856 dengan mengajukan risalah yang berjudul “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Tahun 1858, Noldeke memengani lomba penelitian tentang Sejarah Al-Qur’an. Diantara karyanya ialah Geschichte des Qorans (1860), Zur Grammatik des Klassichen Arabish (1897) dan Neue Beitrage Zur semitischen Sprachkunde (1911). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat dari Mawsu’ah al-Mustasyriqin (Yogyakarta: LKis, 2003), p.413- 416, Selanjutnya diringkas, Ensiklopedi

[iii]Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 107, selanjutnya diringkas Metodologi Bibel

[iv]Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru besar ahli ketimuran yang bertugas di Universitas tersebut adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doctoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topic risalah “Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah Az-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum, kemudian Dirasah Islamiyyah, al-Mu’ammarin. Karangannya yang paling monumental adalah Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910) dan Ittijahat Tafsir Al-Qur’an inda al Muslimin (Leiden, 1920). Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, p.129-133

[v]Ignaz Goldziher mengatakan: ” Wa al-Qira’at al-mukhtalifah li an-nasshi al-Qur’aani tudzharu ahyaanan muqtaribatan bitaujiihi laa muwaaribata fiihi, yudzkaru anna nash al-mutalaqqo bilqubuuli ya’tamidu ‘alaa ihmaalinnaasihk, wa anna al-qiraata al-mukhaalifata al-muqtarihata taqsudu ilaa iqoomati an-nasshi al-ashlii al-ladzii afsadahu sahwa an-nnussaakhi.” Lihat  Ignaz Goldziher, Madzaahibu at-taffsir al-Islaamii, diterjemahkan dari Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung Pen. Dr. Abdul Halim al-Najâr, ( Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1995) P. 46, selanjutnya diringkas Madzâhib.

[vi]Nichtkanonische Koranlesarten im Muhtasab des Ibn Ginni hrsgb. von G. Bergstrasser, Munchen 1933 (Sitzungsberichte der Bayerischen Akademie der Wissenschaften 1933, Heft 2) dan Ibn Halawaih’s Sammlung nichtkanonischer Koranlesarten, hrgb. von G. Bergstrasser, Stambul (Istanbul) 1934 (Bibliotheca Islamica, VII). seperti dikutip Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet I (Jakarta: Gema Insani, 2008), p. 5

[vii]Arthur Jeffery (m1959), seorang orientalis berasal dari Australia, mengakui bahwa gagasannya untuk mengkaji sejarah Al-Qur’an secara kritis berasal dari Pendeta Edward Sell (m.1932). Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis-historis al-Qur’an sejak tahun 1926. ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qira’ah, karya-karya filosofis dan manuskrip. Lihat Adnin Armas, MA, 2004 “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an”, dalam ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn I No 2, Juni-Agustus, P. 7-8

[viii]Arthur Jeffery, Materials for History of The Text of the Qur’an: the Old Codices (Leiden: E.J. Brill, 1937). Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), p. 5, selanjutnya diringkas Orientalis

[ix] Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 107-08, lihat Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel, p. 37

[x]Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia, 2009), p. 17

[xi] Goldziher mengatakan:” wa turja’u nasy’ata qismi kabîrin min hâdzihi al-ikhtilâfât ilâ khusûshiyyati al-khotti al-arobiyy, al-ladzî yuqaddimu haikalahu al-marsûm maqôdîro shoutiyatan mukhtalifatan, taba’an li ikhtilâfi al-nuqôthi al-maudhû’ati fauqo hâdza al-haikal au tahtahu, wa ‘adadu tilka al-nuqôth.bal kadzâlika fî hâlatin tusâwi al-maqôdir al-shoutiyyah, yad’û ikhtilâfa al-harokâti al-ladzî lâ yûjadu fi al-kitâbati al-‘arobiyyati al-ashliyyati mâ yuhaddiduhu, ilâ ikhtilâfi mawâqi’i al-i’rôbi li al-kalilmati, wabihâdza ilâ ikhtili dalâlatihâ. Wa idzan fa ikhtilâfa tahliyyata haikala rosmi bi al-nuqthi, wa ikhtilâfa al-harokâti fi al-husûli al-muwahhidi al-qôlibi mina al-hûrufi al-shômitati, kânâ humâ al-sababu al-awwal fî nasy’ati harokati ikhtilâfi al-qirâ’at fî nashshin lam yakun manqûthon ashlan, au lam tataharra al-daqqoh fî nuqthihi au tahrîkihi, lihat Madzaahib, p. 8-9

