Oleh: Ainul Yaqin
Inpasonline.com-Masih banyak kalangan terpelajar muslim yang menaruh simpati berlebihan terhadap tradisi keilmuan di dunia Barat dalam kajian Islam. Pujian yang sering disampaikan, bahwa Barat mempunyai keunggulan di bidang metodologi. Barat menawarkan alternatif studi yang lebih obyektif dan rasional.
Namun sejujurnya, sebuah metodologi adalah cerminan dari worldview. Apa yang dikenal sebagai metode sains di Barat sangat dipengaruhi oleh worldview ini sehingga perlu ada penyikapan secara kritis. Studi Islam di Barat yang dikesankan obyektif menyimpan suatu ketidakkonsistenan. Jika mau dikatakan konsisten, maka yang konsisten bukanlah metodologinya, tetapi skeptis yang menjadi sifat dari metodologinya itulah yang konsisten. Sikap skeptis dengan menjadikan keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologi untuk mencapai kebenaran adalah ciri dari metodologi yang dikembangkan di Barat. Hal ini seperti kritik yang disampaikan oleh Prof. Sayyid Muhammad Naquib al-Attas, …doubt is elevated as an epistemological method by means of which the rationalist and the secularist believe that truth is arrived at. (Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989: page 8). Sikap skeptis ini pula yang menyebabkan ketidakkonsistensi dalam studi al-Hadits di satu sisi dan studi al-Qur’an di sisi yang lain.
Dengan tidak bermaksud menggeneralisasi, tulisan ini mencoba mencermati ketidakkonsistenan dalam kegiatan studi al-Qur’an dan al-Hadits dalam tradisi Barat dengan mengambil contoh pendekatan yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) dalam studi al-Hadits di satu sisi dan pendekatan yang dilakukan oleh Arthur Jeffery (1893-1959) dalam studi al-Qur’an di sisi yang lain. Tiga ilmuwan ini layak diambil contoh karena ketiganya di dunia Barat dianggap sebagai ilmuwan yang otoritatif dan mempunyai reputasi yang prestisius di bidangnya masing-masing yang pemikiran ketiganya menjadi rujukan dalam studi di Barat. Ketiga ilmuwan orientalis ini juga sama-sama menggunakan metode Historical Criticism (kritik kesejarahan) dalam studi al-Qur’an di satu sisi dan studi al-Hadits di sisi yang lain sehingga bisa diperbandingkan. Lebih dari itu, Joseph Schacht dengan Arthur Jeffery keduanya mempunyai masa hidup yang se jaman yang keduanya menekuni disiplin masing-masing.
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis asal Hongaria, lahir pada 22 Juni 1850, berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Ia pernah berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia berkenalan dengan Dor Bey, seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementerian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher bisa berkenalan dengan Menteri Pendidikan Mesir, Riyad Pasha yang pada akhirnya bisa bertemu Mufti Masjid al-Azhar. Setelah bertemu dengan Mufti Masjid al-Azhar yang saat itu ia mengaku bernama Ignaz al-Majari (Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya Muslim, serta dengan kemampuannya berdiplomasi, Goldziher bisa menembus al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya. Bahkan disinyalir ia pernah ikut shalat Jumat dan mendengar khutbah di sebuah mesjid di Mesir. Goldziher merupakan orientalis yang mula-mula mengembangkan kritik hadits secara metodologis. Ia menuangkan pemikirannya tentang al-Hadits dalam bukunya Muhammedanische Studien (Muslim Studies) yang diterbitkan tahun 1890, buku yang berisi kritik hadits yang menjadi awal permulaan studi kritk hadits di Barat secara sistematis.