[xii]Ibid, p. 9-10

[xiii] QS. al-A’raf: 48

[xiv] QS. al-A’raf: 57

[xv] QS. al-Nisa: 94

[xvi] QS. al-Hijr: 8

[xvii]Arthur Jeffery, “The Textual History of the Qur’an”, in A Jeffery, The Qur’an as Scriputre, R.E. Moore Co, New York, 1952, P. 97 seperti yang dikutip oleh Prof. Dr. M. M. Al-A’zami dalam The History of The Qur’anic Text-From Revelation to Compilation, pen Sohirin solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 172, selanjutnya disingkat The History

[xviii]Arthur Jeffery,  The Qur’an as Scriputre, p. 97, seperti yang dikutip oleh Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p.109-110

[xix]Abdul Halim al-Najâr, ( Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1995) P.9. ini terjemahan bahasa Arab buku Goldziher, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegun

[xx] Para ulama qiraât meletakkan syarat-syarat diterima atau tidaknya qirâ’ah sehingga dapat membedakannya dari yang shâd sehingga tidak dibaca di saat shalat serta berbagai kesempatan lain. Pertama, Isnâd qirâ’ah harus benar. Kedua, Qirâ’ah harus sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ketiga, qirâ’ah harus selaras dengan khat salah satu masâhif, walau itu hanya kemungkinan. Karena pengucapan suatu kalimat yang sama dengan yang tertulis dapat saja sesuai dengan rasm al-mushaf al-Uthmâni. lihat Mannâ al-Qattân, Mabâhith, p. 176

[xxi]  Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History, p. 173

[xxii] Dr. Abdul Shabur Syahin, Târîkhu al-Qur’ân, (Kairo: Nahdet Mesir, 2007), cet III, p. 38, selanjutnya disingkat Târîkhu al-Qur’ân

[xxiii]Ibid P.7-8

[xxiv]Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), p. 12-13

[xxv]  Lihat Dr. Sayyid Rizki Thowil, fî ‘Ûlûmi al-Qirâ’at, (Makkah: al-Faisholiyah, 1985) Cet I, p. 27

[xxvi]مذهب من مذاهب النطق في القرآن يذهب  به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره  وهي ثابتة بأسانيدها  إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم, Lihat Mannâ al-Qattân, Mabâhith fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyûrât al-‘ashri al-hadîts, 1990) cet. II, p. 170, selanjutnya disingkat Mannâ al-Qattân, Mabâhith

[xxvii] إختلاف  ألفاظ الوحي المذكور في كتبه الحروف أو كيفيتها، من تخفيف وتثقيل  وغيرهما، Lihat Al-Imâm Badru Ad-Dîn Muhammad bin Abdullâh Az-Zarkasyî, Al-Burhan Fî ‘Ulûmi Al-Qurân, Tahqîq Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrâhîm, (al-Mamlakah al-‘Arobiyyah As-Suûdiyyah: Dâr ‘âlimi al-Kutub, 2003) cet I, Juz I, p. 318

[xxviii]معرفا القراءات بقوله ” هو مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراءمخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه، سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها، Lihat As-Syekh Muhammad ‘Abdul ‘Adzîm az-Zarqônî, Manâhilul ‘Irfân Fî ‘Ulûmi al-Qur’ân, Tahqîq Fawwâz Ahmad Zamarlî,  (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘arobî, 1995/1415), cet I, Juz I, p. 336

[xxix] علم يعلم منه اتفاق الناقلين لكتاب الله واختلافهم في الحذف والاثبات، والتحريك والتسكين، والفصل والوصل، وغير ذلك من هيئة النطق والإبدال، وغيره من حيث السماع، Lihat Ittihâf Fudholail Basyar Lil Banâ ad-Dimyâthi juz 1, p. 67, yang dikutip oleh Nabîl bin Muhammad Ibrâhim âli Ismâ’îl, Ilmu al-Qirâât: Nasy’atuhu, ath wâruhu, atsaruhu fî al ‘ulum as-Syar’iyyah, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1419) p. 28