Sedangkan Joseph Schacht, ia juga seorang orientalis Yahudi, dilahirkan di Silisie Jerman tahun 1902. Schacht dikenal sebagai orang yang mempunyai reputasi luar biasa dalam studi al-Hadits di kalangan orientalis. Ia memperoleh gelar doktor di bidang kajian al-Hadits pada usia 21 tahun dari Universitas Barslauw dan dikukuhkan sebagai guru besar di bidang studi hadits di Universitas Fribourg pada usia 27 tahun. Tak mengherankan jika ia menjadi tokoh utama dalam studi Hadits di dunia Barat. Pada tahun 1964 Schacht menulis buku An Introduction to Islamic Law dan tahun 1950 menulis The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Joseph Schacht merupakan penerus Goldziher dalam studi hadits menggunakan pendekatan kritik kesejarahan. Pemikiran Joseph Schacht berhasil melampaui pemikiran Goldziher. Bila Goldziher berhasil menciptakan dasar-dasar teori skeptis terhadap otentisitas hadits, maka Schacht sampai pada usaha untuk meyakinkan pada kesimpulan bahwa tidak ada hadits hukum yang otentik.
Adapun Arthur Jeffery, ia adalah orientalis kelahiran Melbourne 18 Oktober 1892 lahir dari keluarga Kristen Metodis, menyelesaikan pendidikan S1 (1918) dan S2 (1920) di Universitas Melbourne, kemudian pergi ke Madras dan mengajar di Akademi Kristen Madras (Madras Christian College). Ia bertemu Pendeta Edward Sell (1839-1932), seorang dosen yang sekaligus missionaries yang jauh lebih senior. Edward lah yang menginspirasi Jeffery melakukan kajian historisitas al-Qur’an. Jeffery akhirnya menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk proyek besar studi historisitas al-Qur’an.
Ada benang merah dari cara kerja yang dilakukan oleh ke tiga orientalis ini dalam melakukan studi kritik kesejarahan, yaitu mereka sama-sama berangkat dari pandangan skeptis terhadap tradisi pengkajian al-Qur’an maupun al-Hadits di dunia Islam. Pandangan skeptis dari ketiga orientalis ini telah mengantarkan mereka menempuh cara pembedahan yang bertolak belakang tatkala mereka menguji otentisitas al-Qur’an di satu sisi dan otentisitas al-hadits di sisi yang lain.
Untuk memperkokoh pandangan skeptisnya terhadap otentisitas al-Qur’an yang diyakini kaum muslimin, Jeffery telah mengkoleksi semua riwayat tanpa mempedulikan status riwayat apakah terpercaya atau tidak, yang penting riwayat-riwayat itu mendukung pandangan skeptis yang dia ajukan. Jeffery mengklaim telah berhasil mengoleksi riwayat-riwayat seputar mushaf yang disinyalir berbeda dengan Mushaf Utsmani seperti riwayat Mushaf Ibnu Mas’ud dan Mushaf Ubay bin Ka’ab. Dengan temuan ini apa yang hendak dicapai, yaitu membuat simpulan bahwa otentisitas al-Qur’an yang selama ini diyakini kaum Muslimin patut diragukan. Meskipun temuan Jeffery ini telah dibantah oleh Prof. Musthafa A’dzami dalam bukunya “The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation”, namun setidaknya ada sejumlah penulis muslim yang secara tidak kritis terpengaruh dengan pandangan skeptis Jeffery. Sebut saja sebagai contoh, Aksin Wijaya seorang dosen ulum al-Qur’an menulis buku dengan judul bombastis: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuat bantahan terhadap hal itu, namun semata-mata untuk memperlihatkan dengan mengambil hasil penelitian Prof. A’dzami, bahwa itulah yang telah diperbuat oleh Jeffery. Ia telah melakukan segala cara termasuk mengutip riwayat-riwayat yang tidak valid yang penting mendukung pandangan skeptisnya. Abu Hayyan al-Nahawi sebagaimana dikutip Prof. A’dzami, menemukan bahwa riwayat bermasalah seputar Ibnu Mas’ud adalah bersumber dari kelompok Syi’ah, sementara riwayat yang dipegangi ilmuwan Sunni semuanya menunjukkan bahwa bacaan Ibnu Mas’ud tidak berbeda dengan yang dibaca seluruh umat Islam. Ibnu Mas’ud adalah salah seorang sahabat yang mendapatkan tugas menyampaikan al-Qur’an ke daerah pasca kodifikasi Mushaf Utsmani selesai. Sekiranya bacaan beliau berbeda dengan yang ada di Mushaf Utsmani tentu aneh.