[xxx] Lihat Prof. Dr. M. Musthofa. Al-A’zami, The Histoy of The Qur’anic Text, pen Sohirin solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 168,

[xxxi]Ibid, p. 13

[xxxii]Kritik Historis adalah seni membedakan yang benar dari fakta-fakta palsu tentang masa lalu. Hal ini untuk objek, baik dokumen yang telah diturunkan kepada kita dan fakta-fakta itu sendiri. Kita dapat membedakan tiga jenis sumber historis: dokumen tertulis, bukti tertulis dan tradisi. Seperti lebih berarti untuk mencapai pengetahuan tentang fakta-fakta ada tiga proses penelitian tidak langsung, yaitu: argumen negatif, dugaan, dan argumen apriori. Lihat http://www.newadvent.org/cathen/04503a.htm tgl 18/04/10 pkl 16:57

[xxxiii]Ini adalah istilah yang diterapkan untuk mempelajari penggunaan sumber-sumber yang ditulis oleh penginjil. Ini adalah bentuk paling awal dari kritik, dan telah diterapkan terutama untuk hubungan Injil Sinoptik satu sama lain. J Griesbach yang pertama kali meletakkan Injil Sinoptik menjadi tiga kolom sisi samping satu sama lain, perhatian gambar untuk baik kesamaan dan perbedaan mencolok antara mereka. Bahwa hubungan itu ada tampak jelas. Apa hubungan itu, adalah kurang jelas.Lihat http://homepage.ntlworld.com/rsposse/sourcrit.htm tgl 18/04/10 pkl 17:06

[xxxiv]Metode kritik Alkitab yang mengklasifikasikan unit dari Kitab Suci dengan pola sastra (seperti perumpamaan atau legenda) dan yang mencoba untuk melacak jenis setiap periodenya transmisi lisan. Lihat Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online. 2 Dec. 2007

[xxxv] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme, p. 10. textual criticism merupakan kritik varian dalam teks Alkitab dalam bahasa asli dan versi awal (termasuk tulisan yg diragukan pengarangnya). Sejarah Singkat Kritik Tekstual: Metode kritik tekstual yang telah umum dilakukan oleh editor teks Yunani dan Latin klasik melibatkan dua proses utama, recension dan perbaikan. Recension adalah seleksi, pemeriksaan setelah semua materi yang tersedia, dari bukti yang paling dapat dipercaya yang menjadi dasar teks. Koreksi adalah upaya untuk menghilangkan kesalahan yang ditemukan bahkan dalam naskah terbaik. Penerapan metode kritis dalam pengeditan teks-teks klasik dikembangkan terutama oleh tiga ahli Jerman, Friedrich Wolf (1759-1824), salah satu pendiri filologi klasik, Immanuel Bekker (1785-1871), dan Karl Lachmann (1793-1851 ). Bekker mengabdikan hidupnya yang panjang untuk penyusunan edisi kritis teks-teks Yunani. Lihat http://www.earlham.edu/~seidti/iam/text_crit.html tgl 18/04/10 pkl 17:04

[xxxvi] John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford Press, 1997), lihat  Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme, p. 10

[xxxvii]Ibid, p. 10-11

[xxxviii] Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip hadits berikut ini:

Ubayy bin Ka’ab melaporkan bahwa ketika Nabi Saw berada dekat dengan lokasi banu Ghifar, malaikat Jibril dating dan berkata, “Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Al-Qur’an kepada kaummu dalam satu huruf,” lalu Nabi bersabda, “Saya mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu” lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu agar membacakan al-Qur’an pada kaummu dalam dua huruf, “Nabi Muhammad Saw lalu menjawab, “Saya Mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak akan mampu melakukannya, “Jibril datang ketiga kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam tiga huruf,” dan lagi-lagi Nabi Muhammad Saw berkata, “Saya mohon Ampunan Allah, kaumku tidak akan mampu melakukannya,” lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan,” Allah telah mengidzinkanmu membacakan Al-Qur’an kepada kaummu dalam tujuh huruf, dan dalam huruf apa saja mereka gunakan, sah-sah saja.” (Muslim. Sahîh, Kitâb as-Shalât, hasits no. 1789)

[xxxix]Ignaz Goldziher, P. 53-54

[xl] Abdul Halim al-Najâr, (Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1995) P.53-54. ini terjemahan bahasa Arab buku Goldziher, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung

[xli] ‘Abdullah bin Ibnu Baz bin Ali Dzofar al-Dausri, Atsaru Ikhtilâfi al-qirâ’at fi al-Ahkâm al-Fiqhiyyah,  Cet I, (Mesir: Daar al-hadyi al-Nabawi, 2005) p. 47

[xlii]Contoh perbedaan dalam ifrâd dan jama’ yaitu (لأمنتهم) (8: المؤمنون) dan (لأمنتهم)

[xliii]Contoh perbedaan dalam tasrîf al-af’al dari mâdi yaitu (بعد بين أسفارنا) dan (سبأ: 19) (بَعَّد بين أسفارنا)

[xliv]Contohnya (البروج: 15) (ذو العرش المجيُد) dan (ذو العرش المجيد).

[xlv]Contoh (تجري تحتها الأنهر) dan (تجري من  تحتها الأنهر) (التوبة: 100 )

[xlvi]Contoh (وجاءت سكرة الموت بالحلق) dan(وجاءت سكرة الحق بالموت)

[xlvii]Contoh ((ننشزها dan (ننشرها) (البقرة: 259).

[xlviii]Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History, p. 170

[xlix]Ibid, p. 39

[l] Ibid, p. 39

[li] Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi sharh Sahîh al-Bukhârî, editor al-‘Azîs ibn ‘Abdullâh ibn Bâz dan Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, 14 Jilid (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1998), p. 9: 30-31

[lii]Muslim, Sahîh, Musâfirîn, hadits no. 205

[liii] Izin boleh membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf ialah ketika Nabi Saw dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, karena situasi dakwah telah berubah. Di antara sahabat ada yang ditunjuk untuk menjalankan misi dakwah ke daerah lain. Orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Di markas baru ini, dakwah Islam mulai disiarkan keberbagai kabilah kedalam dan keluar jazirah Arabia. Utusan-utusan dari luar Madinah datang silih berganti. Bahasa dan dialek mereka beragam. Penduduk Madinah sendiri adalah campuran dari kalangan Arab dan Yahudi. Di antara mereka ada yang Muslim dan ada sedikit yang menganut agama Yahudi. Pada periode baru ini, dibutuhkan berbagai fasilitas untuk menunjang penyampaian dakwah dan penyiaran Al-Qur’an, dengan tujuan agar menjadi konstitusi bagi kehidupan umat Islam di Negara baru tersebut. Usia mereka juga bervariasi. Sebagian besar mereka adalah kalangan tua yang sudah melewati usia belajar dan menghafal. Karena itu, mereka mengalami kesulitan dalam menghafal Al-Qur’an…oleh sebab itu dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan tingkat kemampuan dan sesuai dengan dialek berdasarkan batasan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.,,perubahan yang serba cepat dalam kehidupan baru di Madinah inilah yang mendorong diberlakukannya dispensasi dalam Al-Qur’an. Lihat Dr. Abdul Shabur Syahin, Târîkhu al-Qur’ân, p. 70-71. Pada abad kedua hijriah, muncullah bacaan-bacaan yang sahih dan bacaan-bacaan yang syadz/lemah. Kemudian model-model bacaan ini mengkristal dalam bacaan yang tujuh atau yang kita kenal dengan istilah qira’ah as-sab’. Bacaan yang tujuh ini dihimpun oleh Ibnu Mujahid, seorang imam qirâ’ah abad ketiga hijriah. Kemudian, ditambah lagi dengan tiga bacaan untuk melengkapi bacaan yang sepuluh. Setelah itu dipilih empat bacaan tambahan dari bacaan-bacaan yang syâdz, adapun para imam qirâ’ah yang tujuh tersebar diberbagai daerah. Nâfi’ bin Abi Na’îm di Madinah. Abdullah bin Katsir di Makkah. Abu ‘Amr bin ‘Ala di Bashrah. Abdullah bin ‘Amir di Syam. ‘Ashim bin Abi An-Nujud, Hamzah az-Zayyat dan al-Kisa’I di Kuffah. lihat Dr. Abdul Shabur Syahin, Târîkhu al-Qur’ân, p. 40