Jika Arthur Jeffery menerima semua riwayat tanpa mempedulikan statusnya dengan kata lain tidak mempersoalkan otentisitas riwayat, Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, melakukan sebaliknya. Berangkat dari pandangan skeptisnya terhadap otentisitas hadits kaum muslimin, keduanya menfokuskan penelitiannya untuk memperkuat pandangan skeptisnya itu. Kedua orientalis ini tidak saja menyeleksi, tetapi mengingkari semua riwayat hadits kaum muslimin. Mereka menolak mentah-mentah metode penelusan hadits dalam tradisi Islam yang berbasis pada teori sanad. Selama ini kaum muslimin berpegangan pada kriteria bahwa hadits dinyatakan otentik, dengan kata lain shahih atau hasan, jika memenuhi kriteria bersambung sanadnya, perawinya tsiqah, serta terbebas dari illat dan syadz. Yang membedakan antara shahih dan hasan, disebut sebagai hadits shahih jika perawinya sempurnya daya ingatnya (tamamu dhabith).
Joseph Schacht khususnya, menolak teori sanad kaum muslimin dan berkesimpilan bahwa kesinambungan sanad belum memberikan kontribusi pada pembuktian bahwa sebuah riwayat hadits adalah historis berasal dari Nabi Saw, sekalipun para perawinya tsiqah. Ketsiqahan rawi tidak menjadi perhatiannya, namun formasi rantai sanad lah yang dia cermati. Schacht mengemukakan teori common link sebuah penandaan terhadap perawi hadits yang memperlihatkan mulai adanya percabangan pada formasi sanad. Jadi yang dimaksud common link oleh Schacht adalah perawi hadits yang ada dalam suatu rantai sanad, yang pertama-tama menyampaikan riwayat hadits yang dimaksud kepada lebih dari seorang rawi generasi sesudahnya. Schacht berkesimpulan bahwa rantai sanad yang terbentuk mulai Nabi Saw sampai pada perawi common link adalah rantai bikin-bikinan yang tidak historis. Menurut kesimpulan Schacht, ungkapan hadits itu diproyeksikan begitu saja kepada Nabi Saw yang sebenarnya penyandaran itu tidak benar-benar ada. Teori ini lah yang disebut teori proyeksi. Dengan menemukan beberapa kasus adanya hadits yang mempunyai rantai sanad tunggal sampai pada generasi ke dua, dengan menandai adanya common link ini, Schacht sudah berani membuat kesimpulan tidak ada hadits yang historis sampai pada Nabi Saw. Inilah temuan yang menjadi target penelitian Schacht.
Apa yang dilakukan Arthur Jeffery dalam studi al-Qur’an di satu sisi dan yang dilakukan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht dalam studi al-hadits di sisi yang lain menunjukkan dua alur yang bertolakbelakang yang mencerminkan suatu ketidakkonsistenan metodologi. Artinya metode kritik historis telah menghasilkan metode terapan secara berbeda dalam studi al-Qur’an dan studi al-hadits. Jika terhadap al-Qur’an, dicarilah segala cara untuk menjadi penguat atas keragu-raguannya terhadap otentisitas al-Qur’an. Maka tak peduli lagi menguji otentisitas riwayat-riwayat yang digunakan. Sementara itu, dalam pengkajian al-hadits dicarilah segala cara untuk mementahkan metode penelusurah hadits yang telah mapan di lingkungan kaum muslimin. Targetnya sudah tentu memperkokoh keraguan bahwa hadits kaum muslimin pun tidak otentik. Faktanya dua jalur metode terapan ini sampai saat ini masih tetap berkembang di jalur masing-masing. Dari sinilah tampak bahwa skeptisisme bukanlah semata-mata sebagai tahapan metodologis untuk mencapai kebenaran, tetapi skeptisisme telah menjadi tujuan dari kegiatan ilmiyah itu sendiri. Kaum muslimin selayaknya mencermati hal ini sehingga tidak sebegitu mudah terombang-ambingkan dengan kesimpulan-kesimpulan mereka sehingga menjadi tidak percaya diri, lebih-lebih menjadi agen mereka.
Penulis adalah Peneliti InPAS dan Sekretaris Umum MUI Prov. Jatim