[liv]Ibid, p. 105

[lv]Ibid, p. 72

[lvi]Dr. Anis, lihat Dr. Abdul Shabur Syahin, Târîkhu al-Qur’ân, p. 72

[lvii] Ibid, p. 72

[lviii] Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History, p. 106-107

[lix] Regis Blachere dilahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blachere melakukan perjalanan bersama orang tuanya ke kawasan Maghribi  pada tahun 1915. Ayahnya ditugaskan dibagian urusan perdagangan, kemudian ditugaskan sebagai pegawai administrasi di Maroko. Blachere menempuh  pendidikan menengahnya di Perancis, di gedung putih. Setelah menyelesaikan sarjana mudanya, ia ditugaskan sebagai pengawas di Madrasah Maula Yusuf di Rabat. Setelah itu ia meneruskan pendidikan tingkat tingginya di Universitas Al-Jazair, dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1992. pada tahun berikutnya ia mengikuti kuliah-kuliah yang disampaikan oleh William Murcia. Pada tahun 1924 diangkat sebagai tenaga pengajar di Madrasah Maula Yusuf. Lalu ia meneruskan sekolahnya di Universitas Paris, dan pada tahun 1936 berhasil meraih gelar doktor dengan dua karyanya, karya pertama dengan judul “Syair Arab dari Abad  Keempat Hijriah: Abû ath-Thayyib al-Mutanabbi”  dan kedua, terjemahan bahasa Prancis kitab Thabaqât al-Umam-nya Shaid al-Andalûsi, dengan disertasi sejumlah komentar yang cukup penting. Di antara karya-karya utamanya, selain yang telah disebut adalah “Sejarah Sastra Arab Sejak Masa Awal hingga Akhir Abad Kelima belas”.  Karya ini belum sempat selesai, sedangkan tiga jilid yang sudah dikerjakannya terhenti;” Terjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Prancis”, yang disertai dengan pengantar yang panjang dan tafsir pendek. Metode terjemahannya disesuaikan dengan asbâb an-Nuzûl surat dan ayat. Di sela-sela kesibukannya menerjamahkan Al-Qur’an , Blachere menulis sebuah karya pendek dengan judul Le Probeleme de Mahomet, yang mengkaji tulisan-tulisan orientalis tentang biografi nabi. Lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi, p. 93-94

[lx]Regis Blacher, al-Madkhal ilâ Al-Qur’an, p. 69-70. Lihat Dr. Abdul Shabur Syahin, Târîkhu al-Qur’ân, p. 125-126

[lxi]Ibid, p. 126

[lxii]Ibid, P. 127

[lxiii]Ignaz Goldziher, Madzahibu, terjemahan Abdul Halim al-Najâr, p. 49-50

[lxiv]Ibid, p. 50-51

[lxv]Ibid, p. 52

[lxvi] Prof. Dr. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li dirâsati al-Qur’âni al-Karîm, Cet ke III, (Riyadh: Dâr al-Liwâ, 1987), P. 211

[lxvii]Jeffery mengatakan:  The vast majority of dialectal variations would not have been represented in the written form at all, and so would not have necessitated a new text. Arthur Jeffery, The Qur’an as scripture, New York, R. F. Moore Co., 1952. http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/thq.htm

[lxviii]Prof. Dr. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkha, p. 216

[lxix] Ibid, p. 216-217

[lxx]  Lihat Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745), al-Bahr al-Muhith, ed. Syeikh Adil Abdul Mawjud, Syeikh Ali M. Mu’awwadh, Dr. Zakaria Abdul Majid, dan Dr. Ahmad al-Najuli al-Jamal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1422 H/ 2001 M), 1:133, dan Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Ghani ad-Dimyathi, dikenal dengan al-Banna’ (w. 111 H), ithaaf Fudhalaa’ al-Basyar fi al-Qirâ’at al-‘Arba’ata ‘Asy,  2 Jilid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H/2001 M), 1:162). Yang dikutip oleh Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), p. 13-14

[lxxi] Untuk lebih jelasnya mengenai problem teks Bibel, lihat Adian Husaini, MA, “Problem Teks Bibel dan Hermeneutika” Jurnal Islamia, thn I No I/Muharrom

[lxxii] Arthur Jeffery, Progress, 143, Adnin Armas, MA, Metodologi Bibel. P. 127

[lxxiii] Ibid. p. 127

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *